Pemahaman Hadis Yang Harus Selalu Terbuka

Daftar Isi [Tampilkan]
Oleh: Muhammad Akmaluddin


Dalam beberapa kasus di bukunya, Ibn al-Labbad mengkritik penguasaan dan penetapan makna hadis yang dilakukan oleh al-Syafi‘i. Penetapan (determination) yang diartikan sebagai tindakan penentuan makna sebuah teks, melalui bahasa dengan aturan dan batasannya sendiri, ditentukan oleh pembaca (reader) dengan cara yang rasional.

Rasionalitas ini ditentukan oleh komunitas interpretasi yang mengembangkan cara pembacaan dan pemahaman teks. Komunitas interpretasi dalam hal ini adalah mazhab Maliki yang diwakili oleh Ibn al-Labbad dan al-Syafi‘i sebagai komentator (syarih) atas hadis Rasulullah shalla Allah ‘alaihi wa sallama.

Adanya rasionalitas yang dibangun oleh Ibn al-Labbad dan al-Syafi‘i menunjukkan bagaimana pemaknaan hadis selalu berkembang. Otoritas pemaknaan hadis tidak hanya didominasi oleh kelompok atau mazhab tertentu, namun semuanya berhak dan mempunyai andil dalam menentukan makna tersebut. Idealnya, makna harus merupakan hasil interaksi antara pengarang, teks dan pembaca yang mana harus ada proses negosiasi antara ketiga pihak. Salah satu pihak tidak boleh mendominasi penetapan makna.

Oleh karena itu, harus ada proses interaksi antara Rasulullah, teks hadis dan pembaca yang dalam hal ini adalah Ibn al-Labbad dan al-Syafi‘i. Negosiasi dalam hal ini bisa berupa pemaknaan secara literal sebagaimana dilakukan oleh Ibn al-Labbad dalam kasus hinthah yang hanya menentukan jenis dan zakatnya satu saja. Namun demikian, jenis yang lain seperti al-sya‘ir, al-salt dan lainnya masuk ke jenis hinthah.

Atau bisa secara tekstual seperti dilakukan al-Syafi‘i yang membagi hinthah menjadi dua jenis dan dua zakat sebagaimana jenis gandum yang ada pada waktu itu.  Dengan interaksi dan negosiasi tersebut, makna hadis menjadi lebih otoritatif. Otoritas hadis menjadi lebih kuat dalam menentukan sebuah hukum. Rasulullah dan teks hadis bisa difahami sesuai dengan perspektif masing-masing, yang tidak lepas dari diskursus, situasi dan kondisi dimana pembaca berada.

Dengan demikian, penafsiran harus selalu terbuka (the interpretive process remain open) agar tidak ada despotisme dengan menutup dan mengunci teks dalam sebuah makna tertentu. Jika tidak, maka tindakan tersebut akan merusak integritas pengarang dan teks tersebut. Tindakan otoritarianisme (authoritarian act) adalah tindakan mengunci atau mengurung kehendak Tuhan atau kehendak teks dalam sebuah penetapan tertentu dan menyajikannya sebagai sesuatu yang pasti, final dan menentukan.

Oleh karena itu, tidak ada klaim penafsiran yang paling benar dan sah dalam memaknai sebuah teks. Kritik Ibn al-Labbad atas penafsiran al-Syafi‘i merupakan sebuah tindakan agar teks hadis tidak tertutup dan terkunci hanya dalam pemahaman mazhab Syafi‘i saja. Begitu juga yang dilakukan oleh al-Syafi‘i juga merupakan sebuah tindakan agar pemahaman hadis tidak didominasi dan dikuasai oleh Malik saja. 

Pemikiran mazhab ini (al-fikr al-maẓhabi) menurut al-Jabiri tidak hanya sebagai konten (al-fikr al-muhtawa), tetapi juga merupakan instrumen (al-fikr al-‘adah) yang menghasilkan nalar ilmiah dan ideologis. Kedua nalar tersebut bukanlah alamiah, namun hasil dari persinggungan dari lingkungan alam, sosial dan budaya.

Kritik Ibn al-Labbad terhadap pemahaman hadis al-Syafi‘i selalu terbuka. Pemahaman ini juga menyesuaikan dengan sesuai situasi, kondisi dan letak geografis dimana sebuah teks berada. Pemahaman tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan yang wajib dizakati juga berbeda jenis dan ukurannya.

Oleh karena itu, pemahaman hadis tidak lagi harus sama seperti tertulis di dalam teks-teks klasik. Pemahaman harus tetap berjalan dan menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Mungkin pemahaman masa lalu benar di tempat dan zamannya, dan mungkin tidak lagi bisa diterapkan tempat dan zaman yang lain.

Kritik adalah keseimbangan dalam diskursus ilmiah, terlepas dari penggunaan istilah dan pilihan kata yang ekstrim dan keras sebagaimana dilakukan Ibn al-Labbad. Kritik merupakan salah satu cara untuk memandang kekurangan dalam argumentasi dan pendapat yang diajukan oleh orang lain. Oleh karena itu, tidak berarti yang memberikan kritik adalah yang benar dan yang dikritik adalah yang salah. Keduanya benar sesuai dengan perspektif, tempat dan zamannya masing-masing.


Baca juga:
Labels : #al-Syafii ,#Ibn al-Labbad ,#Ilmu Hadis ,#Opini ,#Ulama Hadis ,
Menunggu informasi...

Posting Komentar