Beberapa kritik Ibn
al-Labbad banyak diarahkan pada hadis-hadis yang digunakan oleh al-Syafi‘i.
Dengan adanya kritik ini, maka al-Syafi‘i dianggap tidak punya otoritas hadis
seperti Malik. Kritik atas otoritas pemaknaan dan pemahaman hadis terbagi ke
dalam empat kategori kritik atas otoritas pemahaman hadis al-Syafi‘i.
Pertama kritik atas definisi. Ibn al-Labbad mengatakan bahwa al-Syafi‘i tidak
cermat dalam melihat definisi dalam suatu hadis. Misalnya dalam kasus shalatnya
orang yang sadar dari pingsan, al-Syafi‘i menyebutkan satu takbir. Padahal
dalam hadis, yang disebutkan adalah satu rakaat, bukan satu takbir. Ibn al-Labbad
mengatakan:
والنبي
صلى الله عليه وسلم، إنما قال: "من أدرك من الصبح ركعة قبل أن تطلع الشمس فقد
أدركها، ومن أدرك من العصر ركعة قبل أن تغرب الشمس فقد أدركها". وقال الشافعي إذا أفاق بقدر تكبيرة لا يعرف
وقتها لأن رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يوقت للتكبيرة وقتا لأن تكبيرة لا يعرف
وقتها فقد جعله يصلّي صلاة لم تجب عليه.
“Dan Nabi shalla Allah ‘alaihi wa sallama bersabda: “Barangsiapa
dapat menjumpai shalat Shubuh satu rakaat sebelum terbitnya matahari, maka ia
telah mendapatkan shalat tersebut. Dan barangsiapa dapat menjumpai shalat Ashar
satu rakaat sebelum terbenamnya matahari, maka ia telah mendapatkan shalat
tersebut.” Al-Syafi‘i berkata: “Jika seseorang tersadar dengan waktu kita-kira
satu takbir,” maka tidak diketahui waktunya. Padahal Rasulullah shalla Allah
‘alaihi wa sallama tidak memberikan penjelasan tentang waktu takbir, karena
takbir tidak dapat diketahui waktunya. Dia (al-Syafi‘i) telah mewajibkan
seseorang shalat yang hukumnya tidak wajib bagi orang tersebut.”
Kategori kritik
pertama ini juga mencakup apa yang haram sebab susuan (ma yahrumu min al-radla‘),
larangan menutup wajahnya muhrim, menikah dengan mahar surat Alquran, masuknya
waktu ashar ketika shalat Jumat, problem kiblat pada dua orang (isykal al-qiblah
ala rajulain), mengulangi shalat jika bacaan Fatihahnya kurang, syarat
membaca Fatihah dalam shalat, menyucikan tempat dari kencing, kulit anjing dan
babi yang tidak bisa disamak dan hukum memakan sembelihan dari tengkuk atau
belakang leher (hukm akl al-dzabihah min al-qafa). Kritik ini mencakup
11 masalah atau 31,2% dari 34 masalah yang diajukan oleh Ibn al-Labbad
Kedua kritik atas sebab munculnya hadis (asbab al-wurud). Dalam hal
ini, Ibn al-Labbad mengatakan bahwa al-Syafi‘i tidak dapat menangkap sebab
munculnya hadis dengan tepat. Dalam kasus shalat witir, al-Syafi‘i
memperbolehkan seseorang untuk shalat witir satu rakaat tanpa didahului oleh
shalat apapun. Ibn al-Labbad menjelaskan:
وإنما
قال رسول الله، صلى الله عليه وسلم، "يوتر له ما قد صلى" فاتبع حمله
حديثه عنه وقلت أنت: يوتر بواحدة لا صلاة له قبلها، ورسول الله، صلى الله عليه
وسلم، قال يوتر له ما فد صلّى، فأي شيء يوتر له بالواحدة إذا لم يصلّ قبلها شيئا
“Sebenarnya Rasulullah shalla Allah ‘alaihi wa sallama bersabda
bahwa beliau melakukan shalat witir setelah melakukan shalat sebelumnya. (Malik)
mengikuti hadis yang diriwayatkannya dari Rasulullah, dan Anda (al-Syafi‘i)
mengatakan bahwa beliau (Rasulullah) melakukan shalat witir dengan tidak
melakukan shalat sebelumnya. Dan Rasulullah shalla Allah ‘alaihi wa sallama bersabda
bahwa beliau melakukan shalat witir setelah melakukan shalat sebelumnya. Maka
bagaimana mungkin beliau melakukan shalat witir hanya satu rakaat jika
sebelumnya tidak shalat sama sekali.”
Masalah lain yang
masuk kategori kedua antara lain khiyar (kesepakatan jual beli) antara
dua penjual, memakai wewangian sebelum ihram haji, shalatnya anak remaja yang
kurang sebelum baligh dan waktu adzan untuk shalat. Ada lima masalah yang masuk
kritik Ibn al-Labbad atau 14,8% dari semua masalah yang ditulisnya.
Ketiga kritik atas hadis yang tidak sesuai dengan ayat Alquran. Al-Syafi‘i
mengatakan bahwa seseorang boleh shalat wajib dan sunnah di dalam Ka’bah.
