Hadis Sebagai Worldview Versi Sufisme dan Salafisme

Daftar Isi [Tampilkan]
Oleh: Anugrah Eran Batu
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga



Perbedaan yang signifikan dari kelompok Sufi dan Salafi terletak pada hadis sebagai worldview, dalam artian cara memandang dunia dengan mengukur benar dan salahnya suatu fenomena sesuai dengan yang dicontohkan Nabi SAW (hadis). Menurut Brown, perdebatan antara kaum Sufi dan Salafi tampak dari bagaimana mereka mendefinisikan dan menafsirkan seputar hadis. Penempatan hadis sebagai worldview bagi kelompok Salafi lebih didorong secara tekstual dan konservatif, sedangkan kelompok Sufi lebih interpretatif. Tujuan kelompok Salafi konservatif terhadap penafsiran hadis, untuk mengembalikan masyarakat islam ke jalan yang sesuai pada masa Nabi SAW (Khoirul Huda 2015).

Sementara tujuan kelompok Sufi lebih interpretatif terhadap matan hadis, berdasarkan pemahaman para Sufi bahwa kata apapun itu memiliki makna ganda—batiniah—untuk mengungkap makna lain dibalik makna tekstual (Tajuddin Arafat 2017). Seperti dalam karya al-Ghazali Ihya Ulumuddin, terdapat matan hadis “kesucian itu bagian dari iman”, kata “الوضوء” indikasinya tidak hanya mandi atau berwudhu, malainkan juga kesucian batin. Jika ditelisik lebih jauh, Ibnu Taimiyah tidak menentang tasawuf sebagai bagian dari ekspresi pemikiran. Hanya saja beberapa praktik dari kelompok Sufisme yang dianggapnya menyalahi syariat Islam, seperti tawassul dengan mengunjungi makam para wali. Ada baiknya jika kita refleksi genealogi pemikiran kedua kelompok tersebut.

Perbedaan Sufisme dan Salafisme diuraikan singkat oleh Daniel W. Brown dalam artikelnya di The Wiley Blackwell Concise Companion to The Hadith. Brown menjelaskan bahwa kematangan Sufisme tampak pada abad ke-11 dan ke012 M di Khurasan yang terilhami dari pemikiran Muhammad bin Ali al-Hakim al-Tirmidzi (w. 300 H/ 912 M). Ia dikenal seorang ulama dari Khurasan dan dikenal dengan doktrinnya tentang kewaliyan yang kemudian menjadi komponen penting tasawuf. Hal tersebut dapat dilihat dalam karyanya Nawadir al-Usul fi Ma’rifat Ahadis al-Rusul. Tokoh lainnya seperti Sahl bin Abdullah al-Tustari (w. 283 H/ 895 M) dari Basrah yang memiliki sebuah tafsir parsial atas Al-Qur’an dengan menguraikan pendekatan yang sama dengan al-Tirmidzi. Pendekatan mereka kemudian dilembagakan oleh Abu Abdul al-Rahman al-Sulami (w. 412 H/ 1021 M) dan Abu al-Qasim al-Qushayri (w. 465 H/ 1074 M).

Sementara Salafisme bangkit pada abad ke-19 dan ke-20 M yang terilhami dari pemikiran Taqi al-Din Ahmad Ibn Taimiyah (w. 728 H/ 1328 M). Ia adalah seorang ulama bermazhab Hanbali yang dikenal tak henti-hentinya melawan bid’ah diantara umat islam pada masanya, untuk memulihkan tradisi sesuai praktik Nabi SAW. Hal tersebut tidak terlepas dari pengaruh kekacauan dalam tubuh islam pada masa itu, dimulai dari invasi Mongol sampai agresi tentara Salib. Pemikiran Ibnu Taimiyah dilanjutkan oleh muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 750 H/ 1328 M), yang dimana penekanan kedua tokoh tersebut dapat dilihat dari penafsirannya yang konstruktif. Meskipun para ulama diatas tidak pernah melabeli diri mereka sebagai kelompok Sufi ataupun Salafi, namun ide-ide mereka dianggap menjadi genealogi pemikiran kedua kelompok tersebut.

