Diterjemahkan dari “Introduction” oleh Gregor Schoeler,
dalam buku The Biography of Muḥammad: Nature and Authenticity (Charakter und Authentie der muslimischen
Überlieferung über des Leben Mohammeds), diterjemahkan oleh Uwe Vagelpohl; disunting oleh James E.
Montgomery, Routledge:
2011
Penerjemah: Muhammad Akmaluddin
1. Karya
saat ini
Penelitian ini berbeda dengan artikel saya
tentang tradisi Islam awal tidak hanya dari segi subjek dan skala, tetapi juga
cakupannya. Saya telah memperluas cakupan penelitian saya dengan memasukkan,
selain sifat tradisi (fokus dari dua bab pertama penelitian ini),
masalah keaslian (authenticity), yang akan dibahas secara eksplisit di
bab ketiga dan sampai batas tertentu di bab kedua.
Yang paling penting, saya tidak akan membatasi
diri saya untuk meneliti kepustakaan biografi Arab -meskipun hal ini akan
digunakan dalam bab pertama -tetapi, sebagai tambahan, saya akan mempelajari
secara khusus dua tradisi atau kompleks tradisi Madinah atau kompleks tradisi
dalam perjalanannya dari narasumber aslinya (yang sebenarnya atau yang diduga)
sampai kepada para penyusun yang memasukkannya ke dalam karya-karya yang masih
ada sampai sekarang. (Untuk alasan-alasan praktis, saya akan mulai dengan
karya-karya yang terakhir ini dan bergerak mundur ke belakang).
Dalam menganalisa bahan biografi dan melalui
kajian diakronis dari tradisi-tradisi yang terpisah, perhatian utama saya
adalah untuk membedakan dan menjelaskan tahapan-tahapan yang berurutan dalam
penyebaran di Madinah. Sementara artikel-artikel saya berfokus pada sifat dari
sumber-sumber dari kompilasi-kompilasi utama dari abad ke-3/ke-9 dan
ke-4/ke-10, contohnya al-Bukhārī, Muslim, aṭ-Ṭabarī – saya telah menetapkan bahwa sumber-sumber
tersebut sebagian besar merupakan catatan-catatan pribadi (aide-mémoires),
kumpulan catatan kuliah, dan tulisan-tulisan yang masuk dalam kategori ‘literatur
mazhab (secara khusus) untuk mazhab’ -penelitian ini mengkaji sifat transmisi
sampai, selama dan setelah masa generasi pertama pengumpul pada paruh kedua
abad pertama Hijriyah, tokoh-tokoh eperti ʿUrwah bin az-Zubayr (wafat 94/712
atau tidak lama setelahnya) dan Abān bin ʿUṯmān (wafat 96/714 atau sedikit
setelahnya).
Perhatian saya yang kedua adalah pertanyaan
tentang keaslian (authenticity) tradisi Islam awal. Hal ini terkait
dengan, namun tidak identik dengan, pertanyaan tentang hakikatnya. Sebuah garis
besar tentang apa yang saya pahami dan tidak pahami dari istilah ‘keaslian’
sangat penting sejak awal, meskipun hal itu akan mengantisipasi temuan utama
dari penyelidikan saya. Dengan ‘otentik’ saya tidak bermaksud menyiratkan bahwa
peristiwa-peristiwa yang digambarkan dalam hadis-hadis ini terjadi persis
seperti yang digambarkan. Kita harus memperhitungkan jeda kronologis antara
laporan-laporan awal dan peristiwa yang dilaporkan (yaitu sekitar 30-60 tahun),
dan distorsi apapun yang muncul dari sudut pandang para perawi. Meskipun
demikian, kita dapat menerima hipotesis bahwa laporan-laporan tersebut, yang
didasarkan pada laporan para saksi mata, atau (paling tidak) pada
laporan-laporan kontemporer, merefleksikan, kira-kira, garis-garis besar dari
kejadian-kejadian yang sebenarnya, dan kadang-kadang bahkan mungkin beberapa
detail.
Lebih jauh lagi, saya tidak mengusulkan bahwa
periwayatan lebih lanjut dari sebuah hadis, dari pengumpul hadis (misalnya,
ʿUrwah ibn az-Zubayr) kepada para pengumpul karya-karya hadis yang masih ada
(misalnya, Ibn Isḥāq, al-Bukhārī, aṭ-Ṭabarī), terjadi tanpa ada konsekuensi apapun
terhadap susunan kata (dan terkadang juga isi) hadis. Sebaliknya, kita harus
memperhitungkan ‘proses modifikasi’ yang dialami oleh banyak hadis. Namun,
ketika sebuah hadis memiliki lebih dari satu versi periwayatan, saya
berpendapat bahwa kita dapat, dengan membandingkan dan menetapkan titik temu
(yakni materi yang sama) dari teks-teks tersebut, merekonstruksi, baik sebagian
maupun keseluruhan, sesuatu yang mendekati versi aslinya.
Oleh karena itu, dalam buku ini, kata ‘otentik’
akan digunakan untuk menggambarkan hadis-hadis yang secara nyata dikumpulkan
dan disebarkan, dalam sebuah proses pengajaran yang sistematis, oleh
individu-individu historis dari sekitar sepertiga terakhir abad pertama Hijriyah. Rantai periwayatan hadis-hadis ‘otentik’
semacam itu menunjukkan silsilah historis guru dan murid: hadis-hadis tersebut
tidak muncul melalui ‘pemunculan kembali’ para isnad.
Pertama, mari kita ingat kembali fakta dasar
yang menjadi titik awal perdebatan ini. Kecuali Al-Qur’an, yang hanya memuat
sedikit informasi tentang kehidupan dan masa-masa Nabi Muhammad, semua
sumber-sumber Islam yang masih ada (setidaknya sumber-sumber literer) berasal
dari waktu yang lama setelah peristiwa tersebut. Beberapa sumber non-Islam
muncul lebih awal (bahkan pada abad pertama Hijriyah) namun tidak banyak menceritakan
tentang kehidupan Nabi. Hampir semua pengetahuan kita tentang asal-usul Islam
didasarkan pada kisah-kisah yang ditransmisikan, yaitu hadis. Penyuntingan
definitif atas riwayat-riwayat ini baru dilakukan pada abad ketiga/sembilan dan
keempat/kesepuluh; dengan demikian, proses periwayatan memakan waktu 150-250
tahun sebelum materi tersebut disunting menjadi karya-karya yang kita miliki
saat ini. Seberapa dapat diandalkankah transmisi ini?
Memang benar bahwa, dalam hal ketepatan dan
ketepatan pelestarian teks-teksnya, transmisi materi dalam sistem pengajaran
Islam awal sama sekali tidak sebanding dengan transmisi secara lisan dan kata
demi kata, selama lebih dari satu milenium, dari Weda Hindu dan Avesta
Persia. Sistem Indo-Iran dan Islam sebenarnya harus dianggap sebagai dua jenis
pelestarian mnemonik (teknik untuk mempermudah dalam mengingat sesuatu) yang
berbeda. Perbedaan utamanya adalah bahwa umat Islam tidak mengembangkan metode
khusus untuk menyampaikan teks secara kata demi kata (misalnya hafalan mekanis
atau teknik mnemonik tertentu) untuk tradisi mereka (sejarah, ḥadīṡ,
tafsir Al-Qur’an). Dalam hal ini, mereka berada pada posisi
yang kurang menguntungkan tidak hanya dibandingkan dengan umat Hindu dan Iran
kuno, tetapi juga dengan cendekiawan Yahudi abad kedua (tan-naīm), yang
harus mengulang kata demi kata ayat-ayat miṣnah yang telah mereka
pelajari di sekolah-sekolah mereka. Metode periwayatan para
cendekiawan Muslim awal (ʿulamāʾ) dalam hal ini bahkan lebih rendah daripada
metode periwayatan para periwayat (ruwāt) puisi Arab kuno, yang -terlepas
dari kebebasan yang mereka terima dan yang diharapkan dari mereka dalam hal
pembacaan dan penyebarluasan- diharuskan untuk mengetahui materi mereka secara
kurang lebih persis, dan tugas mereka dipermudah oleh metrum dan rima puisi.
Namun, kita tidak boleh secara otomatis mengklasifikasikan bentuk periwayatan
bebas yang lazim dalam tradisi sejarah dan hukum/dogmatik Islam awal sebagai
sesuatu yang cacat dan tidak memadai. Transmisi yang sepenuhnya setia yang
secara akurat mereproduksi setiap aspek dari materi yang dipermasalahkan bahkan
mungkin tidak dimaksudkan.
Periwayatan lisan yang sepenuhnya verbatim
(yang, bagaimanapun juga, selalu disertai dengan periwayatan tertulis) menjadi
dominan hanya dalam kaitannya dengan satu teks: Al-Qur’an, kitab yang memiliki otoritas tertinggi.
Bahkan di sini, periwayatan kata demi kata didahului oleh periode periwayatan
yang ‘lebih bebas’ (yang harus diakui singkat).
Oleh karena itu, satu-satunya metode yang dikembangkan
pada masa awal Islam untuk memastikan tingkat presisi tertentu dalam
menyampaikan materi ḥadīṡ historis dan hukum/dogmatis adalah penggunaan
catatan tertulis, yang semakin meluas setelah abad pertama Hijriyah. Namun,
melek huruf tidak secara otomatis menjamin keaslian dan ketepatan -materi
tertulis dapat dengan mudah dimanipulasi dan dipalsukan seperti halnya tradisi
lisan. Terlepas dari seberapa dekat hubungan kedua masalah ini, pertanyaan
tentang keaslian tidak dapat secara otomatis disamakan dengan isu tentang sifat
transmisi tertulis (written) atau lisan (oral): di satu sisi,
transmisi lisan tidak selalu mengarah pada ketidaktepatan, dan di sisi lain,
catatan tertulis tidak selalu mengimplikasikan keaslian.
2.
