Silang Sumber Sunni dan Syiah dalam Kitab Gharib al-Hadits fi al-Kutub al-Arba‘ah

Daftar Isi [Tampilkan]


Oleh: Muhammad Akmaluddin

Karangan Gharib al-Hadits

Kajian tentang kalimat asing dan aneh atau sulit difahami karena jarang digunakan dikaji dalam gharib al-hadits. Asing atau tidaknya kalimat adalah menurut ahli bahasa, yang mungkin sifatnya relatif. Artinya, gharib ini berkembang dan terus bertambah dari waktu ke waktu karena suatu kalimat sudah punah atau jarang digunakan dan hanya digunakan oleh orang terdahulu. Gharib al-hadits berbeda dengan hadis gharib yang bermakna bahwa hadis diriwayatkan oleh jalur tunggal dalam tiap tingkatan sanadnya. Hadis gharib dijelaskan al-Suyuthi (w. 911) dalam Alfiyyah-nya:

الْأَوَّلُ: الْمُطْلَقُ فَرْداً، وَالَّذِي … لَهُ طَرِيقَانِ فَقَطْ لَهُ خُذِ

Atau dikatakan oleh al-Baiquni (w. 1080) dalam Mandhumah-nya:

وَمُرْسلٌ مِنْهُ الصِّحَابِيُّ سَقَطْ … وَقُلْ غَرِيبٌ مَا رَوَى رَاوٍ فَقَطْ

Gharib al-hadits menurut al-Suyuthi ditulis sekitar paruh kedua abad ke-2 Hijriyah. Ada dua pendapat tentang siap yang pertama menulis kitab tersebut, yaitu apakah al-Nadlr bin Syumail al-Mazini (w. 204) atau Ma‘mar bin al-Mutsanna al-Taimi (w. 208). Setelah itu, kajian gharib al-hadits banyak ditulis oleh ahli hadis seperti Gharib al-Hadits karya Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam (w. 224 H), Gharib al-Hadits karya Ibn Qutaibah (w. 278), al-Dala’il fi Gharib al-Hadits karya al-Qasim bin Tsabit al-Saraqusthi (w. 302), Gharib al-Hadits karya al-Khaththabi (w. 388), al-Fa’iq fi Gharib al-Hadits karya al-Zamakhsyari (w. 538), Tafsir Gharib al-Muwathta’ karya ‘Abd al-Malik bin Habib al-Qurthubi (w. 238), al-Mubarak bin Muhammad Ibn al-Atsir (w. 606), yang mengarang al-Nihayah fi Gharib al-Hadits. Kitab tersebut kemudian diringkas al-Suyuthi dalam al-Durr al-Natsir fi Talkhish Nihayah Ibn al-Atsir, sebagaimana disebutkan dalam Alfiyyah-nya:

 أَوَّلُ مَنْ صَنَّفَ فِيهِ مَعْمَرُ … وَالنَّضْرُ؛ قَوْلَانِ، وَقَوْمٌ أَثَرُوا

 وَابْنُ الْأَثِيرِ الْآنَ أَعْلَى، وَلَقَدْ … لَخَّصْتُهُ مَعَ زَوَائِدَ تُعَدّْ

Gharib al-Hadits dalam Syi’ah

Di dalam tradisi Syi’ah, mereka juga mengarang kitab tentang gharib al-hadits yang berjudul Gharib al-Hadits fi al-Kutub al-Arba‘ah. Kitab ini disusun oleh beberapa pengarang, yaitu al-Ustadz al-Faqid Kadhim, ‘Abd al-Husain al-Anshari, Zain al-‘Abidin al-Khurasani, Muhammad Hasan Zubari al-Qa’ini dan Muhammad Ridla Sibawaih, yang diterbitkan tahun 1432 H/2011 M. Penyusunan ini tidak lepas dari pandangan dalam tradisi mereka yang melihat pentingnya menggunakan hadis Rasulullah dan mengikuti keluarganya (ahli bait), yang terkadang mengandung kalimat yang sulit difahami (hlm. 5-4).

Menurut para penulis, mengutip dari Ibn al-Atsir, kalimat hadis terbagi menjadi dua. Pertama kalimat awam yang diketahui oleh penutur bahasa Arab dalam kesehariannya, yang saling bisa difahami dan diwarisi turun temurun serta digunakan dalam keseharian mereka. Kedua kalimat khusus yang terdiri dari kalimat yang mempunyai makna tertentu dan hanya digunakan secara terbatas oleh para ahli bahasa (hlm. 6). Mengetahui lafal hadis akan mengantarkan pada pemahaman makna yang ada di dalam hadis tersebut. Oleh karena itu, gharib al-hadits menjadi sangat penting maksud dan pemahaman suatu hadis, utamanya hadis yang melalui ahli bait, yang merupakan silsilah emas (al-silsilah al-dzahabiyyah) (hlm. 13).

