Kitab al-Radd ‘ala al-Syafi‘i karya Ibn al-Labbad

Daftar Isi [Tampilkan]
Oleh: Muhammad Akmaluddin



Penolakan (al-radd) atas berbagai mazhab Sunni maupun mazhab lainnya merupakan wujud saling koreksi antara satu mazhab dengan mazhab lainnya serta sebagai penolakan terhadap ortodoksi sebuah mazhab. Penulis yang melakukan penolakan biasanya mempunyai anggapan bahwa mazhab yang diikutinya adalah mazhab yang paling benar.

Oleh karena itu, munculnya berbagai kitab yang berisi tentang penolakan sebenarnya adalah kritik diri (autocritic) terhadap penulis kitab itu sendiri. Namun yang terjadi adalah para pengarang kitab tidak sadar akan hal itu hingga ada pengarang kitab lain yang menolak atau mengkritik mazhab para pengarang tersebut.

Beberapa contoh penolakan atas mazhab kalam misalnya terlihat dalam karya Idlah al-Burhan fi al-Radd ‘ala Ahl al-Zaigh wa al-THughyan karya Abu al-Hasan al-Asy‘ari (w. 324/936), Ahmad bin ‘Abd al-Halim Ibn Taimiyyah al-Harrani (w. 728/1328) dalam karyanya, al-Radd ‘ala Ahl al-Jahim, al-Intishar fi al-Radd ‘ala al-Qadariyyah al-Asyrar karya Yahya bin Abi al-Khair al-Syafi‘i (w. 558/1162), al-Bayan wa al-Burhan fi al-Radd ‘ala Ahl al-Zaigh wa al-THughyan karya Fakhr al-Din al-Razi (w. 603/1206), dan lainnya.

Ada juga yang berkaitan dengan tokoh hadis tertentu seperti penolakan terhadap Ahmad bin al-Husain al-Baihaqi (w. 458/1066), oleh ‘Ala’ al-Din al-Turkamani (w. 750/1349) dalam kitabnya, al-Durr al-Naqi fi al-Radd ‘ala al-Baihaqi, terhadap Ibn Taimiyyah seperti al-Durrah al-Mudliyyah fi al-Radd ‘ala Ibn Taimiyyah karya Muhammad bin ‘Ali Ibn al-Zamlakani (w. 834/1430), kritik terhadap Ibn Syuhbah dalam al-Durar al-Munifah fi al-Radd ‘ala Ibn Syuhbah ‘an al-Imam Abi Hanifah karya ‘Abd al-Qadir bin Muhammad al-Qurasyi (w. 775/1373), dan lainnya

Selain itu, di Maghrib juga ada kitab yang berisi tentang penolakan terhadap kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din karya al-Ghazali (w. 505/1111) yang berjudul al-Imla’ fi al-Radd ‘ala al-Ihya’. Kitab tersebut dikarang ketika Ihya’ ‘Ulum al-Din masuk ke Maghrib. Namun karena pengarang melihat kemuliaan (karamah) al-Ghazali, ia menata niatnya dan menarik kembali kitabnya.

Ada juga penolakan terhadap ulama mazhab, khususnya terhadap al-Syafi‘i (w. 204/820). Misalnya ada kitab al-Radd ‘ala al-Syafi‘i fi Ma yukhalif fihi al-Qur’an karya al-Hasan bin Ahmad al-Maqqari, dan al-Radd ‘ala al-Syafi‘i fi Ma yukhalif fihi al-Qur’an karya al-Hasan bin Ishaq al-Ma‘arri al-Hanafi (w. 348/959), termasuk kitab al-Radd ‘ala al-Syafi‘i karya Ibn al-Labbad.

Kitab al-Radd ‘ala al-Syafi‘i karya Ibn al-Labbad berisi tentang 34 masalah yang diajukan kepada al-Syafi‘i. Diskusi yang ada dalam kitab Ibn al-Labbad berbentuk dialog imajiner yang ditujukan kepada al-Syafi‘i.

Berbeda dengan model dicta responsa yang berisi pertanyaan dan jawaban, kitab al-Radd ‘ala al-Syafi‘i hanya berupa pertanyaan negatif yang tidak membutuhkan jawaban (istifham inkari) sebagaimana dalam ilmu nahwu, atau dalam ilmu balaghah sebagai tamyiz (distingsi) antara dua hal.

Ibn al-Labbad memulai diskusinya dengan klaim otoritas atas pemahaman hadis. Ia sering mengatakan “wa ayyukuma atba‘u li hamlihi hadiṡ Rasul Allah shalla Allah ‘alaihi wa sallama,  dan sejenisnya yang mempertanyakan manakah yang lebih utama atara Malik dan al-Syafi‘i untuk diikuti dalam hal pemahaman hadis.

Kemudian dilanjutkan dengan menukil pendapat al-Syafi‘i dalam kitabnya seperti al-Umm dalam masalah-masalah tertentu. Setelah itu, Ibn al-Labbad kemudian meneruskannya dengan berbagai pertanyaan yang dikuatkan dengan ayat Alquran dan hadis, baik yang berasal dari Malik sendiri atau riwayat selain Malik. Ibn al-Labbad juga menggunakan banyak riwayat hadis yang berasal dari Malik atau riwayat lain untuk mendukung kritiknya terhadap al-Syafi‘i.

Kitab ini unik karena membahas tentang mana yang lebih otoritatif ketika berbicara dan memahami suatu hadis. Ibn al-Labbad juga tidak segan mengkritik inkonsistensi al-Syafi‘i dalam menggunakan takrif atau definisi, tentang latar belakang suatu hadis, dan juga penggunaan hadis dan qiyas.

Oleh karena itu, Ibn al-Labbad ingin menunjukkan bahwa al-Syafi‘i tidak konsisten terhadap pendapatnya. Di samping itu, inkonsistensi ini menunjukkan bahwa kaidah mazhab mempunyai banyak pengecualian yang mempersulit para ulama dan pengikut mazhab. Dengan begitu, mazhab Maliki lebih kuat dan otoritatif dalam memaknai hadis dibandingkan dengan mazhab Syafi‘i.


Baca juga:
Labels : #al-Syafii ,#Ibn al-Labbad ,#Ilmu Hadis ,#Opini ,#Ulama Hadis ,
Menunggu informasi...

Posting Komentar