Padahal hadis yang ada adalah hanya shalat sunnah di dalam Ka’bah sebagaimana dijelaskan
dalam QS. 144 dan 150. Ibn al-Labbad mengomentari dalam kitabnya:
ثم
قلت أنت برأيك: ويخرج عن نص الآية ما لم يخرجه رسول الله، صلى الله عليه وسلم، وهي
الصلاة المفترضة، فتصلّى في الكعبة، وإن كان رسول الله، صلى الله عليه وسلم، لم
يصلّها فيها.
“Kemudian Anda (al-Syafi‘i) mengatakan dengan pendapat Anda: “Dan (hal ini yaitu shalat wajib) keluar dari nash ayat sebagaimana tidak diriwayatkan oleh Rasulullah shalla Allah ‘alaihi wa sallama yaitu shalat wajib, dan kemudian dilakukan di Ka’bah." Padahal Rasulullah shalla Allah ‘alaihi wa sallama tidak melakukan shalat wajib di dalamnya.”
Ada
juga masalah keharaman sebab susuan, sumpah beserta saksi (al-yamin ma‘a
al-syahid) dan keraguan sucinya air yang menyebabkan tayamum. Ada empat
masalah atau 11,8% dari keseluruhan kritiknya Ibn al-Labbad.
Keempat kritik atas hukum yang tidak ada dalam hadis Rasulullah shalla Allah ‘alaihi wa sallama. Dalam kasus rampasan perang (salab li al-qatil), al-Syafi‘i membaginya membagi dua untuk kategori. Jika mereka yang membunuh musyrik dengan posisinya sebagai pemimpin (muwalliyan), maka tidak dapat rampasan (al-salab) apa-apa.
Jika
posisinya langsung berhadap-hadapan (muqbilan), maka ia bisa mengambil
harta rampasan tersebut. Padahal menurut Ibn al-Labbad, dalam hadis yang membagi
adalah imam dengan ijtihadnya sendiri dan tidak memberikan perincian. Ia
mengatakan:
فمنعته
مرة وأعطيته أخرى، وجعلته أنت برأيك مفصلا منوّعا، ورسول الله، صلى الله عليه
وسلم، أمر به مجملا، لا مفصلا ولا منوّعا. وأنت تزعم أنك تتبع حمله حديث رسول
الله، صلى الله عليه وسلم
“Anda menghalangi rampasan itu dalam satu
kesempatan, dan Anda memberikannya pada kesempatan yang lain. Anda menjadikannya
(rampasan tersebut) dengan pendapat Anda, memerinci dan membaginya. Padahal
Rasulullah shalla Allah ‘alaihi wa sallama memerintahkannya secara mujmal,
tidak mufashshal dan munawwa‘ (dibagi). Dan Anda menyangka
bahwa Anda mengikuti riwayatnya (Malik) dalam hadis Rasulullah shalla Allah
‘alaihi wa sallama.”
Ibn
al-Labbad mengkritik al-Syafi‘i atas pembagian dua gandum. Pertama gandum
yang diinjak-injak (hinthah tudas) sehingga keluar bijinya tanpa ada kulit
dan sisa lainnya, yang wajib dizakati ketika sampai lima wasaq. Kedua gandum
yang dimakan (hinthah ‘alas) yang ketika diinjak keluar dua biji dalam
satu buahnya, yang dizakati ketika sampai sepuluh wasaq, yang nilainya separuh
karena lebih sedikit isinya dari hinthah tudas. Ibn al-Labbad mengkritiknya:
فأين
وجدت أنت هذا في سنة رسول الله، صلى الله عليه وسلم، للحنطة هذين الاسمين؟ وأين
وجدتها في سنة رسول الله، صلى الله عليه وسلم، صنفين؟ وأين وجدت في سنة رسول الله،
صلى الله عليه وسلم، أنه أمر فيها بأمرين: فمرة من خمسة أوسق، ومرة من عشرة أوسق،
وكل هذا مما لم نجده في سنة رسول الله، صلى الله عليه وسلم، ولا منصوصا عنه.
“Maka dimana Anda menemukan hal ini bahwa hinthah
punya dua nama dalam sunnah Rasulullah shalla Allah ‘alaihi wa sallama?
Dan dimana Anda menemukan di dalam sunnah Rasulullah shalla Allah ‘alaihi wa
sallama dua pengelompokan tersebut? Dan dimana Anda menemukan di dalam
sunnah Rasulullah shalla Allah ‘alaihi wa sallama bahwa beliau memerintahkan
dua hal, yaitu zakat ketika mencapai lima wasaq dan ketika mencapai sepuluh
wasaq? Hal tersebut tidak dapat kami temukan dalam sunnah Rasulullah shalla
Allah ‘alaihi wa sallama dan juga tidak disebutkan di dalamnya.
Selain
itu, ada juga masalah membunuh binatang bagi muhrim, jilatan anjing di makanan,
menyerahkan bangunan (al-‘umra), tashhif (ketidaksengajaan dalam
merubah) nama rawi, menaruh besi di atas perut mayat, batalnya wudlu ketika
menyentuh mahram, batalnya wudlu ketika menyentuh kemaluan anak-anak, wudlu
karena menyentuh mayat, shalat di kandang unta dan kambing, sucinya rambut
manusia, memperbaiki tulang yang rusak (jab al-‘adlm al-maksur) dan
perbedaan niat imam dan makmum. Kategori terakhir ini mencakup 14 masalah atau
41,1% dari seluruh kritik yang diajukan Ibn al-Labbad.