![]() |
Peta Syam. Sumber: Wikipedia |
Pendahuluan
Kajian hadis Nabi menempati posisi yang sangat penting dalam studi keilmuan, mengingat Hadis merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an. Para ulama telah menyusun sebuah disiplin keilmuan yang dikenal dengan ilmu hadis yang mengkaji seluk beluk periwayatan hadis sejak masa Nabi hingga sekarang, termasuk di dalamnya pembahasan tentang terminologi hadis Nabi. Pemahaman hadis yang menggunakan metode tentu memerlukan peranan tokoh yang mengembangkan sebuah metode, yang pada akhirnya dapat diterapkan dalam memahami hadis.
Metode dalam memahami hadis yang digunakan ulama terdahulu (klasik/tradisional) memang secara implisit tidak berupa cara langkah demi langkah (step by step), tetapi harus dianalisa terlebih dahulu sehingga didapatkan intisari metode yang digunakannya. Kemudian metode pemahaman hadis juga coba ditawarkan ulama atau sarjana Muslim modern yang lebih dominan berpaku pada konteks. Studi kritis atas hadis Nabi yang berisikan telaah ulang dan pengembangan pemikiran atas hadis Nabi tampaknya sangat relevan sekali. Tetapi, kenyataannya, terutama sekali dalam pemahaman hadis, justru para ulama mengembangkan sikap mengendalikan diri dan mengutamakan sikap segan. Ini mungkin sekali disebabkan kekhawatiran akan julukan inkar sunnah yang oleh kritikus-kritikus hadis dahulu tidak dirasakan. Bila dibandingkan dengan Al-Qur’an, tampaknya pengembangan pemikiran terhadap Al-Qur’an sangat terbuka sekali, bahkan tanpa kekhawatiran penafsir akan berkurangnya otoritas Al-Qur’an.
Tinjuan Umum
Para Ulama Terhadap Kajian Hadis
Di antara
para ulama hadis, ada yang mendefinisikan hadis secara luas. Menurut mereka,
hadis mempunyai pengertian yang lebih luas, yang tidak hanya terbatas pada
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw semata (hadis marfu’),
melainkan juga segala yang disandarkan kepada sahabat (hadis mauquf),
dan tabiin (hadis maqthu’). Tinjauan umum
para ulama terhadap hadis dapat mencakup berbagai aspek, termasuk kriteria keautentikan
hadis, metode kritik hadis, dan peran hadis dalam pengembangan hukum Islam.
Berikut adalah beberapa poin umum dalam tinjauan ulama terhadap hadis:
1. Kriteria keotentikan hadis. Ulama umumnya mengacu pada kriteria keautentikan hadis, yang
terdiri dari sanad (rantai perawi) dan matan (teks hadis). Hadis yang memiliki
sanad yang kuat dan matan yang sesuai dengan ajaran Islam dianggap lebih dapat
dipercaya.
2. Mutaba’at al-’amal. Beberapa ulama
menekankan bahwa praktik berkelanjutan (mutaba’at al-’amal) dalam
masyarakat Muslim juga dapat menjadi indikator kebenaran hadis. Jika suatu
amalan atau praktik telah diterima oleh umat Islam secara luas dan
berkesinambungan, hal itu dapat menunjukkan validitas hadis terkait.
3. Kritik hadis (ilmu jarh wa ta’dil) yang merupakan metode kritik hadis yang melibatkan penilaian
terhadap perawi hadis. Perawi yang dianggap dapat dipercaya disebut tsiqah,
sementara perawi yang diragukan integritasnya atau dianggap tidak dapat
dipercaya maudlu’.
4. Ketelitian dan kejelasan teks. Ulama memeriksa ketelitian dan kejelasan teks hadis. Hadis yang
jelas dan tidak kontradiktif dengan prinsip-prinsip Islam dianggap lebih dapat
dipercaya.
