Daftar Isi [Tampilkan]
Oleh: Muhammad Anshori
Staf Pengajar Ilmu Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Dalam mengkaji ilmu apapun, penguasaan terhadap bahasa sangat penting. Dalam konteks sekarang, bahasa internasional yang banyak digunakan dalam lingkup akademik adalah bahasa Inggris, Arab, Perancis, dan Jerman. Akan tetapi, nampaknya yang paling dominan adalah bahasa Arab dan Inggris. Dengan menguasai dua bahasa tersebut, seorang ilmuwan bisa mengkaji Islam dari berbagai perspektif. Studi Islam yang berasal kajian kajian literatur bisa dikembangkan secara luas dengan ragam metode dan pendekatan. Studi Islam (Islamic Studies) memiliki sejarah yang panjang dan cakupan pembahasan yang luas dalam sejarah Islam. Seseorang yang ingin mendalami studi Islam harus membaca literatur-literatur yang ditulis oleh ulama klasik dan abad tengah, yang kemudian berkembang sampai masa modern dan kontemporer.
Tidak diragukan lagi bahwa bahasa Arab dan Inggris merupakan bahasa yang sangat penting untuk dipelajari di dunia. Seseorang yang menguasai kedua bahasa tersebut maka wawasannya akan luas karena hampir semua literatur keilmuan Islam ditulis dalam bahasa Arab dan Inggris. Bahasa Arab menjadi bahasa agama karena Alquran berbahasa Arab, Nabi dari Arab, literatur-literatur tafsir, hadis, kalam, fikih, ushul fikih, tasawuf, dan lain-lain, menggunakan bahasa Arab, shalatpun menggunakan bahasa Arab. Tidak diragukan lagi bahwa bahasa Arab memiliki peran penting dalam ranah keilmuan Islam. Orang yang pandai berbahasa Arab dan bisa membaca literatur Islam klasik atau yang dikenal dengan kitab kuning, bisa mendalami studi Islam dengan baik. Bahasa Arab memang akan selalu dipelajari karena di Pesantren-pesantren, kitab-kitab yang diajarkan menggunakan bahasa Arab. Dunia pesantren identik dengan dunia Arab, meskipun tidak menggunakan bahasa Arab dalam percakapan sehari-hari. Ada beberapa pesantren yang menerapkan bahasa Arab atau Inggris dalam kesehariannya, tetapi tidak terlalu banyak.
Di samping bahasa Arab, salah satu bahasa yang tak kalah penting untuk dipelajari adalah bahasa Inggris. Bahasa Inggris merupakan salah satu bahasa dunia yang paling banyak dipakai dalam dunia internasional. Dalam dunia akademik, mempelajari bahasa Inggris seharus menjadi sebuah kewajiban. Jika seorang dosen yang tidak memiliki kemampuan bahasa Inggris yang baik, maka pengetahuannya akan dangkal karena tidak bisa membaca pemikiran-pemikiran sarjana Barat atau orientalis. Kajian-kajian ilmu keislaman yang dilakukan oleh kalangan orientalis lebih banyak menggunakan bahasa Inggris. Jika kita ingin mengetahui pemikiran mereka maka kita harus meningkatkan bahasa Inggris. Sebenarnya literatur ilmu keislaman juga banyak ditulis dalam bahasa Jerman, Perancis, Yunani, Latin, Persia, dan sebagainya. Namun jika kita telah menguasai bahasa Arab dan Inggris maka itu sudah cukup untuk menjadi “ulama plus.” Tidak semua orang memiliki kemampuan bahasa asing dengan baik meskipun telah belajar di Dunia Arab atau Dunia Barat.