Tentang
keandalan tradisi: Dari abad kesembilan belas hingga sekitar tahun 1980
Keandalan seluruh tradisi sejarah Islam awal,
terutama Sīrah, biografi Nabi, telah menjadi bahan perdebatan di
seperempat pertama abad terakhir. Para skeptis, seperti L. Caetani dan H.
Lammens, menggunakan penolakan menyeluruh Goldziher (yang pada saat itu
diterima secara umum) terhadap seluruh tradisi keagamaan (yaitu ḥadīṡ
legal dan dogmatis) dan menerapkan sudut pandangnya terhadap tradisi sejarah
awal.
Lammens mengklaim bahwa ḥadīṡ (dalam arti yang sebenarnya), tafsīr (penafsiran
Al-Qur’an), dan sīrah (biografi Nabi) memiliki
sumber yang sama; ia bahkan menyatakan bahwa hampir seluruh materi sīrah
merupakan produk dari ḥadīṡ dan tafsīr. Dengan kata lain, kehidupan
Muḥammad, menurut Lammens, terdiri dari laporan-laporan biografi yang tidak
lain adalah materi penafsiran yang diciptakan secara bebas yang terinspirasi
oleh kiasan-kiasan Al-Qur’an. Sedangkan untuk periode Madinah, Lammens menerima
tradisi sejarah yang tidak jelas. Berlawanan dengan pandangan
ekstrim ini, T. Nöldeke dan C.H. Becker mengambil sikap moderat
terhadap kegunaan tradisi sejarah. Becker menunjukkan bahwa Lammens hanya
mengutip hadis-hadis yang mendukung klaimnya (bagi Lammens, seorang pendeta
Katolik, hadis-hadis yang menampilkan Muḥammad dalam pandangan yang buruk) dan
membuang hadis-hadis yang bertentangan dengannya (hadis-hadis yang menampilkan
Muḥammad dalam pandangan yang baik). Nöldeke menunjukkan berdasarkan
contoh-contoh spesifik bahwa, cukup sering, Caetani dan Lammens bertindak
terlalu jauh dengan skeptisisme mereka.
Posisi Caetani dan Lammens terus memberikan
pengaruh bahkan pada paruh kedua abad terakhir: pengaruhnya terhadap Le
Problème de Mahomet karya Blachère tidak diragukan lagi. Schacht
mengungkapkan skeptisisme terhadap tradisi sejarah Islam yang serupa dengan
yang disuarakan oleh Lammens. Namun, titik tolaknya bukanlah klaim
Lammens, yang tentu saja sudah tidak asing lagi baginya; sebaliknya, ia mencoba
menerapkan temuannya sendiri tentang asal-usul yurisprudensi Muslim pada genre sīrah.
Namun, hingga tahun 1970-an, pandangan moderat
Nöldeke dan Becker masih dominan, seperti yang dapat kita lihat dengan jelas
dalam komentar kritis terhadap sumber-sumber biografi Muḥammad yang penting
oleh F. Buhl, W. M. Watt dan R. Paret. Situasi yang sama juga terjadi
di bidang penelitian sīrah dan Ibn Isḥāq. Dari seperempat pertama abad
ke-20, kita memiliki studi J. Horovitz dan J. Fück; dari paruh kedua,
karya-karya A. Guillaume, W. M. Watt dan R. Paret (untuk menyebut beberapa
sarjana yang penting bagi studi kita).
Putaran kedua dari perdebatan mengenai
keandalan tradisi sejarah awal Islam terjadi pada tahun 1970-an dan 1980-an.
Hal ini ditandai dengan perdebatan antara A. Noth dan Ursula Sezgin tentang
laporan-laporan yang mencakup masa kekhalifahan awal (dan karena itu tidak
terkait dengan materi sīrah). Karena isu-isu yang diangkat dalam diskusi
mereka mirip dengan yang kita hadapi dalam konteks sīrah, saya akan
meringkas argumen masing-masing.
Noth, yang secara khusus membahas ‘teori mazhab’
Wellhausen, melanjutkan dengan menganalisis hadis-hadis yang berbeda
mengenai penaklukan-penaklukan awal Islam. Ia mengamati bahwa hadis-hadis
tersebut mengalami proses ‘pemalsuan’ dalam perjalanan panjangnya dari informan
asli ke penyusunnya. Pemalsuan ini -atau lebih tepatnya modifikasi- terjadi
melalui peringkasan, sistematisasi, amplifikasi, ringkasan, pengaturan
kronologis dan faktual yang salah, penghilangan, penemuan, dan manipulasi
serupa. Dalam proses transmisi, kita sering mengamati munculnya topoi,
motif narasi stereotip yang berulang. Di sisi lain, Noth menekankan bahwa tidak
hanya ada tradisi yang ‘buruk’, tapi juga tradisi yang ‘baik’; meskipun ia
sangat skeptis, ia tidak menolak tradisi sejarah Islam awal secara keseluruhan.
Gagasan-gagasan Noth telah memberikan pengaruh
yang besar pada penelitian selanjutnya di bidang historiografi Islam awal. Yang
cukup menarik, pengaruhnya lebih meluas di kalangan Anglophone (orang yang
berbicara dengan bahasa Inggris) daripada di kalangan kesarjanaan Jerman.
Perhatikan dua contoh penulis yang mengadopsi dan memperluas pendekatannya.
E. Landau-Tasseron telah menunjukkan
berdasarkan sebuah episode dari sīrah bahwa perubahan substansial dari
materi sejarah tidak hanya disebabkan oleh pemalsuan yang tendensius, tetapi
juga oleh proses penyuntingan itu sendiri (terutama dalam kasus al-Wāqidī).
L. Conrad telah menjelaskan kemunculan
laporan-laporan yang sepenuhnya ahistoris tentang peristiwa-peristiwa sejarah
(di sini: penaklukan Pulau Arwād seperti yang dijelaskan oleh aṭ-Ṭabarī dan al-Wāqidī), yang tidak lebih dari kumpulan topoi.
Ia mampu meneliti sumber-sumber Kristen Syriak yang lebih tua, yang secara
kronologis lebih dekat dengan kejadian-kejadian tersebut dan lebih sesuai
dengan historiografi Muslim. Mengingat analisis kami sendiri terhadap materi
yang berasal dari al-Wāqidī, perlu ditunjukkan bahwa temuan Landau-Tasseron dan
Conrad sebagian besar ditentukan oleh fakta bahwa mereka memilih teks-teks
karya al-Wāqidī.
Hasil penelitian Noth dikritik oleh Ursula
Sezgin, yang telah mempublikasikan sebuah penelitiannya sendiri tentang tradisi
sejarah Islam mengenai kekhalifahan awal. Untuk tujuan ini, mari kita hanya
berkonsentrasi pada satu aspek dari perselisihan mereka: penilaian mereka
masing-masing terhadap periwayatan hadis-hadis yang berbeda dari informan asli
kepada penyusunnya. Menurut Sezgin, kita tidak punya alasan untuk menyatakan
adanya ‘proses pemalsuan’. Ia mengakui bahwa kebenaran dari laporan informan
asli -yang materinya sering kali terdiri dari laporan saksi mata (yang benar
atau dugaan)- tidak selalu bebas dari cela; ia tidak menyangkal adanya
usaha-usaha untuk memperindah, menambah, atau bentuk-bentuk gangguan yang
serupa. Namun setelah tahap pertama ini, naskah-naskah ditransmisikan menurut
sebuah sistem yang ‘dikondisikan untuk transmisi yang setia’. Menurutnya, ‘ini
berarti bahwa mereka [para penyusun naskah] terikat pada kata-kata mereka [para
penyampai naskah], yang tidak dapat diubah tanpa dicatat dengan benar’.
Namun, untuk proses periwayatan selanjutnya
(setelah Abū Miḫnaf, wafat 157/774), ia mengakui adanya
pemendekan dan peringkasan, yang, menurutnya, dapat menimbulkan bias tertentu.
Selain itu, ia juga mencatat bahwa kesetiaan periwayatan yang dikemukakan oleh
sistem ini tidak selalu dipatuhi dalam praktiknya. Kualifikasi ini sedikit
banyak menjelaskan pertentangan yang tampak antara pandangannya dan pandangan
Noth. Dalam sumber-sumbernya, Sezgin tidak menemukan hadis-hadis paralel yang
sesuai dengan laporan Abū Miḫnaf yang ia teliti; oleh karena itu, ia
tidak dapat memberikan jawaban yang pasti terhadap pertanyaan mengenai
keakuratan periwayatan dari informan asli kepada Abū Miḫnaf.
Diskusi tentang masalah keandalan dilakukan
dengan penuh semangat pada tahun 1970-an dan 1980-an dengan publikasi dari para
‘skeptis’ yang ekstrim: J. Wansbrough, P. Crone dan M. Cook. Terdapat reaksi
dari J. van Ess dan khususnya W. M. Watt dan R. B. Serjeant. Sementara Lammens,
seperti yang dikatakan Becker, sama sekali tidak konsisten dalam skeptisismenya
(karena dia hanya membuang sebagian tradisi Muslim, yaitu materi yang
menampilkan Muḥammad dalam cahaya yang positif!) dan sementara Noth tidak
menafikan keberadaan tradisi yang asli dan “baik”, para skeptis merasa
terdorong untuk menolak hampir keseluruhan tradisi Islam awal. Sebagai
contoh, Wansbrough menolak catatan Islam tentang redaksi teks Al-Qur’an secara keseluruhan. Berdasarkan contoh-contoh
yang terpisah, Crone berpendapat bahwa tradisi Islam tidak realistis, penuh
dengan kontradiksi, inkonsistensi, dan anomali. Dia menjelaskan situasi ini
berdasarkan kombinasi keadaan sejarah (perubahan agama, politik dan masyarakat
yang radikal setelah kemunculan Islam) dan metode transmisi (penyebaran lisan
dari perkataan dan laporan singkat). Menurut Crone, para periwayat profesional
(qāṣṣāṣ) harus disalahkan karena memodifikasi dan
memperindah materi yang melewati tangan mereka. Cook mengamati bahwa tidak ada
kriteria obyektif untuk keaslian dalam studi literatur Islam awal (abad pertama
dan kedua Hijriyah). Kedua
cendekiawan tersebut sering menekankan bahwa, untuk mengenali kebenaran
sejarah, kita harus melihat sumber-sumber dari luar lingkungan Muslim (bukti ‘eksternal’),
seperti artefak-artefak arkeologi atau teks-teks non-Muslim.