5. Kesesuaian dengan Al-Qur’an. Hadis yang sesuai dengan Al-Qur’an dianggap lebih kuat. Para ulama sering kali membandingkan isi hadis dengan ajaran Al-Qur’an untuk menilai kebenarannya.
Ahmad Snobar
dan Kritik Hadis Abad ke-20 di Tanah Syam
Gerakan kritik hadis di Syam pada abad kedua puluh bisa dibilang
salah satu gerakan hadis paling aktif di dunia Islam. Di sana, banyak karya
yang dihasilkan dan banyak nama terkemuka bermunculan, seperti Nāṣir al-Dīn al-Albānī
(1914–99), ‘Abd al-Fattāḥ Abū Ghuddah (1917–97), Syuʿaib al-Arnaʾūṭ
(1928–2016), Nūr al-Dīn ʿItr (1934) dan MuḥammadʿAwwāmah (1940 ). Pergerakan
hadis di Syam berkembang secara signifikan selama abad ke-20 dan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
hal-hal lain negara. Hal ini ditandai dengan perkembangan ideologis dan doktrin
yang jelas terlihat
konflik.
Pergerakan hadits di Syam juga mempunyai banyak segi. Beberapa
ulama memusatkan perhatiannya pada penyampaian karya hadis secara tertulis dan
lisan, sementara ulama lainnya memusatkan perhatian pada isi teks kumpulan
hadis dan penafsirannya. Para ahli tertentu mendedikasikan upayanya untuk
menanggapi kritik Barat dan pihak lain terhadap terminologi hadis. Meski
demikian, kritik hadis mendapat perhatian paling besar. Snobar menganalisis
kritik hadis di Syam, dengan fokus pada metode pembuktian hadis (keontentikan hadis). Memahami kritik hadis di Syam ini sangat penting dalam memahami
perkembangan kritik hadis di dunia Islam, karena Syam, dengan keragaman
intelektual dan doktrinnya, telah menjadi pusat penting kesarjanaan Islam pada
umumnya dan khususnya pada ilmu hadis.
Dalam analisisnya, Ahmad Snobar membagi aliran dhahir al-isnad menjadi dua, yaitu yang mengikuti madzhab al-Albani dan yang mengikuti madzhab Abu Ghuddah dan ‘Itr. Diferensiasi ini didasarkan pada kenyataan bahwa walaupun keduanya memiliki kesamaan dalam menggunakan dhahir al-isnad sebagai basis metodologisnya, namun Abu Ghuddah dan ‘Itr sebagai representasi ulama tradisionalis tidak setuju dengan al-Albani dalam beberapa hal yang menurutnya tidak merepresentasikan madzhab yang dianut oleh ulama tradisionalis. Ia juga membahas metode ‘ilal al-hadits yang muncul di Yordania pada tahun 1980an melalui Hammām Saʿīd, kemudian dikembangkan dan dirumuskan oleh Ḥamzah al-Mallībārī.
Kritik Hadis
Berdasarkan Dhāhir al-Isnād (Nāṣir al-Dīn al-Albānī)
Damaskus
terkenal dengan mazhab hadisnya pada abad kedelapan/empat belas, yang hampir
tidak dapat disejajarkan dengan mazhab hadis dan kritik hadis lainnya. Namun
kemerosotan dimulai pada paruh kedua abad kesembilan/lima belas. Ibnu Nāṣir
al-Dīn al-Dimasyqī (842/1438) di Damaskus dan Sibṭ Ibn al-ʿAjamī (841/14370) di
Aleppo tidak mempunyai penerus penting. yang mewarisi ajaran mereka, hanya
memiliki salah satu siswa terkemuka, Ibnu Ṭūlūn (953/1546), dan keduanya
memberikan kontribusi yang kecil terhadap bidang kritik hadis. Penurunan
intensitas ini meningkat pada masa pemerintahan Ottoman di Syam hingga awal
Renaisans Arab (al-nahḍah). Pada pertengahan abad ke-20, dengan munculnya
al-Albānī sebagai kritikus hadis, ia mengarahkan kritiknya pada lingkungan tradisionalis yang dominan melalui media kritik hadis, yang merupakan alat terpenting
dan tidak dimiliki rekan-rekannya.
