Karangan Gharib al-Hadits
Kajian tentang kalimat asing dan aneh atau sulit difahami karena jarang
digunakan dikaji dalam gharib al-hadits. Asing atau tidaknya kalimat
adalah menurut ahli bahasa, yang mungkin sifatnya relatif. Artinya, gharib ini
berkembang dan terus bertambah dari waktu ke waktu karena suatu kalimat sudah
punah atau jarang digunakan dan hanya digunakan oleh orang terdahulu. Gharib
al-hadits berbeda dengan hadis gharib yang bermakna bahwa hadis diriwayatkan
oleh jalur tunggal dalam tiap tingkatan sanadnya. Hadis gharib dijelaskan
al-Suyuthi (w. 911) dalam Alfiyyah-nya:
الْأَوَّلُ: الْمُطْلَقُ فَرْداً، وَالَّذِي … لَهُ
طَرِيقَانِ فَقَطْ لَهُ خُذِ
Atau dikatakan oleh al-Baiquni (w. 1080) dalam Mandhumah-nya:
وَمُرْسلٌ مِنْهُ الصِّحَابِيُّ سَقَطْ … وَقُلْ غَرِيبٌ
مَا رَوَى رَاوٍ فَقَطْ
Gharib al-hadits menurut al-Suyuthi ditulis sekitar paruh kedua abad
ke-2 Hijriyah. Ada dua pendapat tentang siap yang pertama menulis kitab
tersebut, yaitu apakah al-Nadlr bin Syumail al-Mazini (w. 204) atau Ma‘mar bin
al-Mutsanna al-Taimi (w. 208). Setelah itu, kajian gharib al-hadits banyak
ditulis oleh ahli hadis seperti Gharib al-Hadits karya Abu ‘Ubaid
al-Qasim bin Sallam (w. 224 H), Gharib al-Hadits karya Ibn Qutaibah (w.
278), al-Dala’il fi Gharib al-Hadits karya al-Qasim bin Tsabit
al-Saraqusthi (w. 302), Gharib al-Hadits karya al-Khaththabi (w. 388), al-Fa’iq
fi Gharib al-Hadits karya al-Zamakhsyari (w. 538), Tafsir Gharib al-Muwathta’
karya ‘Abd al-Malik bin Habib al-Qurthubi (w. 238), al-Mubarak bin Muhammad
Ibn al-Atsir (w. 606), yang mengarang al-Nihayah fi Gharib al-Hadits. Kitab
tersebut kemudian diringkas al-Suyuthi dalam al-Durr al-Natsir fi Talkhish
Nihayah Ibn al-Atsir, sebagaimana disebutkan dalam Alfiyyah-nya:
أَوَّلُ مَنْ صَنَّفَ فِيهِ مَعْمَرُ
… وَالنَّضْرُ؛ قَوْلَانِ، وَقَوْمٌ أَثَرُوا
وَابْنُ الْأَثِيرِ الْآنَ أَعْلَى، وَلَقَدْ … لَخَّصْتُهُ مَعَ زَوَائِدَ تُعَدّْ
Gharib al-Hadits dalam Syi’ah
Di dalam tradisi Syi’ah, mereka juga mengarang kitab tentang gharib
al-hadits yang berjudul Gharib al-Hadits fi al-Kutub al-Arba‘ah. Kitab
ini disusun oleh beberapa pengarang, yaitu al-Ustadz al-Faqid Kadhim, ‘Abd
al-Husain al-Anshari, Zain al-‘Abidin al-Khurasani, Muhammad Hasan Zubari al-Qa’ini
dan Muhammad Ridla Sibawaih, yang diterbitkan tahun 1432 H/2011 M. Penyusunan ini
tidak lepas dari pandangan dalam tradisi mereka yang melihat pentingnya menggunakan
hadis Rasulullah dan mengikuti keluarganya (ahli bait), yang terkadang mengandung
kalimat yang sulit difahami (hlm. 5-4).
Menurut para penulis, mengutip dari Ibn al-Atsir, kalimat hadis terbagi
menjadi dua. Pertama kalimat awam yang diketahui oleh penutur bahasa
Arab dalam kesehariannya, yang saling bisa difahami dan diwarisi turun temurun
serta digunakan dalam keseharian mereka. Kedua kalimat khusus yang terdiri
dari kalimat yang mempunyai makna tertentu dan hanya digunakan secara terbatas
oleh para ahli bahasa (hlm. 6). Mengetahui lafal hadis akan mengantarkan pada
pemahaman makna yang ada di dalam hadis tersebut. Oleh karena itu, gharib
al-hadits menjadi sangat penting maksud dan pemahaman suatu hadis, utamanya
hadis yang melalui ahli bait, yang merupakan silsilah emas (al-silsilah
al-dzahabiyyah) (hlm. 13).