Sebelum munculnya kontroversi yang diuraikan di
atas dan masih sebagai reaksi terhadap ‘posisi Lammens-Becker’, Watt melakukan
upaya awal untuk mengkonfirmasi historisitas peristiwa-peristiwa utama yang
diceritakan di dalam Sīrah. Dua puluh tahun kemudian, dalam sebuah
kesempatan Kolokium Strasburg tentang kehidupan Nabi, ia kembali mengangkat ide
ini, dan kini secara eksplisit merujuk pada kontroversi yang terjadi baru-baru
ini tentang keandalan seluruh sumber-sumber sejarah awal Islam.
Menurut Watt, ada kerangka dasar dari Sīrah
yang ia sebut sebagai ‘materi maġāzī’. Materi ini terdiri dari informasi berikut: ‘daftar
maghāzī atau ekspedisi, kelompok yang dituju, pemimpin
dan jumlah partisipan, dan dalam beberapa kasus, nama-nama mereka, hasil, dan
perkiraan tanggal dan posisi kronologis relatif; dalam kasus
peristiwa-peristiwa besar ... juga ... garis besar pertempuran atau peristiwa
lainnya’. Materi ini merupakan dasar dari Sīrah Ibn Isḥāq dan memberikan
kerangka kronologisnya. Sebelum dikumpulkan dan diorganisir oleh para sarjana,
laporan-laporan yang relevan, yang biasanya disajikan oleh Ibn Isḥāq tanpa isnād,
dipelihara secara kolektif oleh masyarakat atau setidaknya oleh sebagian
Muslim. Materi ini selalu diterima secara umum dan dianggap dapat dipercaya.
Hal ini harus dibedakan dengan tajam dari anekdot-anekdot tentang rincian yang
kurang penting dari berbagai ekspedisi yang disisipkan ke dalam kerangka kerja
oleh Ibn Isḥāq dan selalu dilengkapi dengan isnād. Ada kemungkinan bahwa
anekdot-anekdot ini (yang biasanya berhubungan dengan detail-detail kecil dari
sebuah peristiwa dan yang dapat kita klasifikasikan sebagai ḥadīṡ), sering kali
palsu. Akan tetapi, materi ini tidak digunakan secara luas dalam
biografi-biografi Muḥammad di Eropa. Kesalahan utama yang dituduhkan Watt
kepada Lammens dan Becker -dan juga Cook dan Crone-adalah karena mereka tidak
membuat pembedaan mendasar antara materi maġāzī yang otentik dengan ḥadīṡ dan anekdot yang
meragukan.
Aspek-aspek tertentu dari tesis Watt -betapapun
masuk akalnya tesis tersebut pada awalnya- terbuka untuk dikritik. Sebagai
contoh, kerangka kronologis tidak dapat diklasifikasikan sebagai bagian dari ‘materi
maġāzī’: dalam studi fundamentalnya tentang Ibn
Isḥāq, Fück telah menunjukkan bahwa kronologi tersebut sebagian besar merupakan
karya Ibn Isḥāq sendiri. Bukti yang lebih meyakinkan dapat ditemukan dalam
sebuah karya yang tidak tersedia bagi Watt, namun telah disunting olehnya,
yaitu Kitāb al-maġāzī karya orang yang semasa dengan Ibn Isḥāq, yaitu Ma’mar ibn Rāšid (seperti yang ditransmisikan
oleh ʿAbd ar-Razzāq ibn Hammām, satu generasi setelahnya), yang tidak memiliki
kerangka kronologis yang konsisten. Selain itu, ‘materi maġāzī’ Watt terkadang berisi komentar Ibn Isḥāq
sendiri tentang peristiwa yang dimaksud atau ringkasan dengan kata-katanya
sendiri tentang isi hadis atau bab berikutnya (yang terdiri dari beberapa
hadis). Mengenai masalah ketiadaan isnād (baik yang diduga maupun
yang sebenarnya), kita harus menambahkan bahwa materi maġāzī tidak selalu disajikan tanpa sanad. Meskipun
tampaknya demikian, dalam Sīrah (pembacaan ulang Ibn Ḥisyām terhadap karya Ibn Isḥāq), dokumen-dokumen (konstitusi Madinah) dan
daftar-daftar (misalnya peserta dan korban perang Badar) selalu dikutip secara
anonim oleh Ibn Isḥāq, beberapa kasus materi maġāzī tanpa isnād di dalam Sīrah bisa
jadi merupakan hasil intervensi dari editor Ibn Isḥāq, Ibn Hiṣām, yang mungkin saja menghapus isnād
tersebut. Hal ini dapat dibuktikan pada beberapa bagian.
Gagasan bahwa ada sesuatu yang mirip dengan ‘kerangka
dasar’ otentik Maġāzī bukanlah hal yang baru. Paret menunjukkan bahwa jalur Ibn Isḥāq -
az-Zuhrī - ʿUrwah ibn az-Zubayr mendokumentasikan
hubungan guru-murid yang sebenarnya, bukan ‘mengangkat kembali’ isnād, dan
bahwa ʿUrwah, sebagai putra dari salah satu pengikut awal Nabi, setidaknya
memiliki akses tidak langsung terhadap kejadian-kejadian yang terjadi selama
masa hidup Nabi.
Murid Paret, J. von Stülpnagel, menerapkan pendekatan
ini lebih jauh dalam tesis doktoralnya yang tidak diterbitkan dan oleh karena
itu tidak banyak diketahui. Dia berpendapat bahwa hadis-hadis ʿUrwah ibn
az-Zubayr (ditransmisikan terutama oleh muridnya, az-Zuhrī, dan putranya, Ḥisām, kepada para sarjana dari
generasi berikutnya, termasuk Ibn Isḥāq) merupakan ‘dasar yang berguna ...
untuk penelitian tentang kehidupan Muḥammad’. Ia menambahkan: “Bahkan dapat
dikatakan bahwa untuk bidang khusus ini (ilmu Sīrah), hadis-hadis utama,
yang bahkan sampai saat ini menjadi bukti terpenting, berasal dari koleksi ʿUrwah. Lebih jauh lagi, von Stülpnagel sendiri
membahas masalah keaslian dan memberikan beberapa saran tentang bagaimana
hadis-hadis palsu dalam kumpulan ʿUrwah dapat dikenali dan disingkirkan.
Upaya lain untuk memisahkan elemen-elemen
historis dalam Sīrah dilakukan oleh R. Sellheim. Ia mengembangkan sebuah
‘teori stratifikasi’, yang menurutnya kita bisa melihat tiga lapisan dalam
materi Ibn Isḥāq yang diletakkan di atas yang lain: (1)
peristiwa-peristiwa historis; (2) materi legenda; dan (3) dampak dari konflik
faksional atau dogmatis. Sebagian dari lapisan historis identik dengan ‘materi maġāzī’ Watt, yang mencakup daftar dan
peristiwa-peristiwa utama periode Madinah Muḥammad. Selain itu, lapisan ini juga mencakup
bagian-bagian yang oleh Watt dimasukkan ke dalam kelompok materi yang berbeda -meskipun
secara eksplisit disebut sebagai materi otentik- yaitu ‘materi dokumenter’,
seperti konstitusi Madinah. Lebih jauh lagi, Sellheim ingin menambahkan
bagian-bagian deskriptif yang ia anggap sebagai ‘rinci dan mendekati kenyataan’.
‘Model stratifikasi’ Sellheim terbuka untuk
dikritik. Pertama, model ini membingungkan dan bukannya memperjelas: teks Sīrah
tidak mengandung ‘lapisan-lapisan’ yang bertumpuk-tumpuk satu sama lain;
sebaliknya, kita memiliki (dalam kasus ‘lapisan’ 2 dan 3) kecenderungan-kecenderungan
yang telah masuk, meresap dan mengubah laporan-laporan sejarah (‘lapisan’ 1).
Keberadaan kecenderungan-kecenderungan ini telah ditunjukkan oleh Nöldeke dan
Horovitz (yang secara kebetulan mengutip contoh-contoh yang kurang lebih sama
dengan yang digunakan oleh Sellheim). Telah diterima sejak lama bahwa hiasan
biografi Muḥammad dengan kejadian-kejadian ajaib sudah dimulai sejak awal,
meskipun hal itu semakin meningkat selama berabad-abad: laporan-laporan
mengenai campur tangan ilahi dan penampakan malaikat bisa jadi merupakan bagian
dari ‘lapisan’ tertua dalam tradisi.
Selain itu, ‘teori stratifikasi’ tidak
menjelaskan atau memecahkan masalah keaslian. Teori ini hanya mengalihkan
masalah ke pertanyaan lain: materi apa yang termasuk ke dalam ‘lapisan dasar’
sejarah? Mengenai masalah ini, pandangan para ahli sangat berbeda. Sellheim
ingin memasukkan semua materi yang diklasifikasikan sebagai sejarah sejak
Nöldeke, sementara Crone hanya mengakui sedikit dari konstitusi Madinah. Pada
akhirnya, Sellheim harus mengakui bahwa ia tidak dapat menawarkan solusi
sederhana untuk masalah keaslian.
M. Kister dan beberapa muridnya, khususnya M.
Lecker, telah jauh lebih berhasil dalam upaya mereka untuk mencapai lapisan
tertua dari hadis-hadis tentang kehidupan Muḥammad. Mereka telah menggali dan
mempelajari sejumlah ḥadīṡ dan laporan yang bertentangan dengan pemikiran
dogmatis yang muncul belakangan tentang isu-isu teologis yang sensitif; materi
yang terkumpul kemungkinan besar sudah tua dan sebagian juga otentik. Kister
dan murid-muridnya mengikuti pendekatan yang telah disarankan oleh J. Fück.
