Dalam beberapa kasus di bukunya, Ibn al-Labbad mengkritik penguasaan dan penetapan makna hadis yang dilakukan oleh al-Syafi‘i. Penetapan (determination) yang diartikan sebagai tindakan penentuan makna sebuah teks, melalui bahasa dengan aturan dan batasannya sendiri, ditentukan oleh pembaca (reader) dengan cara yang rasional.
Rasionalitas ini ditentukan
oleh komunitas interpretasi yang mengembangkan cara pembacaan dan pemahaman
teks. Komunitas interpretasi dalam hal ini adalah mazhab Maliki yang diwakili
oleh Ibn al-Labbad dan al-Syafi‘i sebagai komentator (syarih) atas hadis
Rasulullah shalla Allah ‘alaihi wa sallama.
Adanya
rasionalitas yang dibangun oleh Ibn al-Labbad dan al-Syafi‘i menunjukkan bagaimana
pemaknaan hadis selalu berkembang. Otoritas pemaknaan hadis tidak hanya didominasi
oleh kelompok atau mazhab tertentu, namun semuanya berhak dan mempunyai andil
dalam menentukan makna tersebut. Idealnya, makna harus merupakan hasil interaksi
antara pengarang, teks dan pembaca yang mana harus ada proses negosiasi antara
ketiga pihak. Salah satu pihak tidak boleh mendominasi penetapan makna.
Oleh karena itu, harus ada proses interaksi antara Rasulullah, teks hadis dan pembaca yang dalam hal ini adalah Ibn al-Labbad dan al-Syafi‘i. Negosiasi dalam hal ini bisa berupa pemaknaan secara literal sebagaimana dilakukan oleh Ibn al-Labbad dalam kasus hinthah yang hanya menentukan jenis dan zakatnya satu saja. Namun demikian, jenis yang lain seperti al-sya‘ir, al-salt dan lainnya masuk ke jenis hinthah.
Atau bisa secara tekstual
seperti dilakukan al-Syafi‘i yang membagi hinthah menjadi dua jenis dan
dua zakat sebagaimana jenis gandum yang ada pada waktu itu. Dengan interaksi dan negosiasi tersebut,
makna hadis menjadi lebih otoritatif. Otoritas hadis menjadi lebih kuat dalam
menentukan sebuah hukum. Rasulullah dan teks hadis bisa difahami sesuai dengan
perspektif masing-masing, yang tidak lepas dari diskursus, situasi dan kondisi
dimana pembaca berada.
Dengan
demikian, penafsiran harus selalu terbuka (the interpretive process remain
open) agar tidak ada despotisme dengan menutup dan mengunci teks dalam
sebuah makna tertentu. Jika tidak, maka tindakan tersebut akan merusak integritas
pengarang dan teks tersebut. Tindakan otoritarianisme (authoritarian act)
adalah tindakan mengunci atau mengurung kehendak Tuhan atau kehendak teks dalam
sebuah penetapan tertentu dan menyajikannya sebagai sesuatu yang pasti, final
dan menentukan.
Oleh karena itu, tidak ada klaim penafsiran yang paling benar dan sah dalam memaknai sebuah teks. Kritik Ibn al-Labbad atas penafsiran al-Syafi‘i merupakan sebuah tindakan agar teks hadis tidak tertutup dan terkunci hanya dalam pemahaman mazhab Syafi‘i saja. Begitu juga yang dilakukan oleh al-Syafi‘i juga merupakan sebuah tindakan agar pemahaman hadis tidak didominasi dan dikuasai oleh Malik saja.
Pemikiran
mazhab ini (al-fikr al-maẓhabi) menurut al-Jabiri tidak hanya sebagai
konten (al-fikr al-muhtawa), tetapi juga merupakan instrumen (al-fikr
al-‘adah) yang menghasilkan nalar ilmiah dan ideologis. Kedua nalar
tersebut bukanlah alamiah, namun hasil dari persinggungan dari lingkungan alam,
sosial dan budaya.
Kritik Ibn al-Labbad terhadap pemahaman hadis al-Syafi‘i selalu terbuka. Pemahaman ini juga menyesuaikan dengan sesuai situasi, kondisi dan letak geografis dimana sebuah teks berada. Pemahaman tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan yang wajib dizakati juga berbeda jenis dan ukurannya.
Oleh karena itu, pemahaman hadis tidak lagi harus
sama seperti tertulis di dalam teks-teks klasik. Pemahaman harus tetap berjalan
dan menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Mungkin pemahaman masa lalu benar di
tempat dan zamannya, dan mungkin tidak lagi bisa diterapkan tempat dan zaman
yang lain.
Kritik
adalah keseimbangan dalam diskursus ilmiah, terlepas dari penggunaan istilah
dan pilihan kata yang ekstrim dan keras sebagaimana dilakukan Ibn al-Labbad. Kritik
merupakan salah satu cara untuk memandang kekurangan dalam argumentasi dan
pendapat yang diajukan oleh orang lain. Oleh karena itu, tidak berarti yang
memberikan kritik adalah yang benar dan yang dikritik adalah yang salah.
Keduanya benar sesuai dengan perspektif, tempat dan zamannya masing-masing.