Kitab gharib al-hadits awal dalam tradisi Syi’ah antara lain Majma‘ al-Bahrain wa Mathla‘ al-Nayyirain karya Fakhr al-Din bin Muhammad al-Tharihi (w. 1087), al-Khizanah al-Lughawiyyah al-Muwassa‘ah wa al-Dalil al-Lughawi li al-Kutub al-Arba‘ah karya Ra’uf bin Muhammad al-‘Alawi al-Husaini, dan Gharib al-Hadits fi Bihar al-Anwar karya Husain al-Husaini al-Biyar Jundi (hlm. 14-16).

Al-Kutub al-Arba‘ah dalam Syi’ah

Gharib al-Hadits fi al-Kutub al-Arba‘ah membahas empat kitab utama (al-kutub al-arba‘ah) dalam tradisi Syi’ah, sebagaimana enam kitab utama (al-kutub al-sittah) atau sembilan kitab utama (al-kutub al-tis‘ah) dalam tradisi Sunni. Empat kitab tersebut adalah al-Kafi karya Muhammad bi Ya‘qub al-Kulaini (w. 339), Man La Yahdluruhu al-Faqih karya Muhammad bin ‘Ali al-Qummi, yang populer dengan al-Shaduq, serta Tahdhib al-Ahkam dan al-Istibshar fi Ma Ukhtulifa min al-Akhbar karya Muhammad bin al-Hasan al-Thusi (w. 460) (hlm. 16-17).

Sumber Syi’ah dan Sunni dalam Gharib al-Hadits fi al-Kutub al-Arba‘ah

Sumber Syi’ah dalam kitab Gharib al-Hadits fi al-Kutub al-Arba‘ah ada dua. Pertama syarah atas al-kutub al-arba‘ah seperti Mir’at al-‘Uqul karya Maula Muhammad Baqir al-Majlisi (w. 1111), Syarh al-Jami‘ karya Maula Muhammad Shalih al-Mazandarini (w. 1081), al-Wafi karya al-Faidl al-Kasyani (w. 1091) (ketiga ini tentang syarh kitab al-Kafi karya al-Kulaini), Raudlat al-Muttaqin Syarh Man La Yahdluruhu al-Faqih karya Maula Muhammad Taqi al-Majlisi (w. 1070), Maladz al-Akhbar fi Fahm Tahdzib al-Akhbar karya Maula Muhammad Baqir al-Majlisi (kedua ini tentang syarh kitab Tahdzib al-Ahkam karya al-Thusi) (hlm. 17-19). Salah satu kitab bahasa dalam tradisi Syi’ah yang dipakai adalah Majma‘ al-Bahrain karya al-Tharihi (w. 1085).

Kedua kitab syarah hadis Sunni dan kamus bahasa, yang populer dan banyak dikenal dalam tradisi Sunni seperti al-‘Ain karya al-Khalil bin Ahmad (w, 175), Gharib al-Hadits karya Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam, Mu‘jam Tahdzib al-Lughah karya al-Azhari (w, 370), al-Muhith fi al-Lughah karya Shahib bin ‘Abbad (w. 385), Mu‘jam Maqayis al-Lughah karya Ibn Faris (w. 395), al-Shihah karya al-Jauhari (w. 398), al-Fa’iq dan Asas al-Balaghah karya al-Zamakhsyari (masuk dalam trasisi Mu‘tazilah), al-Nihayah karya Ibn al-Atsir, Lisan al-‘Arab karya Ibn Mandhur (w. 711),  al-Mishbah al-Munir fi Gharib al-Syarh al-Kabir karya al-Fayyumi (w. 770), al-Qamus al-Muhith karya al-Fairuzabadi (w. 817), dan Taj al-‘Arus karya al-Zabidi (w. 1205) (hlm. 22-23).