Dalam studi klasiknya ‘Die Rolle des Traditionalismus im Islam’ (‘Peran
tradisionalisme dalam Islam’), ia menggunakan metode yang sama untuk
berargumentasi tentang gagasannya tentang ‘inti otentik tradisi Islam’. Namun,
Kister tidak lebih dari sekadar mempelajari tradisi-tradisi individual dan
tidak memberikan penjelasan teoretis secara umum tentang metodenya.
Perdebatan mengenai keandalan semakin meningkat
setelah publikasi Meccan Trade karya P. Crone. Ulasan pedas dan menghina
dari R. B. Serjeant di dibalas oleh Crone dengan tanggapan yang sengit, namun
objektif dan terukur. Saya tidak ingin terlibat dalam perdebatan tertentu di
sini; yang saya minati adalah diskusi tentang pertanyaan-pertanyaan metodologis
yang berkaitan dengan studi tradisi ‘lisan’.
Serjeant, seperti Watt sebelumnya, mengajukan
banding atas prinsip metodologis ilmu sejarah berikut ini: “Secara metodologis,
kita tidak bisa tidak memulai dari premis bahwa sebuah Tradisi (hadis) adalah
laporan “fakta” yang asli sampai terbukti palsu, atau sebagian atau seluruhnya
dibatalkan oleh bias yang nyata.” Dia menuduh Crone mengabaikan prinsip ini.
Dalam pembelaannya, ia menyatakan bahwa, meskipun penolakan terhadap
sumber-sumber Islam telah menjadi premisnya dalam buku pertamanya, Hagarisme,
namun hal tersebut merupakan kesimpulannya dalam buku Meccan Trade, yang
dihasilkan dari penelitian yang seksama: analisisnya terhadap sumber-sumber
tersebut telah menghasilkan keputusan negatif terhadap kredibilitasnya.
Sebelumnya, Cook telah mengomentari prinsip
tersebut sebagai berikut: “Namun, bisa jadi kita juga lebih tepat
dalam menolak apa pun yang tidak memiliki alasan khusus untuk diterima. Siapa
yang benar: Watt dan Serjeant atau Crone dan Cook? Apakah mungkin untuk
memperlakukan tradisi yang ditransmisikan dari generasi ke generasi tanpa
teknik atau metode khusus untuk pelestarian kata demi kata (misalnya penyalinan
naskah yang akurat, atau hafalan mekanis) dengan pijakan yang sama dengan
sumber-sumber sejarah biasa? Bukankah laporan-laporan semacam itu lebih dekat
dengan legenda dan mitos, yang mana kita hanya bisa mendalilkan sebuah inti
sejarah ketika kita memiliki bukti-bukti ‘eksternal’ yang tersedia, misalnya
dari arkeologi (seperti yang terjadi pada Perang Troya)?
Tidak diragukan lagi bahwa Becker -dan Nöldeke-
memberikan argumen yang kuat untuk posisi moderat mereka. Namun pada akhirnya,
Becker harus mengakui bahwa ‘kritik yang cerdas sangat sulit untuk dibantah,
karena intuisi historis di sini dihadapkan dengan intuisi historis’. Keputusan
yang sama tampaknya merupakan hasil dari diskusi ‘putaran’ kedua. ‘Intuisi
sejarah’ mungkin memperingatkan banyak pengamat terhadap penolakan
besar-besaran terhadap riwayat-riwayat yang lebih awal seperti yang dilakukan
oleh Wansbrough, Crone, Cook, dan para epigon (pengikut) mereka dan menunjukkan
adanya ‘inti kebenaran’ dalam tradisi Islam; di lain pihak, perdebatan yang
terjadi kemudian hanya menunjukkan betapa sulitnya untuk menemukan argumen yang
persuasif untuk menentang skeptisisme ekstrim.
3.
Tentang
keandalan tradisi: Tren terkini
Pada bagian berikut ini, saya akan memberikan
gambaran umum mengenai tren kontemporer dan jalur penyelidikan terkini mengenai
keandalan sumber-sumber tentang kehidupan Muḥammad, dengan meninjau beberapa
contoh studi yang menurut saya sangat penting atau representatif.
Saat ini, dua sisi perdebatan ini sering
dibedakan berdasarkan sikap mereka terhadap sumber-sumber sejarah Islam awal: ‘tradisionalis’
atau ‘optimis’ (‘sanguine’) sarjana di satu sisi, ‘revisionis’ atau ‘skeptis’
di sisi lain. ‘Imam’ yang paling sering disebut-sebut dari kelompok
pertama adalah F. Sezgin dan W.M. Watt, beberapa kali bersama dengan N. Abbott
dan M.M. Azami. ‘Imam’ dari kelompok yang terakhir adalah J. Wansbrough,
diikuti oleh P. Crone dan M. Cook. Generasi muda revisionis menamakan diri
mereka sebagai ‘skeptis baru’. F. Donner menganggap skeptisisme baru ini
sebagai sesuatu yang mirip dengan paradigma ilmiah yang telah menggantikan
paradigma ‘kritis-tradisi’ sebelumnya yang diasosiasikan dengan Goldziher,
Noth, Kister, dan mazhabnya. Ia menganggap H. Lammens sebagai pendahulu dan J.
Schacht sebagai eksponen pertama dari skeptisisme baru.
Para sarjana ‘optimis’ atau ‘tradisionalis’
adalah para sarjana yang melekatkan nilai historis pada sumber-sumber
tradisional tentang kehidupan Muḥammad, terlepas dari fakta (yang juga tidak
mereka perselisihkan) bahwa sumber-sumber tersebut mengalami perubahan dalam
proses periwayatannya. Singkatnya, mereka menganggap garis besar dan
peristiwa-peristiwa terpenting dari biografi tradisional Muḥammad sebagai
sesuatu yang akurat secara historis.
Para ‘Revisionis’ berpendapat bahwa
sumber-sumber kita tentang sejarah awal Islam hampir secara eksklusif mencerminkan
pendapat dan keprihatinan generasi-generasi selanjutnya. Mereka menganggap
biografi tradisional Muḥammad sebagian besar atau seluruhnya fiktif. Oleh
karena itu, sangat mengherankan bahwa salah seorang wakil dari ‘kaum revisionis’
telah mencetak ulang, dalam sebuah buku yang disunting olehnya dan diterbitkan
pada tahun 2003, sebuah kuliah umum yang diadakan oleh Wansbrough pada tahun
1986 di mana Wansbrough meringkas posisinya sebagai berikut: sumber-sumber
sejarah tentang abad ketujuh Hijaz (murni) bersifat literer dan tafsir;
kisah-kisah tradisional tentang sejarah awal Islam harus dibaca sebagai sejarah
keselamatan; studi dan penafsiran kisah-kisah semacam itu merupakan masalah
kritik sastra, bukan historiografi.
Merek skeptisisme yang dianjurkan oleh
Wansbrough dan Crone/Cook -posisi yang tidak mereka ciptakan tetapi dihidupkan
kembali pada akhir tahun 1970-an, didukung dengan argumen-argumen baru dan
menjadi pusat perdebatan ilmiah internasional- dikembangkan lebih lanjut pada
tahun 1980-an dan 1990-an. Baru-baru ini, skeptisisme ini telah mengambil
bentuk yang lebih radikal. J. van Ess dengan tepat mengkritik kesombongan
beberapa eksponennya yang mencoba untuk menyatakan posisi mereka sebagai
satu-satunya interpretasi cerdas dari sumber-sumber tersebut. Publisitas yang
positif dan penerimaan yang baik dari masyarakat luas, sebagai hasil dari
artikel-artikel yang dipublikasikan di media massa, terkadang memberikan kesan
(yang salah) bahwa ‘kaum skeptis baru’ merupakan kekuatan yang dominan dalam
penelitian sejarah tentang sejarah awal Islam.
Wansbrough masih bekerja dengan sosok samar
dari seorang nabi Arab yang, pada suatu waktu atau waktu lain, dipercaya dengan
sejumlah logia (komunikasi asal ilahi) anonim. Dalam Hagarisme,
Crone dan Cook tidak sampai menyangkal keberadaan Muḥammad sebagai seorang
tokoh sejarah, meskipun mereka meremehkan kepentingan sejarahnya dan menganggap
laporan-laporan penting dari Sīrah tradisional sebagai ahistoris. Namun,
beberapa ‘skeptis baru’ seperti Nevo, Koren dan Ohlig melangkah lebih jauh
dengan menganggap Nabi Muhammad sepenuhnya fiktif.
Kita dapat melihat beberapa aliran dalam ‘skeptisisme
baru’, yang ingin saya sebutkan di sini adalah yang terkait dengan S. Bashear,
F. E. Peters, N. Calder, J. Koren dan Y. D. Nevo, G. R. Hawting, Ibnu Warraq,
W. Raven, dan H. Berg.
Beberapa orang yang skeptis (Ibn Warraq, Raven)
tidak melakukan lebih dari sekedar mengumpulkan semua argumen sebelumnya yang
menentang nilai historis sumber-sumber literatur Islam tentang kehidupan Muḥammad
(dan dua abad pertama Hijriyah,
secara keseluruhan). Yang lainnya (Berg, Calder) menambahkan beberapa argumen
baru yang berasal dari penelitian mereka sendiri, namun tetap berkomitmen penuh
pada paradigma yang diperkenalkan oleh ‘guru’ mereka. Calder mencoba
meruntuhkan catatan tradisional tentang kepenulisan dan asal-usul geografis
beberapa karya Arab awal (misalnya al-Muwaṭṭaʾ karya Mālik dan alMuṣannaf karya ʿAbd al-Razzāq) dengan menunjukkan bahwa transmisi tertulis
(lebih tepatnya, penyebarannya melalui penyalinan akurat dari naskah-naskah
karya yang sudah jadi) dimulai relatif terlambat dan hanya ada dalam berbagai
versi. Para ahli ini hanya tertarik pada pertimbangan metodologis; beberapa di
antaranya bekerja dengan analisis statistik, yang nilainya meragukan dan kadang-kadang
mudah dibantah; pekerjaan filologi, yang tampaknya dianggap sebagai kegiatan
ilmiah yang tercela, jarang sekali ada buktinya.
