Ibn al-Labbad tidak
tercatat melakukan rihlah (perjalanan ilmiah untuk mencari guru dan
sanad) maupun berhaji. Ia wafat pada hari Sabtu pertengahan bulan Safar tahun
333/Oktober 944, beberapa hari sebelum masuknya Abu Yazid ke Qairawan. Kitab karangannya
antara lain Fadla’il Malik, ‘Ishmah al-Nabiyyin, al-Thaharah, dan al-Radd
‘ala al-Syafi‘i. Dia hidup pada masa dinasti Aghlabiyyah yang beraliran
Sunni Hanafi, yang berkuasa antara tahun 184/800 hingga 296/909. Penguasa
Aghlabiyyah mendapatkan perlawanan yang sengit dari ahli fikih Maliki di Qairawan.
Di samping itu,
penguasa Aghlabiyyah juga menganggap diri mereka bermazhab Hanafi sebagaimana dilakukan
oleh dinasti ‘Abbasiyyah. Para amir dinasti Aghlabiyyah dan aristokrat Arab
mengikuti mazhab Hanafi, sedangkan para penduduk, pengrajin dan pedagang mengikuti
mazhab Maliki. Namun demikian, ulama Maliki di Qairawan mendapatkan penghargaan
dari masyarakat perkotaan karena ketaatan dan asketisme mereka.
Di Maghrib sendiri,
masyarakat sangat fanatik terhadap mazhab Maliki. Dalam kesaksiannya, al-Maqdisi
mengatakan:
وبسائر
المغرب الى مصر لا يعرفون مذهب الشافعيّ رحمه الله انّما هو ابو حنيفة ومالك
رحمهما الله وكنت يوما اذاكر بعضهم في مسألة فذكرت قول الشافعيّ رحمه الله فقال
اسكت من هو الشافعيّ انّما كانا بحرين ابو حنيفة لأهل المشرق ومالك لأهل المغرب
أفنتركهما ونشتغل بالساقية، ورأيت أصحاب مالك رحمه الله يبغضون الشافعيّ قالوا أخذ
العلم عن مالك ثم خالفه
“Semua kawasan Maghrib sampai Mesir tidak mengetahui mazhab al-Syafi‘i
rahimahu Allah. (Mazhab yang ada) adalah Abu Hanifah dan Malik rahimahuma
Allah. Pada suatu hari, aku ingat suatu masalah dan aku katakan pendapat
al-Syafi‘i rahimahu Allah. Seseorang berkata: “Sebentar, siapa itu al-Syafi‘i?
Hanya ada dua samudera (ilmu) yaitu Abu Hanifah untuk penduduk Masyriq dan Malik
untuk penduduk Maghrib. Apa aku harus meninggalkan keduanya dan sibuk hanya
dengan anak sungai (al-Syafi‘i)?” Aku melihat pengikut Malik rahimahu Allah tidak
senang kepada al-Syafi‘i. Mereka mengatakan: “Dia (al-Syafi‘i) berguru kepada Malik,
tapi kemudian berbeda dengannya.”
Setelah itu, dinasti
Aghlabiyyah ditaklukkan oleh dinasti Fathimiyyah yang beraliran Syiah Isma‘iliyyah
pada 296/909. Dinasti Fathimiyyah berkuasa sejak 297/909 hingga 567/1171.
Dengan berkuasanya dinasti Fathimiyyah, Ibn al-Labbad semakin terdesak oleh
faham, teologi, politik, sosial dan pemikiran yang dinasti tersebut. Sebagai
pemimpin Sunni Maliki, ia terus diawasi oleh penguasa Fatimiyyah.
Dalam kasus Ibn
al-Labbad, terjadi ortodoksi yang menjerumuskan masyarakat ke dalam pertikaian
agama. Ada yang harus dibela (inclusion) dan ada juga yang harus
mendapatkan hukuman (exclusion). Mereka yang dibela adalah yang mengikuti
dinasti Aghlabiyyah yang bermazhab Hanafi, dan kemudian dilanjutkan dengan dinasti
Fathimiyyah yang beraliran Syiah Isma‘iliyyah. Adapun al-Syafi‘i juga dianggap
sebagai kelompok Abu Hanifah (w. 150/767) dan sering mengkritik ulama Irak yang
menjadi pengikut Abu Hanifah seperti Abu Yusuf (w. 182/798) dan Muhammad bin
al-Hasan al-Syaibani (w. 189/804). Sedangkan yang harus mendapatkan hukuman
adalah mereka pengikut mazhab Maliki seperti Ibn al-Labbad.
Kasus pelanggar
ortodoksi seperti Ibn al-Labbad juga terjadi di daerah lain seperti al-Andalus.
Di sana terjadi berbagai bentuk hukuman seperti menyalahkan para pelanggar dan
memberikan label negatif kepada mereka, vonis dosa, isolasi sosial, pembakaran
dan pembredelan buku, penolakan secara tertulis, hukuman penjara dan fisik,
eksekusi, pengusiran hingga memberikan label murtad kepada para pelanggar.
Keadaan politik dan
keagamaan yang sulit dan ortodoks inilah yang menyebabkan kitab al-Radd ‘ala
al-Syafi‘i karya Ibn al-Labbad banyak berisi kritikan tajam dan emosional.
Namun begitu, Ibn al-Labbad tetap menekankan pada diskusi yang ilmiah dan logis
serta memberikan kritikan terhadap premis yang kurang tepat atas metode yang dilakukan
oleh al-Syafi‘i.