Puasa Asyura: Sejarah dan Tingkatan Puasa

Daftar Isi [Tampilkan]
Oleh: Muhammad Akmaluddin


Puasa Asyura adalah puasa pada hari kesepuluh bulan Muharram. Menurut ulama Hanafiyyah, puasa Asyura diwajibkan sebelum adanya kewajiban bulan Ramadhan. Namun menurut ulama Syafi’iyyah, tidak ada puasa yang diwajibkan sebelum adanya puasa bulan Ramadhan.

Asal usul penamaan Asyura ini membawa ulama dalam beberapa pendapat. Ibn Hajar al-‘Asqalani mencatat beberapa perbedaan tersebut, antara lain dari ada tidaknya nama tersebut pada masa Jahiliyyah, asal usul nama tersebut, apakah yang dimaksud malam kesepuluh atau hari kesepuluh bulan Muharram serta apa wazan yang diikuti dalam nama tersebut.

Beberapa riwayat hadis menerangkan bahwa Rasulullah melakukan puasa Asyura, dan berkeinginan untuk melakukan puasa Tasu’a (hari kesembilan bulan Muharram) pada tahun berikutnya. Keinginan ini ditengarai untuk berbeda dengan Yahudi, yang hanya melakukan puasa Asyura.

Menurut Ibn Hajar, dalam situasi dan kondisi tertentu, Rasulullah lebih suka bersepakat dengan Ahli Kitab dalam hal yang tidak ada perintahnya. Lebih-lebih jika hal tersebut berseberangan dengan perilaku para penyembah berhala. Akan tetapi, sejak penaklukan Makkah (Fathu Makkah) dan berkembangnya ajaran Islam, Rasulullah lebih suka berbeda dengan Ahli Kitab. Hal ini ditunjukkan sabda Rasululullah “wa nahnu ahaqqu bi Musa minkum.”

Setelah itu, Rasulullah suka berbeda dengan Ahli Kitab, dan memerintahkan umat Islam untuk berpuasa sebelum atau sesudah puasa Asyura agar tidak sama dengan Ahli Kitab. Ibn Hajar kemudian menjelaskan tentang sabda Rasulullah:

لئن عشت إلى قابل لأصومن التاسع


Dalam
Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Ibn Hajar menerangkan bahwa berdasarkan hadis tersebut,  ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, Rasulullah ingin memindah puasa hari kesepuluh ke hari kesembilan. Kemungkinan kedua, beliau ingin menambah puasa selain hari kesepuluh.

Dengan demikian, ada tiga tingkatan dalam puasa Asyura. Pertama adalah puasa Asyura saja, tidak dibarengi dengan puasa sebelum atau sesudahnya. Kedua melakukan puasa Tasu’a dan Asyura sekaligus. Ketiga melakukan puasa Tasu’a, Asyura dan hari setelah Asyura (hari kesebelas). 

Menurut Ibn hajar, dengan berpuasa tiga hari tersebut, maka seseorang lebih berhati-hati, karena Rasulullah wafat sebelum melakukan puasa Tasu’a tahun berikutnya, dan belum menjelaskan apakah harus berpuasa pada hari kesebelas atau tidak.

Menurut Imam Nawawi al-Bantani dalam Nihayatuzzain, puasa Tasua dan Asyura saja yang diwajibkan. Tidak ada puasa hari kesebelas sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar. Masyarakat di Nusantara juga biasanya hanya berpuasa di dua hari tersebut, sebagian hanya melakukan puasa Asyura saja.

Baca juga:
Labels : #Asyura ,#Ibn Hajar ,#Nawawi al-Jawi ,#Nusantara ,#Opini ,#Sejarah ,#Tasua ,
Menunggu informasi...

Posting Komentar