Para revisionis lainnya (Nevo/Koren, Ohlig), ‘membuang
tradisi dan secara bebas membuat sketsa ... di atas kanvas kosong’, menguraikan
‘masa lalu yang secara radikal menjadi alternatif’, kadang-kadang berdasarkan
interpretasi mereka yang unik terhadap bukti numismatik, epigrafi, atau
bukti-bukti ‘eksternal’ lainnya. Mereka mengikuti model para imam yang
menerapkan metode yang sama. Nevo dan Koren yang mempelajari prasasti-prasasti
Arab kuno dari Negev menyatakan bahwa ketiadaan frase-frase khusus Al-Qur’an
dalam prasasti-prasasti kuno tersebut menegaskan ‘penanggalan akhir’ dari teks
Al-Qur’an yang dikemukakan oleh Wansbrough.
U. Rubin memajukan aliran skeptisisme yang
kurang lebih kebal terhadap kritik ilmiah. Dia secara eksplisit melepaskan
studi tentang ‘fakta-fakta keras’ dan membatasi dirinya untuk menelusuri citra
Muḥammad dalam komunitasnya. Tidak diragukan lagi, ia berhasil dalam usaha ini
dalam bukunya The Eye of the Beholder. Namun, pada saat yang sama, dia -secara
keliru, menurut pendapat saya- berpendapat bahwa ‘kepercayaan terhadap ‘fakta-fakta
keras’ dari fakta-fakta sejarah’ berasal dari (dan tidak lebih dari) ‘fetisisme
(benda sakti atau jimat) fakta-fakta abad kesembilan belas’.
Kaum revisionis juga menganggap Noth sebagai
salah satu dari nenek moyang dan sekutu mereka -salah besar, sebenarnya: dia
akhirnya menolak keras penghargaan mereka. Dalam edisi kedua bukunya Quellenkritische
Studien zu Themen, Formen und Tendenzen frühislamischer Geschichtsüberlieferung
(judul bahasa Inggris: The Early Arabic Historical Tradition), dia
menekankan lagi ‘bahwa tradisi ini menawarkan banyak materi, yang, jika perlu
diteliti dengan seksama, masih memiliki nilai historis untuk periode awal’. Hal
yang sama juga berlaku bagi L. Conrad, rekan penulis Noth untuk edisi kedua
buku ini, dan beberapa eksponen mazhab Yerusalem (Kister, Lecker, Landau-Tasseron).
Keberhasilan para skeptis berbahasa Inggris,
terutama pujian yang diterima oleh para ‘imam’ mereka, secara alami mengilhami
para peniru di luar dunia Anglophone, terutama di Prancis dan Jerman. Para
cendekiawan Prancis memiliki model mereka sendiri dalam Le Problème de
Mahomet karya R. Blachère, yang digunakan penulisnya untuk memberikan
kontribusi independen terhadap paradigma skeptis. Namun, eksponen Prancis yang
lebih baru dari posisi ini, A.-L. de Prémare dan J. Chabbi, jelas termotivasi
oleh keinginan untuk menciptakan padanan ‘Francophone’ mereka sendiri untuk
pencapaian skeptis berbahasa Inggris.
Chabbi berpendapat bahwa biografi Muḥammad ‘tidak
mungkin’ dan kemudian menjelaskan bahwa M. Cook telah mengemukakan beberapa ‘pertanyaan
prinsip’ (‘questions de principe’) yang ia bahas. De Prémare, yang sangat
terkesan dengan ide-ide Wansbrough, menunjukkan sikap ambivalensi yang aneh
terhadap sumber-sumber Islam awal. Di satu sisi, dia berpikir bahwa biografi
historis Muḥammad -yang mungkin tidak mungkin dibuat- bahkan tidak diperlukan
untuk memahami asal-usul Islam; bahkan, dia menahan diri untuk tidak
menyusunnya. Di sisi lain, ia tidak ingin (atau tidak mampu) membuang sumber-sumber
yang ada, meskipun ia menganggapnya sebagai sumber-sumber yang bias: ia berniat
menggunakannya untuk ‘menangkap beberapa elemen yang memandu kemunculan dan
pembentukan Islam’. M. Rodinson sendiri gagal membangun landasan metodologis
yang stabil untuk penggunaan sumber-sumber Islam awal yang dianggapnya ‘hampir
tidak dapat diandalkan’ dan ‘agak jauh dari fakta’. Hal ini tidak
menghalanginya untuk menulis sebuah biografi yang bagus tentang Muḥammad, yang
kemudian menjadi sebuah karya klasik. Namun, tulisan dan gagasan de Prémare dan
Chabbi tidak menjadi bagian dari perdebatan internasional.
Yang sama sekali tidak memiliki nilai ilmiah
adalah publikasi K.-H. Ohlig, seorang ‘revisionis’ dari Jerman. Dia dengan
bebas mengakui bahwa dia tidak dapat membaca sumber-sumber primer yang relevan
(karena dia tidak tahu bahasa Arab dan bahasa sumber lainnya) tetapi kemudian
mengklaim bahwa kurangnya kualifikasi yang dimilikinya memungkinkannya untuk menghindari
‘praduga-praduga tertentu (Engführungen)’ dan ‘membuka matanya untuk
melakukan penyelidikan yang kritis’. Mengikuti Nevo/Koren, ia menyangkal
historisitas Muḥammad. Selain itu, ia menetapkan tanggal lahirnya inti (Grundstock)
teks Al-Qur’an pada abad kedelapan masehi, yang anehnya terjadi di Iran bagian
timur atau Irak. Dia mengklaim bahwa kalender hijrah (yang diduga
salah nama), yang mana bukti-bukti ‘eksternal’ awal memang ada, dihitung
berdasarkan kemenangan Kaisar Bizantium Heraklius melawan Persia, meskipun
pertempuran yang menentukan terjadi enam tahun kemudian pada tahun 628, bukan
pada tahun 622. Menurut Ohlig, nama Muḥammad dalam prasasti di Kubah Batu (‘Muḥammad
adalah hamba dan utusan Tuhan’) dan peninggalan-peninggalan awal lainnya
(seperti koin atau monumen) dan sumber-sumber lain pada kenyataannya merupakan
julukan untuk Yesus (‘yang diberkati’, ‘yang terpuji’), meskipun referensi
paling awal yang dikonfirmasi tentang Muḥammad dalam sumber non-Islam berasal
dari tahun 640. Ohlig menyebut metode yang menghasilkan klaim-klaim ini sebagai
‘kritis-historis’ dan mengeluhkan bahwa metode ini sejauh ini belum diterapkan
dalam studi Islam.
Seperti halnya para skeptis, para sarjana yang
dilabeli sebagai ‘tradisionalis’ atau ‘optimis’ (G. H. A. Juynboll, H. Motzki,
M. Muranyi, M. Lecker, G. Stauth, K. Versteegh, E. Whelan, dan saya sendiri
yang sering disebut-sebut, juga terbagi ke dalam beberapa kelompok. Bagi
beberapa di antara mereka, termasuk Juynboll, Motzki dan saya sendiri, istilah ‘tradisionalis’
atau ‘optimis’ sama sekali tidak tepat. Pada kenyataannya, Juynboll mengikuti
tradisi ilmiah yang diresmikan oleh Schacht, sementara Motzki dan saya
menganjurkan pendekatan kritis terhadap tradisi. Hal yang sama juga berlaku
untuk M. Schöller, yang memberikan kontribusi penting dalam diskusi ini melalui
studinya tentang sejarah konflik antara Muḥammad dan kaum Yahudi di Madinah.
T. Nagel adalah salah satu eksponen dari
pendekatan yang benar-benar ‘tradisionalis’. Dia baru-baru ini menerbitkan dua
monograf tentang Muḥammad, hanya satu yang akan saya bahas: Mohammed:
Leben und Legende (Muḥammad: Life and Legend), sebuah biografi Nabi
setebal 1000 halaman yang sangat terpelajar. Namun, kegembiraan awal tentang
sebuah karya yang tampaknya melanjutkan tradisi penelitian Jerman yang
terhormat tentang kehidupan Muḥammad segera lenyap: meskipun ia membahas
penelitian terkini pada beberapa halaman, Nagel tampaknya tidak menyadari
beberapa temuan mendasar dari kesarjanaan baru-baru ini, terutama mengenai
sejarah periwayatan. Dia tampaknya dengan sengaja mengabaikan hasil-hasil
penelitian baru yang penting yang bertentangan dengan teorinya.
Nagel berpendapat bahwa kita harus menembus ‘tabir
yang tidak historis’ untuk mendekati atau memahami fakta-fakta
historis Islam awal. Tabir ini terdiri dari kecenderungan untuk
mendehistoriskan pribadi Muḥammad (‘Penghancuran Sejarah’) di satu sisi dan ‘prinsip-prinsip
pembentukan legenda’ yang didalilkan oleh Nagel di sisi lain, yang paling penting
adalah ‘penurunan derajat Mekah menjadi sangat buruk’. Menurut Nagel, Muḥammad
sendiri yang memulai proses kesalahan penyajian sejarah yang mengubah
historiografi sejak awal. Dengan memperhitungkan ‘prinsip-prinsip pembentukan’
yang melingkupi sumber-sumber kita dan dengan mengurangi distorsi yang
disebabkan olehnya, Nagel berharap dapat memulihkan peristiwa-peristiwa yang
sebenarnya. Selain itu, penulis melukiskan gambaran yang sangat negatif tentang
Muḥammad; seluruh bukunya diliputi oleh sikap yang sangat kritis terhadap
Islam.
