Oleh: Muhammad Akmaluddin
Para ulama sepakat bahwa hadis merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Alquran. Perkembangan hadis dari waktu ke waktu, mulai dari riwayat lisan maupun tulisan, ilmu hadis riwayah dan dirayah, hingga kodifikasi hadis, memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemahaman hadis.
Begitu juga dengan adanya kelompok ahli hadis dan ahli
ra’yi semakin menambah variasi kajian pemahaman hadis dari sisi riwayat dan ijtihad
masing-masing. Perkembangan kajian hadis yang membawa kepada banyaknya
pemahaman hadis tidak terjadi secara tiba-tiba, namun bertahap sejak masa
sahabat hingga tabiin dan orang-orang sesudahnya.
Dengan beragamnya
kelompok dan ijtihad yang ada, pemahaman hadis sifatnya tidak otoriter dan dimiliki
oleh mazhab tertentu. Al-Hashkafi (w. 1088/1677), salah seorang ulama Hanafi
mengatakan:
... أن الفقه هو ثمرة الحديث، وليس ثواب الفقيه أقل من ثواب المحدث ... وفيها إذا سئلنا عن مذهبنا ومذهب مخالفنا
قلنا وجوبا: مذهبنا صواب يحتمل الخطأ ومذهب مخالفنا خطأ يحتمل الصواب.
“ … Bahwa fikih adalah buah dari hadis.
Bukannya pahala seorang ahli fikih lebih sedikit dari pahala ahli hadis … dan
ketika kita ditanya tentang mazhab kami dan mazhab selain kami, kami berkata
dengan wajib bahwa mazhab kami benar tapi mungkin saja ada kesalahan di
dalamnya, dan mazhab selain kami salah tapi mungkin ada kebenaran di dalamnya.”
Bahkan tidak hanya
pemahaman saja, namun hadis juga tersebar di berbagai daerah dan beredar di
daerah atau kelompok tertentu. Hal ini mendorong agar ahli hadis maupun ahli fikih
dan ahli ra’yu harus mengambil hadis tersebut, baik dengan rihlah ‘ilmiyyah (perjalanan
ilmiah untuk mencari pengetahuan atau hadis) maupun riwayat dari daerah atau
kelompok tertentu. Misalnya saja Muhammad bin Idris al-Syafi‘i (w.
204/820) pernah mengatakan kepada Ahmad bin Hanbal (w. 241/855):
أنتم
أعلم بالأخبار الصحيحة منا، فإذا كان خبر صحيح فأعلموني حتى أذهب إليه كوفيا كان
أو بصريا أو شاميا
“Engkau (Ahmad) lebih mengetahui hadis yang shahih daripada kami. Jika
ada hadis shahih, beritahukan kepadaku hingga aku mendatanginya, baik itu
berasal dari orang Kufah, Bashrah maupun Syam.”
Berbagai
permasalahan hadis, utamanya yang terkait dengan matan, dapat diselesaikan
melalui beberapa metode yang ada. Misalnya adalah lewat al-jam‘u (mendamaikan
atau mengkompromikan dua dalil), al-tarjih (menguatkan salah satu dalil),
al-naskh (menghapus dalil yang datang lebih awal) dan al-tauqif (berhenti
memilih salah satu dalil hingga ada kejelasan dalil yang lain). Namun penyelesaian
dengan metode tersebut berbeda-beda antara satu ulama dengan lainnya. Berbagai
mazhab fikih juga memiliki metode yang berbeda, baik itu hirarkis maupun opsional.
Dengan menggunakan metode yang berbeda, pemahaman atas hadis bisa jadi memiliki hasil penyelesaian yang sama, namun yang sering terjadi adalah hasil yang berbeda. Perbedaan inilah yang menyebabkan satu mazhab dengan lainnya berebut tentang siapa yang berhak dalam memaknai dan memahami suatu hadis.
Dalam hal ini, konflik antara ahli
ra’yu dan ahli hadis, serta mazhab tekstualis tidak terhindarkan. Oleh karena itu,
masing-masing mempunyai argumentasi dan perspektif dalam melihat hadis sehingga
terjadi berbagai perbedaan dalam memahami dan menafirkannya.
Perbedaan pendapat antara satu mazhab dengan mazhab lainnya dalam memahami suatu hadis sudah banyak dibahas oleh beberapa penelitian. Misalnya perbedaan antara al-Nawawi (w. 676/1277) yang bermazhab Syafi‘i dengan Ibn Qudamah (w. 620/1223) yang mengikuti mazhab Hanbali dalam kasus hukuman bagi pergaulan suami istri (al-wiqa’) di siang hari pada bulan Ramadhan.
Dari perspektif gender, tidak ada perbedaan
kafarat antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan antara kedua ulama beda
mazhab tersebut terletak pada ada tidaknya unsur kerelaan atau paksaan. Begitu
juga dengan konsep ‘azl (senggama terputus) yang diperbolehkan oleh
mazhab Hanafī dengan persetujuan istri, sedangkan mazhab Syafi‘i tanpa harus
ada persetujuan.
Di samping itu, kaidah ushul fikih yang dibangun oleh beberapa mazhab bersifat universal dan tekstual. Namun kaidah yang tidak didasarkan pada Alquran dan hadis tidak dipakai oleh para ulama. Oleh karena itu, beberapa pendapat dari ulama mazhab perlu dikaji dan ditinjau ulang.
Jika tidak, maka hukum tersebut akan berpengaruh terhadap
hukum lain, bahkan kaitannya dengan hak orang lain seperti hak waris dan juga interaksi
dengan orang lain dalam beribadah.
Perebutan otoritas
atas pemahaman hadis menjadikan kajian hadis semakin menarik karena melibatkan
pemahaman hadis, perbedaan mazhab dan memperebutkan mana yang lebih otoritatif
dalam mengamalkan suatu hadis.
Disarikan dari artikel Otoritas Pemahaman Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam: Kritik Ibn al-Labbād al-Mālikī Kepada asy-Syāfi’ī