Kitab gharib al-hadits awal dalam tradisi Syi’ah antara lain Majma‘ al-Bahrain wa Mathla‘ al-Nayyirain karya Fakhr al-Din bin Muhammad al-Tharihi (w. 1087), al-Khizanah al-Lughawiyyah al-Muwassa‘ah wa al-Dalil al-Lughawi li al-Kutub al-Arba‘ah karya Ra’uf bin Muhammad al-‘Alawi al-Husaini, dan Gharib al-Hadits fi Bihar al-Anwar karya Husain al-Husaini al-Biyar Jundi (hlm. 14-16).
Al-Kutub al-Arba‘ah dalam Syi’ah
Gharib al-Hadits fi al-Kutub al-Arba‘ah membahas empat kitab utama (al-kutub al-arba‘ah) dalam tradisi Syi’ah, sebagaimana enam kitab utama (al-kutub al-sittah) atau sembilan kitab utama (al-kutub al-tis‘ah) dalam tradisi Sunni. Empat kitab tersebut adalah al-Kafi karya Muhammad bi Ya‘qub al-Kulaini (w. 339), Man La Yahdluruhu al-Faqih karya Muhammad bin ‘Ali al-Qummi, yang populer dengan al-Shaduq, serta Tahdhib al-Ahkam dan al-Istibshar fi Ma Ukhtulifa min al-Akhbar karya Muhammad bin al-Hasan al-Thusi (w. 460) (hlm. 16-17).
Sumber Syi’ah dan Sunni dalam Gharib al-Hadits
fi al-Kutub al-Arba‘ah
Sumber Syi’ah dalam kitab Gharib al-Hadits fi al-Kutub al-Arba‘ah ada
dua. Pertama syarah atas al-kutub al-arba‘ah seperti Mir’at
al-‘Uqul karya Maula Muhammad Baqir al-Majlisi (w. 1111), Syarh al-Jami‘
karya Maula Muhammad Shalih al-Mazandarini (w. 1081), al-Wafi karya
al-Faidl al-Kasyani (w. 1091) (ketiga ini tentang syarh kitab al-Kafi karya
al-Kulaini), Raudlat al-Muttaqin Syarh Man La Yahdluruhu al-Faqih karya
Maula Muhammad Taqi al-Majlisi (w. 1070), Maladz al-Akhbar fi Fahm Tahdzib
al-Akhbar karya Maula Muhammad Baqir al-Majlisi (kedua ini tentang syarh
kitab Tahdzib al-Ahkam karya al-Thusi) (hlm. 17-19). Salah satu kitab
bahasa dalam tradisi Syi’ah yang dipakai adalah Majma‘ al-Bahrain karya
al-Tharihi (w. 1085).
Kedua kitab syarah hadis Sunni dan kamus bahasa, yang populer dan banyak dikenal dalam tradisi Sunni seperti al-‘Ain karya al-Khalil bin Ahmad
(w, 175), Gharib al-Hadits karya Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam, Mu‘jam
Tahdzib al-Lughah karya al-Azhari (w, 370), al-Muhith fi al-Lughah karya
Shahib bin ‘Abbad (w. 385), Mu‘jam Maqayis al-Lughah karya Ibn Faris (w.
395), al-Shihah karya al-Jauhari (w. 398), al-Fa’iq dan Asas
al-Balaghah karya al-Zamakhsyari (masuk dalam trasisi Mu‘tazilah), al-Nihayah
karya Ibn al-Atsir, Lisan al-‘Arab karya Ibn Mandhur (w. 711), al-Mishbah al-Munir fi Gharib al-Syarh
al-Kabir karya al-Fayyumi (w. 770), al-Qamus al-Muhith karya
al-Fairuzabadi (w. 817), dan Taj al-‘Arus karya al-Zabidi (w. 1205) (hlm.
22-23).