Nagel melebih-lebihkan pengaruh dari
kecenderungan yang ia gambarkan -salah satunya, tidak ada bukti atas dugaan
de-historisisasi atau peninggian figur Nabi dalam korpus hadis dan surat-surat
historis milik ʿUrwah bin al-Zubayr (yang ditujukan kepada khalifah ʿAbd
al-Malik!)- dan meremehkan pengaruh dari modifikasi lain dalam sejarah
periwayatan, seperti ‘tidak terarah’ dan perubahan redaksi pada teks. Sebagai
contoh, ia secara naif menceritakan kembali peristiwa konflik Muḥammad dengan orang-orang Yahudi di Madinah menurut
versi yang ditransmisikan oleh para penyusun belakangan, Ibn Ḥisām dan al-Wāqidī tanpa memperhitungkan penelitian-penelitian
yang dilakukan oleh Schöller yang relevan. Schöller menemukan hadis-hadis ‘tidak
ortodoks’ (sebagian besar berdasarkan otoritas Ibn al-Kalbī), yang menggambarkan kejadian-kejadian
tersebut dengan cara yang sangat berbeda dengan laporan-laporan ‘ortodoks’.
Hadis-hadis ini layak diperhitungkan sama seperti hadis-hadis ‘ortodoks’ dalam
setiap upaya untuk mengetahui ‘apa yang sebenarnya terjadi’ (‘wie es eigentlich
gewesen’). Lebih jauh lagi, penelitian-penelitian mutakhir telah mengukuhkan
hipotesis lama bahwa, tidak seperti kumpulan ḥadīṡ, karya-karya sīrah Ibn Isḥāq dan al-Wāqidī mengandung banyak materi yang disampaikan oleh
para pencerita populer (qaṣṣāṣ), sebuah fakta yang secara substansial
membahayakan keandalan historisnya.
Catatan Nagel tentang peristiwa-peristiwa, yang
sering kali hanya merupakan pengulangan dari laporan-laporan para penyusun yang
datang kemudian, bergantung pada asumsi (yang dibantah oleh Noth) bahwa kita
bisa mengungkap ‘apa yang sebenarnya terjadi’ dengan membandingkan dan
menimbang satu sama lain berbagai laporan yang dicatat dalam kompilasi abad
kesembilan dan kesepuluh. Dia mengabaikan fakta bahwa, pertama, kompilasi yang
digunakannya mengandung banyak sekali materi qāṣṣ; dan kedua, kompilasi tersebut mengutip
riwayat-riwayat yang telah melalui proses modifikasi yang panjang dan juga
disunting oleh para penyusunnya sendiri. Dengan kondisi seperti ini, sangat
tidak mungkin sumber-sumber tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk
teori-teori yang lebih luas seperti hipotesis Nagel tentang kesalahan
representasi sejarah yang meluas.
Salah satu kesalahannya yang paling besar
adalah penilaiannya yang sangat positif terhadap al-Wāqidī: Nagel berpendapat
bahwa al-Wāqidī dapat dianggap sebagai sejarawan yang hampir ‘modern’ yang
diduga menerapkan metode yang mirip dengan para ahli sejarah empiris
kontemporer. Namun, faktanya adalah bahwa al-Wāqidī mengumpulkan dan menyusun (yaitu menulis)
laporan-laporan dengan kualitas yang sangat beragam dari berbagai sumber. Dia
dengan tekun tidak menyebutkan sumber utamanya, Ibn Isḥāq, sebuah fakta yang
telah diketahui oleh Wellhausen dan Horovitz, dan sumber-sumber lain (Mūsā ibn ʿUqbah, Ma’mar ibn Rāšid), yang baru dapat
kita identifikasi sekarang. Selain itu, ia juga sering, namun tidak selalu,
memberikan isnad yang palsu. Yang patut diapresiasi, ia menciptakan
sebuah catatan komprehensif tentang maġāzī dengan kualitas sastra asli yang menyebabkan
munculnya banyak karya pseudo-sejarah yang secara keliru dinisbatkan kepadanya
(Kitāb futūḥ aṣ-Šām, Kitāb futūḥ Miṣr). Berlawanan dengan tesis Nagel,
koleksi ḥadīṡ al-Bukhārī, sebuah karya yang harus sepenuhnya tunduk pada
de-historisisasi sejarah yang dilakukan oleh Nagel, berisi dua buku tentang
biografi Nabi yang secara historis dapat diandalkan -jika tidak lebih dari itu-
dibandingkan dengan karya-karya sīrah dari abad ke-8 atau ke-9.
Meskipun Nagel mengajukan beberapa argumen yang
bagus untuk melawan posisi beberapa skeptis dalam sebuah ekskursus, bukunya,
yang beroperasi dengan metodologi yang tidak bisa tidak kita sebut sebagai ‘pra-kritis’,
sepertinya tidak akan memberikan kontribusi terhadap sanggahan terhadap ‘skeptisisme
baru’. Berikut ini, saya mengusulkan untuk menguraikan beberapa pendekatan dan
ide yang menjanjikan yang telah berhasil digunakan untuk menyanggahnya.
4.
Pergeseran
paradigma?
Dalam hal filsafat ilmu pengetahuan, kita bisa
menyebut skeptisisme baru sebagai sebuah ‘paradigma’ (seperti yang dipahami
oleh Thomas S. Kuhn). Secara umum, masa hidup paradigma itu singkat: paradigma
akan segera ‘habis’ dan akhirnya hanya bisa ‘menjelaskan masalah yang solusinya
sudah pasti’. Akhir dari masa hidup sebuah paradigma biasanya ditandai dengan
sebuah krisis: ekspektasi dikecewakan, anomali terjadi, semakin banyak fenomena
baru yang tidak dapat dijelaskan. Ada tanda-tanda bahwa paradigma ‘skeptisisme
baru’ kini telah mencapai tahap ini. Di antara gejala-gejala penting adalah
pernyataan-pernyataan dari para ahli terkenal, terutama dari para mantan
eksponen paradigma ini, dan bukti-bukti yang baru saja ditemukan seperti prasasti,
koin, dan papirus.
Hanya tiga tahun setelah menerbitkan artikelnya
yang banyak dikutip, ‘The quest for the historical Muhammad’, di mana ia
mengungkapkan pesimismenya tentang kemampuan kita untuk menetapkan fakta-fakta
yang nyata tentang sejarah Islam awal, F. E. Peters (1994) menulis -menurut
Patricia Crone- sebuah penelitian yang sepenuhnya ‘tradisional’ tentang Nabi.
R. Hoyland, mantan murid Crone dan sekarang menjadi otoritas terkemuka dalam
sumber-sumber non-Islam tentang Islam awal, meneliti kembali sumber-sumber
non-Islam yang dikutip oleh Crone dan Cook dalam Hagarisme. Dia
menunjukkan bahwa sumber-sumber tersebut hampir tidak cocok untuk mendukung
kisah alternatif tentang sejarah Islam awal; sebaliknya, sumber-sumber tersebut
sering kali sesuai dengan sumber-sumber Islam dan melengkapinya. Beberapa tahun
yang lalu, Crone dan Cook sendiri secara terbuka menolak hipotesis utama yang
dikemukakan Hagarisme. Dalam publikasi terbaru mereka,
sejarawan terkemuka Islam awal seperti F. Donner dan C. Robinson memberikan
catatan yang sangat kritis terhadap ‘skeptisisme baru’.
Di antara temuan-temuan epigrafi, papirus, dan
numismatik baru-baru ini yang menantang paradigma neo-skeptis, berikut ini
adalah beberapa di antaranya:
- Penemuan prasasti Islam tertua yang ditemukan oleh Alī ibn Ibrāhīm al-Ġabbān hingga saat ini, grafiti Qāʿ al-Muʿtadil (Arab barat laut). Setelah basmalah, tulisan itu berbunyi: anā Zuhayr katabtu zaman tuwuffiya ʿUmar sanat arbaʿ wa-ʿisyrīn, ‘Aku, Zuhayr, menulis [ini] pada masa kematian ʿUmar di tahun 24 [644-5]’. Yang cukup menarik, penulis sudah menggunakan penanggalan Hijriyah, hanya beberapa tahun setelah diperkenalkan (antara 634 dan 644). Yang lebih menarik lagi, bahkan secara sensasional, grafiti tersebut menyebutkan ʿUmar (yang tidak diragukan lagi adalah khalifah kedua) dengan tahun kematiannya. Sampai sekarang, para ahli beranggapan bahwa tidak ada bukti yang menyebutkan nama sahabat Nabi dalam sumber-sumber eksternal; Muʿāwiyah dianggap sebagai khalifah pertama yang dapat dibuktikan dengan aman sebagai tokoh sejarah melalui kesaksian-kesaksian seperti itu, baik yang berupa epigrafi maupun manuskrip (dalam bentuk papirus).
- Dua papirus paling awal yang diketahui dengan penanggalan Hijriyah, keduanya berasal dari tahun 22/643.
- Kita menemukan pengesahan pertama Muḥammad dalam sebuah latar belakang Islam pada dua koin perak Arab-Sasania dari tahun 66 dan 67 Hijriyah; di bagian pinggirnya, koin-koin tersebut menampilkan bentuk singkat dari pengakuan iman Islam (bi-sm Allāh Muḥammad rasūl Allāh). Tiga belas atau empat belas tahun kemudian, nama Muḥammad disebutkan sebagai nasab (patronim) pada sebuah koin dari tahun 80 H dengan tulisan Arab yang memuat nama jenderal Umayyah, ʿAbd al-Raḥmān ibn Muḥammad (lebih dikenal sebagai Ibn al-Asy‘aṡ). Baik Ibn al-Asy‘aṡ maupun ayahnya, Muḥammad (wafat 41/661), merupakan tokoh-tokoh sejarah yang penting dan dikenal luas dalam sumber-sumber sejarah Islam. Fakta ini membantah klaim menggelikan Ohlig yang menyatakan bahwa dalam sumber-sumber abad pertama Masehi, terutama prasasti di Kubah Batu, kata Muḥammad (ditulis MḤMD) bukanlah nama pribadi melainkan julukan untuk Yesus (tanpa ada referensi apapun tentang Nabi Muhammad) dan harus diterjemahkan sebagai ‘yang terpuji’ atau ‘yang diberkati’. Dokumen non-Islam pertama yang menyebut Nabi bahkan lebih tua lagi: sebuah kronik Syriac-Kristen yang ditulis sekitar tahun 640 (menurut Hoyland) oleh Thomas sang Presbiter merujuk kepada ‘pertempuran antara orang Romawi dan orang Arab Muḥammad’ (ṭayyāyē d-Mḥmṭ).
