Permasalahan dalil, utamanya hadis, sudah lama menjadi perdebatan ulama. Namun begitu, penggunaan hadis dhaif (lemah) masih diberikan toleransi dalam hal keutamaan ibadah. Amaliah di hari Asyura misalnya, banyak yang mengatakan tidak mempunyai dasar hadis yang sahih.
Amaliah Hari Asyura
Dalam kitab Nihayatuzzain, Imam Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi (w. 1316/1898), atau yang masyhur dengan sebutan Imam Nawawi al-Jawi, mengatakan bahwa hari Asyura mempunyai beberapa keutamaan. Kalimat yang beliau gunakan adalah: “wa nuqila ‘an ba‘dl al-afadlil” (telah dikutip dari beberapa ulama yang mulia). Kalimat pasif (mabni majhul atau shighat al-tamridl) seperti ini menandakan pendapat yang kurang sahih sebagaimana dalam fikih Syafi’iyyah atau dalam riwayat hadis.
Namun demikian, Imam Nawawi al-Jawi tetap menyebutkan dua belas keutamaan tersebut, yaitu:
- Memperbanyak shalat sunnah, utamanya shalat tasbih
- Berpuasa
- Sedekah
- Melapangkan keluarga
- Mandi
- Mengunjungi orang alim yang shalih
- Menjenguk orang sakit
- Mengusap rambut anak yatim
- Menggunakan celak mata
- Memotong kuku
- Membaca surat al-Ikhlash seribu kali
- Silaturrahim
Lebih lanjut, Imam Nawawi al-Jawi mengatakan bahwa hadis yang sahih dan
sharih hanya tentang puasa dan melapangkan keluarga. Selain dua hal tersebut,
tidak ada hadis yang sahih atau sharih. Memang, jika yang dimaksud adalah dalil
khusus dan terperinci, apalagi yang sahih dan sharih, maka selain dua hal
tersebut memang tidak ditemukan.
Amaliah seperti memperbanyak shalat sunnah, sedekah, mandi, mengunjungi
orang alim yang shalih, menjenguk orang sakit, mengusap rambut anak yatim, menggunakan
celak mata, memotong kuku, membaca surat al-Ikhlash seribu kali dan silaturrahim
tidak akan ditemukan dalam bab puasa secara umum, apalagi dalam bab Asyura.
Hadis-hadis tersebut ada secara sahih dan sharih, tetapi memang tidak
khusus atau spesifik. Namun apakah boleh mengamalkan hadis seperti itu? Beberapa
ulama, khususnya kelompok Salafi, sering menyuarakan hal tersebut. Namun
akhir-akhir ini mereka ternyata tidak konsisten dengan pendapat mereka. Agenda dan
kegiatan mereka seperti memberi makan orang setelah shalat Jumat, berceramah
lewat media sosial, menggunakan bahasa Indonesia dalam ceramah dan hal lainnya
tidak mempunyai dalil sahih dan sharih, apalagi yang spesifik.
Oleh karena itu, dalil umum untuk amaliah khusus, juga dilakukan oleh mereka yang selalu menuntut dalil khusus untuk amaliah khusus. Bedanya, kelompok Salafi baru pemula dalam hal tersebut, dan masyarakat Nusantara telah berada di tingkat lanjut. Inilah yang terjadi dalam abstraksi hadis di masyarakat awam, atau yang disampaikan ke orang awam, baik yang terjadi di daerah perkotaan maupun pedesaan.
Doa Asyura’
Dalam kitab Nihayatuzzain, Imam Nawawi al-Jawi menukil (wa qad
dzakara, yang lebih kuat dari kutipan amaliah hari Asyura sebelumnya) bahwa
Ibn Hajar al-‘Asqalani menyebutkan di dalam syarah Shahih al-Bukhari, jika
ada yang berdoa pada hari Asyura dengan doa tersebut, maka hatinya tidak akan
mati. Doanya adalah:
Dalam cetakan syarah Shahih al-Bukhari edisi sekarang, tidak ada
yang menyebutkan doa tersebut. Namun apakah manuskrip atau edisi syarah yang
dimiliki oleh Imam Nawawi al-Jawi ada doa tersebut? Jika ada, maka memang edisi
syarah Shahih al-Bukhari yang dimiliki oleh Imam Nawawi al-Jawi berbeda
isinya dengan yang sekarang, walaupun edisi sekarang lebih banyak membandingkan
membandingkan manuskrip dan cetakan yang ada. Atau mungkin ada di syarah selain Fathul Bari.
Jika tidak, maka apakah ada masalah di dalam doa tersebut? Lagi-lagi,
jika mencari hadis yang khusus, sahih dan sharih tentang doa tersebut, maka
tidak ada. Abstraksi
hadis memainkan peranan di sini sebagaimana dalam amaliah hari Asyura.
Imam Nawawi al-Jawi juga menukil dari ‘Ali al-Ajhuri bahwa orang yang membaca kalimat di bawah ini tujuh puluh kali pada hari Asyura:
حسبي الله وَنعم الْوَكِيل نعم الْمولى وَنعم النصير
Maka orang tersebut akan dilindungi oleh Allah dari segala keburukan tahun tersebut. Lagi-lagi, jika mencari hadis yang khusus, sahih dan sharih tentang doa tersebut, maka tidak ada dan masuk ke abstraksi hadis. Yang ada hanyalah dalil umum bahwa orang yang berbuat kebaikan, mengucapkan kalimat yang baik dan hal baik lainnya, akan dibalas dengan kebaikan.
Dalam keutamaan Asyura, Imam Nawawi al-Jawi menukil bahwa ulama mengatakan
jika hari Asyura mempunyai beberapa keutamaan yang tidak dimiliki hari lainnya.
Keutamaan tersebut adalah bahwa pada hari Asyura ada peristiwa penciptaan Nabi Adam
di dalam surga, diampuninya Nabi Adam, kapal Nabi Nuh berlabuh di gunung Judi,
Nabi Musa memecah lautan dan Fir’aun tenggelam di dalamnya, Nabi Yunus keluar
dari perut ikan, Nabi Yusuf keluar dari sumur, kaum Nabi Yunus diampuni, Nabi
Ibrahim dilahirkan dan juga selamat dari api, lahirnya Nabi Isa dan diangkatnya
ke langit, kembalinya penglihatan Nabi Ya’qub, sembuhnya Nabi Ayub dan Nabi
Dawud diampuni Allah.
Apakah semuanya ada dalil yang khusus, sahih dan sharih tentang
keutamaan tersebut? Apakah sesuai dengan realitas sejarah dan penemuan
arkeologis? Apakah memang belum ada yang meneliti sejauh itu tentang keutamaan
Asyura pada nabi-nabi Allah? Semuanya masih berupa pertanyaan, bahkan bagi yang
mempertanyakan tentang hal tersebut harus juga dipertanyakan.
Poin utamanya sebenarnya di sini adalah bahwa hari Asyura mempunyai kelebihan dibanding hari biasa lainnya, dan tentunya tidak melebihi Lailatul Qadar. Cerita tentang nasib baik para nabi di hari Asyura mungkin disampaikan oleh ulama untuk membangkitkan semangat agar mau berpuasa. Meskipun sebagian orang di kemudian hari menganggap cerita tersebut terjadi di hari Asyura. Jika tidak di hari Asyura, berarti di hari yang lain, yang itu merupakan hari istimewa bagi seluruh umat. Tidak ada masalah sebenarnya, kecuali dipermasalahkan.