Absen dan Asingnya Karya serta Kajian Kitab Syi’ah

Beberapa sumber yang digunakan para penulis menunjukkan bahwa ada silang referensi untuk memahami hadis dari tradisi Syi’ah. Bahkan tidak mungkin ada dialog antara pemahaman hadis-hadis yang dianggap kontradiktif antara Sunni dan Syi’ah. Memang sejarah kodifikasi hadis dalam tradisi Syi’ah tidak dimulai sejak dini dan tanpa hambatan. Imam al-Syafi‘i sendiri (w. 204) sendiri mengakui tidak semua hadis menyatu di Madinah, tetapi tersebar di berbagai daerah dan kawasan. Sedangkan al-Dihlawi (w. 1176) dalam al-Inshaf fi Bayan Asbab al-Ikhtilaf mengatakan bahwa hadis bisa jadi ada di kelompok tertentu dan tidak didengar oleh kelompok yang lain seperti hadis ahli bait. Marjinalisasi kelompok ahli bait sejak wafatnya ‘Ali bin Abi Thalib (w. 40) dan perundungan terhadap mereka membuat para pendukungnya sulit untuk melakukan kodifikasi dan pengembangan kajian keilmuan. Karya mereka dijumpai terpaut satu hingga dua abad dari kelompok Sunni.

Oleh karena itu, tidak heran jika para penulis juga mengutip sumber dari tradisi Sunni, yang memenangkan sejarah intelektual. Toh mengutip dari tradisi non-Syi’ah tidak akan menyebabkan mereka turun kewibawaannya, malah menegaskan bahwa karya ulama terdahulu pantas untuk dihargai, dan menyempurnakan yang belum sempurna (litukmil al-naqish) (hlm. 13).

Di samping itu, stigmatisasi terhadap Syi’ah semakin menambah citra mereka yang suka memalsukan hadis, menganggap ‘Ali sebagai satu-satunya khalifah yang sah, suka memusuhi sahabat dan lain sebagainya. Padahal yang memalsukan hadis bukan hanya Syi’ah, tapi juga selain mereka. Oleh karena itu, dalam pandangan awam, kelompok Syi’ah tidak mempunyai kitab hadis dan menganggap hadis dari kelompok lain salah. Hal ini diakibatkan karena masyarakat awam tidak bisa membedakan antara Syi’ah yang ekstrim (ghulah atau rawafidl) dengan yang moderat. Dua kelompok tersebut sebenarnya tidak hanya ada di Syi’ah, tapi juga di Sunni dan banyak kelompok lainnya.

Tidak jarang al-Bukhari (w. 256) sendiri meriwayatkan banyak hadis dari luar Sunni seperti Syi’ah dan yang diduga Murj’ah (rumiya bi al-irja’). Oleh karena itu, masih banyak kelompok Syi’ah yang masih dipertimbangkan dalam riwayat hadis. Terlebih, istilah hadis, jarh wa ta‘dil, kesahihan dan lainnya berbeda antara Sunni dan Syi’ah. Namun banyak riwayat yang ada dalam Sunni juga diriwayatkan secara makna atau bahkan sama dalam tradisi Syi’ah.

Oleh karena itu, penting untuk membaca karya kelompok lain seperti Syi’ah, Mu’tazilah dan lainnya langsung ke kitabnya, bukan ke kitab rivalnya yang sekarang banyak dilakukan. Membaca dan mencari penjelasan tentang Syi’ah dan Mu’tazilah di kitab Sunni, apalagi Salafi, jelas akan digambarkan secara bias dan tidak sesuai dengan kenyataannya. Membaca kitab selain Sunni tidak akan membawa seseorang ke neraka, kecuali menurut iktikad kelompok Khawarij. Seseorang yang membaca kitab di luar kelompoknya akan membuka wawasan baru tentang suatu ilmu, tidak mudah menyalahkan, apalagi sampai mengkafirkan. Apalagi akan lebih bagus lagi jika didialogkan dan digunakan sebagai pijakan untuk mengembangkan keilmuan.

Dengan akses yang tidak terbatas dengan keilmuan, sekat praduga dan pra pemahaman tentang kelompok lain semakin dikikis. Kajian dan perbandingan mazhab teologi atau kalam dapat dengan mudah dilakukan. Apalagi kajian terhadap kelompok lain dilakukan oleh orang Indonesia sendiri, disebarluaskan untuk masyarakat seperti dilakukan oleh almaghfurlah kiai Alfatih Suryadilaga dalam bukunya, Konsep Ilmu dalam Kitab Hadis: Studi atas Kitab al-Kafi karya al-al-Kulaini. Lahul Fatihah.

Baca juga:
Labels : #Ilmu Hadis ,#Opini ,#Sejarah ,#Syiah ,#Ulasan ,
Menunggu informasi...

Posting Komentar