- Prasasti-prasasti yang jelas-jelas mengandung unsur Islam (termasuk fraseologi Al-Qur’an) muncul lebih awal (mulai tahun 31 H) daripada yang diperkirakan sebelumnya.
- Naskah Al-Qur’an yang sangat tua dan terpisah-pisah, ‘Codex Parisino-baru-baru ini ditemukan dan diakui sebagai dokumen sejarah yang sangat penting oleh F. Déroche. Berdasarkan gaya penulisan dan ortografi kuno (misalnya, qāla yang secara konsisten ditulis sebagai QL), ia menetapkan tanggal dari kuartal ketiga abad pertama Hijriyah. Seperti fragmen-fragmen naskah Al-Qur’an kuno dari Ṣan‘ā, teksnya mengikuti rasm ʿUṡmanī. Bukti penting ini secara meyakinkan mematahkan hipotesis Wansbrough bahwa baru pada tahun 800, Al-Qur’an mengambil bentuk seperti yang kita kenal sekarang.
Demikianlah bukti-bukti eksternal yang menegaskan setidaknya beberapa rincian tradisi sejarah Islam tentang sejarah Islam awal. Akan tetapi, buku ini membahas tentang tradisi sejarah Islam itu sendiri. Semakin banyak perwakilan dari kesarjanaan terkini yang siap untuk mengakui bahwa, selain laporan-laporan yang ‘buruk’, tradisi Islam juga mengandung laporan-laporan yang ‘baik’. Dengan demikian, mereka menjauhkan diri dari ‘paradigma skeptis’. Namun, beberapa di antara mereka mengklaim (secara keliru, seperti yang akan kita lihat sebentar lagi) bahwa ‘apa yang kurang adalah sebuah metode untuk mengekstraksi bijih yang tak ternilai itu dari reruntuhan redaksional yang saat ini tertanam di dalamnya’ atau bahwa ‘belum ada yang mengajukan cara yang masuk akal untuk membedakan antara yang otentik dan yang tidak otentik’. Penulis pernyataan terakhir, C. Robinson, mengkualifikasikan klaimnya dalam sebuah catatan kaki dengan mengakui bahwa ia menganggap analisis yang disebut isnād-cum-matn ‘menjanjikan’.
5.
Memotong
simpul Gordian?[1]
Setidaknya untuk tradisi-tradisi historis,
tampaknya ada jalan keluar dari dilema kita: menerapkan dan mengembangkan lebih
lanjut pendekatan yang disarankan oleh Noth. Ia berpendapat bahwa
tradisi-tradisi yang terpisah atau kompleksitas tradisi-tradisi merupakan titik
awal yang paling baik untuk penelitian. Menurut saya, yang paling meyakinkan
dari semua usaha untuk mengisolasi tradisi-tradisi otentik yang telah
dipaparkan di atas adalah usaha yang dilakukan oleh Paret dan von Stülpnagel.
Oleh karena itu, disarankan untuk memulai dengan hadis-hadis yang diriwayatkan
oleh Ibn Isḥāq (atau Ma‘mar ibn Rāsyīd) - az-Zuhrī -ʿUrwah ibn az-Zubayr, karena sanad ini
mengindikasikan adanya silsilah historis antara para guru dan murid, dan dengan
demikian, memberikan peluang terbaik dalam menyediakan materi yang otentik.
Setiap tradisi yang dipilih akan dianalisis
secara diakronis. Untuk menjelaskan pendekatan saya, saya perlu sedikit
menyimpang. Secara umum diakui bahwa kita hampir selalu dapat menemukan kembali
isi dari teks dasar Ibn Isḥāq dari laporan-laporan yang ditransmisikan atas
otoritasnya yang disimpan dalam kompilasi para penulis setelahnya (misalnya, aṭ-Ṭabarī, Ibn Ḥisyām, atau al-ʿUṭāridī). (Di bawah ini, kita akan menemukan bahwa
kita kadang-kadang bahkan dapat merekonstruksi kata-kata dari bagian-bagian
teks Ibn Isḥāq). Dapat ditunjukkan bahwa prosedur yang sama
memungkinkan kita untuk merekonstruksi setidaknya perkiraan isi dari
laporan-laporan yang berasal dari az-Zuhrī (wafat 124/742) satu generasi sebelumnya, atau bahkan
perkiraan isi laporan-laporan yang berasal dari ʿUrwah bin az-Zubayr (wafat
94/712 atau beberapa tahun setelahnya).
Kemungkinan untuk mengidentifikasi hadis-hadis
yang dinisbatkan kepada ʿUrwah sebagai hadis yang ‘otentik’, yaitu hadis yang
benar-benar berasal darinya, dan untuk menyimpulkan atau merekonstruksi isi
hadis tersebut, sangat besar terutama pada hadis-hadis yang diriwayatkan secara
independen oleh murid ʿUrwah, az-Zuhri, dan juga putranya, Ḥisyām bin ʿUrwah (dan/atau seorang
periwayat ketiga). Hal ini terjadi pada sejumlah besar hadis dari korpus
ʿUrwah.
Bentuk yang berbeda dari versi-versi laporan
yang sama, yang hanya dapat diduga berkat ‘proses modifikasi’ yang telah
disebutkan di atas, dapat menjadi bukti independensi dari dua jalur transmisi:
karakteristik tertentu sering kali memungkinkan kita untuk mengetahui apakah
salah satu dari dua teks yang terkait meniru yang lain atau apakah keduanya
berasal dari pola dasar yang sama.
Dengan riwayat-riwayat ʿUrwah, kita telah sampai pada sumber asli
(pengumpul) hadis yang dimaksud; pada saat yang sama, kita telah sampai pada
abad pertama setelah Hijriyah. Oleh karena itu, tidak benar bahwa kita tidak
dapat menyeberangi ambang batas magis menuju abad pertama Hijriyah. Dengan membandingkan materi lain (yang
tidak mencurigakan) dengan hadis-hadis ʿUrwah yang telah terbukti otentik,
terkadang kita menemukan diri kita dalam posisi untuk mengidentifikasi
hadis-hadis otentik lainnya.
Bagaimana dengan sumber-sumber ʿUrwah sendiri? Tidak jarang, isnad hadis-hadis ʿUrwah berhenti pada namanya. Namun dalam banyak
kasus, mereka kembali lagi ke Aisyah, istri Nabi dan bibi ʿUrwah; dalam
beberapa kasus, mereka juga kembali ke satu atau (jarang) bahkan dua orang
saksi lainnya. Verifikasi menjadi mustahil pada tahap ini: kadang-kadang,
sebuah isnad tampaknya berhenti pada ʿUrwah, hanya untuk ‘dinaikkan’ di
kemudian hari kembali ke ʿĀ’isyah atau otoritas lainnya. Sebagai contoh,
rantai periwayatan beberapa hadis dalam versi Hišām ibn ʿUrwah terputus pada
ʿUrwah, namun berlanjut ke ʿĀ`īyah dalam versi az-Zuhrī.
Dengan Paret, maka kita harus mengakui bahwa
ada kesenjangan dalam tradisi Islam yang paling awal antara sebuah peristiwa
(yang terjadi, misalnya, pada tahun 10/631-2 atau sedikit lebih awal) dan
aktivitas ʿUrwah sebagai pengumpul (mungkin dari sekitar tahun
44/664, saat ʿUrwah berusia sekitar 20 tahun). Secara keseluruhan, kita
berbicara tentang jeda sekitar 30-60 tahun.
Namun, kita harus ingat (sekali lagi dengan
Paret) bahwa ʿUrwah masih memiliki kesempatan untuk berkonsultasi dengan saksi
mata dan orang-orang sezaman dari banyak peristiwa yang dipermasalahkan – terlepas
dari apakah ia menyebutkan informannya dalam isnād atau tidak. Oleh
karena itu, lebih mungkin beliau bertanya kepada bibinya, Aisyah, tentang
banyak peristiwa yang disaksikannya, terutama peristiwa yang memalukan di mana
beliau sendiri terlibat di dalamnya (yang disebut sebagai cerita fitnah atau
skandal, ḥadīṡ al-fik), daripada beliau tidak memperdulikan
kesaksiannya. Selain itu, ia mampu mengumpulkan laporan tangan pertama tentang
berbagai insiden yang terjadi (sedikit) sebelum, selama dan setelah Hijrah,
misalnya Hijrah itu sendiri (termasuk ‘Hijrah pertama’ ke Abisinia dan
keadaan serta peristiwa yang mengarah pada Hijrah itu sendiri),
Pertempuran Parit (Khandaq), dan al-Hudaibiyah. Dalam usaha mereka untuk
menemukan kebenaran, sejarawan harus memperhitungkan fakta bahwa teks-teks ini
mungkin telah diubah karena kesenjangan kronologis antara perawi dan peristiwa
dan/atau perspektif perawi; keterlibatan pribadi perawi juga dapat mewarnai
atau bahkan membuat laporannya menjadi sangat bias.
Namun, tetap saja, telah terbukti bahwa tradisi
lisan yang baru saja muncul -yang berasal dari satu atau, menurut temuan
baru, kadang-kadang bahkan dua generasi setelah kematian anggota tertua suatu kelompok
yang masih hidup- biasanya hanya mengalami sedikit kerusakan. Paling tidak,
tradisi-tradisi seperti itu tidak dapat dinilai seperti mitos atau legenda yang
disampaikan oleh beberapa generasi penutur. Dari hadis-hadis terbaru, seperti
yang disampaikan oleh ʿUrwah tentang Hijrah dan periode Madinah Muḥammad,
garis-garis besar peristiwa dan bahkan beberapa rinciannya masih dapat
ditemukan.