Bahkan Ibnu taimiyah yang digelari Syaikh al-Islam sangat menghormati Abdul Qadir al-Jilani, sebagaimana disebutkan dalam kitab Fatawa-nya (Mukhammad Zamzami 2017). Perbedaan cara pandang berdasarkan keilmuan para ulama masa-masa awal Islam sangat fair, dengan tujuan yang secara substansial sama untuk melanjutkan ghirah Rasulullah SAW dan mengharap ridha Allah SWT. Belakangan pada abad modern, justru ada kontestasi antara kedua kelompok tersebut yang masing-masing menilai secara general bernafaskan gengsi siapa yang paling benar. Hal ini bisa dilihat dari fenomena seputar hadis yang ditafsirkan oleh kaum Deobandi (Salafisme) dan Beralvi (Sufisme) di India dan Pakistan. Hadis-hadis dhaif yang dijadikan hujjah oleh kelompok Beralvi seringkali dikritisi oleh kelompok Deobandi. Meskipun kelompok Barelvi hanya menjadikannya dalam fadilah al-amal, namun tetap saja hal tersebut ditolak oleh kelompok Deobandi, Bahkan lebih jauh lagi mereka menuduh kelompok Barelvi berbohong atas nama Nabi yang dimana sesuai (HR. Bukhari no. 1291) bahwa Nabi sendiri menjanjikan neraka bagi siapa yang sengaja berbohong tentangnya.

Menurut Yusuf al-Qardhawi, dalam terjemahan karyanya Mensufikan Salafi dan Mensalafikan Sufi, kelompok Salafi lebih fokus pada aspek fikih, sehingga terlihat kurang memperhatikan tasawuf, sedangkan kelompok Sufi lebih fokus pada aspek tasawuf, sehingga terkesan mengabaikan fikih. Di Indonesia dijumpai pula sindiran untuk kelompok Salafi diidentikkan dengan Wahabi, yang menganggap bahwa tradisi yang tidak ada di masa Nabi adalah bid’ah. Fenomena tersebut seringkali kita jumpai ketika Maulid Nabi SAW. Sindiran lain bahwa kelompok Salafi terlampau tekstual sehingga mudah mengkafir-kafirkan. Dalam konteks ini Gus Baha dalam ceramahnya menyindir kelompok Takfiri (orang-orang yang mengkafirkan sesama muslim) bahwa “mereka yang mengkafir-kafirkan sesamanya, sama hal dengan memisahkan Nabi SAW dengan umatnya. Seandainya Nabi masih hidup maka beliau tidak akan sudi engkau pisahkan dengannya”.

Sementara kelompok Sufi diidentikkan dengan hal yang berbau mistik, dan mengabaikan berbagai hal yang bersifat duniawi. Padahal jelas di dalam QS. al-Qashash ayat 77 “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia…” Sebagai seorang Muslim, sangat penting bersikap seimbang antara dunia dan akhirat. Eksistensi kelompok Sufi dan Salafi dalam tubuh Islam, menurut penulis menjadi warna tersendiri untuk Islam. Mengingat kompleksitas penafsiran ulama dari masa ke masa baik terhadap Al-Qur’an maupun hadis. Hal yang perlu difokuskan ialah kemaslahatan untuk umat, bukannya malah saling menghakimi atau mencari kelompok mana yang paling benar. Sabda Rasulullah SAW “Aku telah tinggalkan kepada kamu dua perkara, kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya” (HR. Malik).

Uraian di atas hanya menyoroti sebagian kecil dari kompleksitas pembahasan seputar Sufisme dan Salafisme dalam konteks hadis sebagai worldview. Dewasa ini, penulis memposisikan diri bahwa pentingnya penafsiran secara kontekstual dan tidak terpaku secara tekstual, untuk menemukan penafsiran yang relevan. Sebagai penutup, mengutip dari ungkapan Daniel W. Brown, bahwa selama Nabi Muhammad SAW menjadi teladan bagi umat Islam, maka akan selalu ada penafsiaran yang berjuang untuk memahami warisan kenabian. Akan terus ada upaya intensif kelompok yang bertekad untuk memahami setiap nuansa dan ajaran yang beliau tinggalkan.

Baca juga:
Labels : #Mahasiswa ,#Opini ,
Menunggu informasi...

Posting Komentar