Absen dan Asingnya Karya serta Kajian Kitab Syi’ah
Beberapa sumber yang digunakan para penulis menunjukkan bahwa ada silang
referensi untuk memahami hadis dari tradisi Syi’ah. Bahkan tidak mungkin ada
dialog antara pemahaman hadis-hadis yang dianggap kontradiktif antara Sunni dan
Syi’ah. Memang sejarah kodifikasi hadis dalam tradisi Syi’ah tidak dimulai
sejak dini dan tanpa hambatan. Imam al-Syafi‘i sendiri (w. 204) sendiri
mengakui tidak semua hadis menyatu di Madinah, tetapi tersebar di berbagai
daerah dan kawasan. Sedangkan al-Dihlawi (w. 1176) dalam al-Inshaf fi Bayan Asbab
al-Ikhtilaf mengatakan bahwa hadis bisa jadi ada di kelompok tertentu dan
tidak didengar oleh kelompok yang lain seperti hadis ahli bait. Marjinalisasi kelompok
ahli bait sejak wafatnya ‘Ali bin Abi Thalib (w. 40) dan perundungan terhadap
mereka membuat para pendukungnya sulit untuk melakukan kodifikasi dan
pengembangan kajian keilmuan. Karya mereka dijumpai terpaut satu hingga dua abad
dari kelompok Sunni.
Oleh karena itu, tidak heran jika para penulis juga mengutip sumber dari
tradisi Sunni, yang memenangkan sejarah intelektual. Toh mengutip dari tradisi
non-Syi’ah tidak akan menyebabkan mereka turun kewibawaannya, malah menegaskan
bahwa karya ulama terdahulu pantas untuk dihargai, dan menyempurnakan yang
belum sempurna (litukmil al-naqish) (hlm. 13).
Di samping itu, stigmatisasi terhadap Syi’ah semakin menambah citra
mereka yang suka memalsukan hadis, menganggap ‘Ali sebagai satu-satunya
khalifah yang sah, suka memusuhi sahabat dan lain sebagainya. Padahal yang
memalsukan hadis bukan hanya Syi’ah, tapi juga selain mereka. Oleh karena itu,
dalam pandangan awam, kelompok Syi’ah tidak mempunyai kitab hadis dan menganggap
hadis dari kelompok lain salah. Hal ini diakibatkan karena masyarakat awam
tidak bisa membedakan antara Syi’ah yang ekstrim (ghulah atau rawafidl)
dengan yang moderat. Dua kelompok tersebut sebenarnya tidak hanya ada di Syi’ah,
tapi juga di Sunni dan banyak kelompok lainnya.
Tidak jarang al-Bukhari (w. 256) sendiri meriwayatkan banyak hadis dari
luar Sunni seperti Syi’ah dan yang diduga Murj’ah (rumiya bi al-irja’). Oleh
karena itu, masih banyak kelompok Syi’ah yang masih dipertimbangkan dalam riwayat
hadis. Terlebih, istilah hadis, jarh wa ta‘dil, kesahihan dan lainnya
berbeda antara Sunni dan Syi’ah. Namun banyak riwayat yang ada dalam Sunni juga
diriwayatkan secara makna atau bahkan sama dalam tradisi Syi’ah.
Oleh karena itu, penting untuk membaca karya kelompok lain seperti Syi’ah, Mu’tazilah dan lainnya langsung ke kitabnya, bukan ke kitab rivalnya yang sekarang banyak dilakukan. Membaca dan mencari penjelasan tentang Syi’ah dan Mu’tazilah di kitab Sunni, apalagi Salafi, jelas akan digambarkan secara bias dan tidak sesuai dengan kenyataannya. Membaca kitab selain Sunni tidak akan membawa seseorang ke neraka, kecuali menurut iktikad kelompok Khawarij. Seseorang yang membaca kitab di luar kelompoknya akan membuka wawasan baru tentang suatu ilmu, tidak mudah menyalahkan, apalagi sampai mengkafirkan. Apalagi akan lebih bagus lagi jika didialogkan dan digunakan sebagai pijakan untuk mengembangkan keilmuan.
Dengan akses yang tidak terbatas dengan keilmuan, sekat praduga dan pra pemahaman tentang kelompok lain semakin dikikis. Kajian dan perbandingan mazhab teologi atau kalam dapat dengan mudah dilakukan. Apalagi kajian terhadap kelompok lain dilakukan oleh orang Indonesia sendiri, disebarluaskan untuk masyarakat seperti dilakukan oleh almaghfurlah kiai Alfatih Suryadilaga dalam bukunya, Konsep Ilmu dalam Kitab Hadis: Studi atas Kitab al-Kafi karya al-al-Kulaini. Lahul Fatihah.