Maka, ini adalah jawaban atas skeptisisme
ekstrem Wansbrough, Crone dan Cook serta para epigon mereka. Sikap Qur’anic
Studies Wansbrough dan Hagarisme Crone dan Cook hanyalah salah satu
contoh dari sebuah kecenderungan yang, sejak zaman humanisme, tampaknya menjadi
pusat perhatian dalam historiografi Eropa. Dalam Lehrbuch der historischen
Methode (Introduction to Historical Methodology), Bernheim
menggambarkannya sebagai berikut:
Pada awal proses kritik terhadap para penulis sejarah, para sarjana segera menemukan bahwa pernyataan mereka tentang satu peristiwa yang sama sering kali bertentangan satu sama lain; alih-alih mencoba mencari tahu apakah mereka masih bisa menemukan kebenaran atau apakah ada cara untuk menghilangkan sumber-sumber kesalahan yang mereka temukan, mereka justru membawa skeptisisme secara ekstrem dengan mengklaim bahwa, karena transmisi yang tidak dapat diandalkan, tidak ada cara sama sekali untuk mendapatkan informasi yang valid tentang masa lalu...
Alih-alih dengan bijaksana mencari tahu bagaimana membedakan antara informasi yang asli dan yang dipalsukan serta memastikan keadaan yang menyebabkan dan menjelaskan pemalsuan, beberapa pemikir yang lebih optimis dan cerdik menyamaratakan pengalaman ini dan, dengan skeptisisme yang berlebihan, dengan berani menyatakan bahwa seluruh periode tradisi sejarah tidak lain adalah pemalsuan yang sistematis. Koin menjadi sumber yang paling dipercaya; atas dasar ini khususnya, mereka merekonstruksi sejarah zaman yang bersangkutan sesuai dengan apa yang mereka pikir kemungkinan besar telah terjadi ...
Tampaknya, membuang tradisi dan secara bebas membuat sketsa masa lalu alternatif yang radikal di atas kanvas kosong memiliki daya tarik tersendiri bagi para cendekiawan ini.
Jika ada sesuatu yang dapat kita cela dari
Wansbrough, Crone dan Cook, itu adalah ketidakpedulian mereka terhadap ‘prinsip
metodologi yang baik’ seperti yang dirumuskan oleh Bernheim.
Namun, sebagaimana Becker mengakui bahwa
Lammens telah membangkitkan dirinya dan generasinya serta menempatkan isu Sīrah
pada pijakan yang sama sekali baru, kita harus mengakui bahwa para ‘pemikir
kritis’ ini telah mengingatkan kita akan beberapa karakteristik kunci dari
tradisi Islam awal:
- Dalam perjalanan panjangnya dari informan asli ke penyusun karya tertentu, tradisi telah mengalami proses pembentukan ulang (Noth).
- Kronologi (absolut) dalam sumber-sumber sejarah yang masih ada tidak melestarikan pengetahuan yang ditransmisikan dari ‘jaman dahulu’; tanggal-tanggal yang dipermasalahkan adalah dugaan-dugaan yang dibuat oleh para sarjana dari generasi Ibn Isḥāq atau al-Wāqidī, atau, paling awal, az-Zuhrī, yang beberapa di antaranya didasarkan pada kiasan-kiasan al-Qur’an yang ditafsirkan secara keliru (Crone). Oleh karena itu, perbedaan dan kesalahan penanggalan dalam sumber-sumber sejarah seharusnya tidak mengejutkan.
- Hadis-hadis tertentu, terutama beberapa riwayat yang menyangkut peristiwa pra-Hijrah bersifat legendaris dan mengandung materi qāṣṣ (Crone), meskipun diriwayatkan oleh otoritas yang dapat dipercaya seperti ʿUrwah (misalnya, hadis tentang pengalaman wahyu pertama, tetapi tidak untuk dua Hijrah!). Oleh karena itu, hadis-hadis tersebut harus ditangani dengan sangat hati-hati.
- Detail yang dapat dipercaya, jika diambil dari konteks legenda, pada prinsipnya tidak boleh dianggap sebagai sejarah (Crone).
- Akhirnya, sebagai contoh konkret, analisis isnād saja tidak cukup untuk menentukan tanggal sebuah hadis (Cook) atau untuk menentukan dengan pasti sumber periwayatan atau redakturnya.
Noth, Crone dan Cook tentu saja layak
mendapatkan pujian karena telah membawa masalah ini ke perhatian kita dan
mengingatkan kita akan banyak masalah lainnya.
6.
Prosedur
Sebelum kita memulai analisis teks, berikut ini
adalah beberapa kata mengenai prosedur dan alat-alat yang digunakan dalam
penelitian ini. Pada awal setiap pemeriksaan terhadap sebuah hadis, saya akan
menggambarkan berbagai jalur periwayatannya dalam sebuah diagram, mulai dari
informan aslinya (yang benar atau diduga) sampai ke berbagai penyusun, yang
memasukkannya ke dalam karya-karya mereka. Untuk saat ini, saya akan
mengasumsikan bahwa periwayat yang menjadi titik temu dari berbagai jalur
periwayatan yang berbeda (mata rantai yang sama dari tradisi tersebut)
menyebarkan tradisi tersebut dengan pengajaran yang sistematis -tidak lebih dan
tidak kurang. Keabsahan hipotesis ini bergantung pada keandalan isnāds; kita
hanya akan menganggapnya sebagai sesuatu yang dapat dipercaya jika ia sejalan
dengan analisis teks hadis (matn). Dengan kata lain, ketergantungan
antara berbagai versi hadis yang berbeda yang terdapat dalam beberapa transmisi
(riwayat atau versi) sering kali dapat dideteksi berdasarkan perbandingan matan
(mutūn), terlepas dari isnadnya. Sebuah matan yang ditunjukkan oleh
sebuah isnād hanya bisa diterima jika sesuai dengan matan yang
ditunjukkan oleh pemeriksaan terhadap matan-matan yang berbeda (mutūn).
Untuk dua kompleks hadis yang dikaji dalam buku
ini, saya akan menunjukkan bahwa az-Zuhrī pasti telah menyampaikan hadis-hadis yang
dimaksud kepada banyak muridnya -sebagaimana yang dapat kita duga dari isnadnya
masing-masing. Pendahulunya, ‘Urwah, telah menyebarkan hadis-hadis tersebut.
Hal ini dapat dibuktikan sebagai sesuatu yang sangat mungkin terjadi pada salah
satu hadis yang akan kita pelajari di bawah ini (hadis tentang pengalaman wahyu
pertama) dan sangat mungkin terjadi pada hadis yang kedua (kisah skandal).
Selama dapat diverifikasi, rincian yang diberikan Ibn Isḥāq mengenai sumber-sumbernya
akan terbukti benar. Akan tetapi, dapat dikatakan bahwa isnad yang diberikan
oleh al-Wāqidī sering kali secara sadar dirusak atau
dipalsukan, seperti yang akan kita lihat dalam dua contoh berikut ini.
Al-Wāqidī berusaha menyembunyikan fakta bahwa ia
menggunakan Kitāb al-maġāzī karya Ibn Isḥāq secara keseluruhan sebagai sumber utama karyanya.
Temuan ini, yang telah disadari oleh dua ahli terkemuka tentang al-Wāqidī, Wellhausen dan Horovitz, dibantah oleh editor
Kitāb al-maġāzī, J. M. B. Jones. Ia menyatakan bahwa
dalam banyak kasus, di mana versi al-Wāqidī ‘terlalu mirip’ dengan versi Ibn Isḥāq, ia tidak menjiplak karya Ibn Isḥāq, namun
mereka berdua mengandalkan sumber materi qāṣṣ yang sama. Penelitian terbaru -termasuk penelitian Crone
dan Cook- secara umum tampaknya mengikuti pendapat Jones. Oleh karena itu,
lebih mengherankan lagi ketika Juynboll, berdasarkan analisis isnād
dalam studinya terhadap ḥadīṡ al-ifk, mencurigai bahwa al-Wāqidī, berbeda dengan informasi isnād yang ia
berikan, pada kenyataannya hanya menyalin versi Ibn Isḥāq. Hanya dengan membandingkan matan kedua hadis
tersebut, ia dapat memastikan kecurigaannya. Dengan langkah ini, bagaimanapun
juga, ia telah melampaui batas-batas analisis isnād.
Dalam analisis teks berikut ini, saya akan
menunjukkan bahwa selain Ibn Isḥāq, al-Wāqidī menggunakan sumber-sumber lain untuk versi ḥadīṡ al-ifk-nya, tanpa merujuk kepada sumber-sumber
tersebut, baik di dalam isnad maupun di tempat lain. Hal ini hanya dapat
dilakukan melalui perbandingan antara teks al-Wāqidī dengan semua hadis yang masih ada yang
berkaitan dengan peristiwa tersebut, yang disusun dalam sebuah korpus yang
lengkap.
Singkatnya, untuk menilai ketergantungan
seorang periwayat atau penyusun terhadap sumbernya, sangat tidak cukup hanya
dengan menganalisa isnād. Kesempatan kita untuk berhasil akan jauh lebih
besar jika kita mengumpulkan korpus lengkap dari materi-materi yang tersedia
tentang suatu peristiwa dan, sebagai tambahan dari analisis isnād, dengan
cermat membandingkan teks-teks tersebut (‘analisis isnād-cum-matan’).
[1] Gordian Knot adalah sebuah legenda dari Gordium, Firgia yang
dikaitkan dengan Alexander Agung. Ini sering kali dipakai sebagai kiasan untuk
masalah pelik diartikan sebagai ikatan yang “tak memungkinkan” yang
diselesaikan secara mudah dengan menemukan celah atau berpikir kreatif (“memotong
ikatan Gordia”).