Semakin seseorang menguasai suatu bahasa, maka akses pengetahuan semakin luas. Seorang pengkaji Islam harus tetap belajar tanpa putus asa karena barangsiapa bersungguh-sungguh pasti berhasil. Meningkatkan kualitas diri sangat penting, terutama kemampuan berbahasa asing. Bahasa asing seperti Arab dan Inggris harus dimiliki oleh kaum terpelajar. Dalam konteks sekarang, banyak buku Arab dan Inggris diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Inggris, Jerman, dan lain-lain. Bahkan dari bahasa Jerman, Urdu, ataupun Perancis juga ada yang diterjemahkan ke bahasa tersebut. Tugas seorang sebagai akademisi atau penggiat ilmu-ilmu keislaman sekarang adalah membaca karya-karya tersebut sambil meningkatkan kemampuannya dalam menguasai bahasa asing. Di sinilah letak korelasi antara pentingnya bahasa asing dan kajian literatur dalam studi Islam.
Prof. Drs. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D., yang pernah menjadi Rektor UIN Sunan Kalijaga dan sekarang menjadi Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), pernah ditanya terkait apa yang dipersiapkan ketika seseorang ingin belajar ke Barat. Beliau kemudian menjawab:
Pertama adalah kemampuan bahasa Arab, karena bahasa Arab merupakan bahasa yang sulit bagi orang Indonesia. Jadi, kalau orang Indonesia sudah bisa bahasa Arab, hampir 100 persen akan bisa bahasa-bahasa lain, seperti Inggris, Prancis, dan Jerman. Sebaliknya, kalau orang Indonesia kuliah ke Barat tetapi tidak bisa berbahasa Arab, hampir dapat dipastikan ia tidak akan bisa bahasa Arab. Setelah studi di Barat, ia tetap tidak bisa bahasa Arab karena selama kuliah di Barat selalu menghindari teks-teks berbahasa Arab, sehingga tidak bisa menjadi ulama setelah kembali ke Indonesia.
Kajian terhadap kitab-kitab hadis memang perlu dilakukan supaya “masyarakat akademik” lebih mengetahui khazanah literatur ulama-ulama terdahulu. Hal ini bisa digalakkan dalam kajian-kajian hadis yang ada di Perguruan Tinggi. Kitab-kitab hadis memiliki banyak bentuk sehingga sangat potensial untuk dikaji sebagai upaya mengapresiasi warisan ulama terdahulu. Dengan mengkaji sebuah kitab, akan diketahui konteks penulisan dan situasi sosio-historis masa lalu. Tentu ini disesuaikan dengan bakat dan kemampuan pribadi masing-masing pengkaji hadis. Dengan mengkaji kitab hadis, seolah-olah orang bersangkutan hidup pada masa penulis kitab itu sendiri. Bahkan merasa hidup pada masa lalu sehingga bisa merasakan dua dunia, yaitu dunia masa lalu dan masa sekarang.
Sebagai catatan akhir, kebutuhan terhadap bahasa tentu tergantung letak geografis dimana kajian Islam dilakukan. Ilmuwan-ilmuwan yang bahasa ibunya adalah bahasa Arab, seperti Mesir, Kuwait, Yaman, Arab Saudi, Sudan, dan lain-lain, tentu tidak membutuhkan bahasa Arab. Mereka hanya membutuhkan ilmu tata bahasa, seperti nahwu dan sharaf misalnya. Demikian juga dengan negara-negara yang memiliki bahasa akademik Inggris, seperti Amerika dan Australia misalnya. Mereka hanya membutuhkan tata bahasa Inggris, demikian seterusnya. Bagaimanapun juga, persoalan bahasa dalam mengkaji sebuah keilmuan sangat dibutuhkan. Dalam konteks sekarang, bahasa yang diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah bahasa Inggris, Arab, Mandarin, Perancis, Rusia, dan Spanyol. Akan tetapi, dalam konteks ilmuwan Indonesia, menguasai bahasa Arab dan Inggris sudah dirasa cukup. Lebih-lebih dalam mengkaji literatur Islam klasik sebagai alat untuk mengembangkan kajian Islam.
Baca juga:
Labels :
#Ilmu Hadis ,#Ilmu Terkait ,#Opini ,#Orientalis ,
Menunggu informasi...