Sifat kritik
al-Albānī yang berani dapat dikaitkan dengan beberapa elemen berkaitan dengan
pandangan intelektual pada masanya. Menurut Snobar, al-Albani pada umumnya
membahas membahas hal-hal yang kontroversial,
dan karena hal itu menarik perhatian lapisan masyarakat khususnya para ulama hadis. Al-Albānī juga memanfaatkannya berbagai sarana komunikasi untuk
berhubungan dengan pelajar elit dan masyarakat umum, khususnya materi tertulis
yang diterbitkan. Namun Bagaimanapun juga, risalah al-Albānī dan ide-idenya
tersebar luas di Syam, terutama karena pemikiran Salafi-nya menyerukan untuk
berpegang pada Al-Qur’an. metode kritik hadis al-Albānī didasarkan pada metode dhahir
al-isnad melalui penerapan prinsip-prinsip yang dirinci dalam kitab-kitab
terminologi hadis. Metode dhahir al-isnad terutama bergantung pada
ciri-ciri perawi dalam menilai keotentikan hadis, dan menjadikan aturan-aturan
yang terdapat dalam kitab-kitab hadis sebagai standar yang konsisten dalam
menilai hadis.
Contohnya, jika ia amanah (tsiqah), maka hadisnya shahih, jika ia jujur (shaduq), maka kualitas hadisnya adalah hasan, dan jika ia lemah, maka hadis yang diriwayatkan adalah dhaif. Ahmad Snobar mengatakan bahwa al-Albani menggunakan metode ini dalam menerapkan kritik hadis. Fakta ini didasari oleh kenyataan bahwa al-Albani menganut penerapan kaidah yang hampir sama yang terdapat dalam kitab musthalah al-hadits, dengan mengabaikan bukti-bukti tambahan (qara’in) ketika menentukan keabsahan hadis. Al-Albani, dalam menerapkan metode dhahir al-isnad, hanya berfokus pada status perawi dalam menentukan keontentikan sebuah hadis, padahal para kritikus hadis periode awal juga mempertimbangkan bukti tambahan tersebut. Dalam hal ini, Ahmad Snobar menekankan bahwa pendekatan yang digunakan oleh al-Albani tidak bisa diterapkan, dengan alasan bahwa penerapan hadis secara literal biasanya tidak membuahkan hasil yang konsisten.
Kritik Hadis
dalam Mazhab Tradisionalis (Abu Ghuddah dan ‘Itr)
Ketika al-Albānī memulai karirnya pada pertengahan abad ke-20, hanya ada sedikit aktivitas dalam bidang kritik hadis di Syam. Dengan demikian, al-Albānī hampir tidak mendapatkan tantangan yang serius, karena para ulama cenderung memperingatkan metodenya dengan mengkritiknya secara pribadi karena dianggap tidak terlatih oleh para ulama tradisional. Alih-alih membahas metode kritik hadisnya, para sarjana cenderung mengkritik ide-idenya dari sudut pandang mazhab hukum tradisional (mazhab) dan berfokus pada bagaimana al-Albānī tidak merepresentasikan tradisi tersebut. Baru setelah kedatangan ʿAbd Allāh al-Ḥabasyī (1910–2008) di Syam, yang kemudian menulis al-Taʿaqqub al-Ḥatsīts, dan ditanggapi oleh al-Albānī dalam dua artikel terpisah, perdebatan tersebut menjadi terfokus pada hadis dan tidak didasarkan pada kepatuhan (aturan) terhadap aliran hukum tradisional.
Tren ini berlanjut dengan tulisan-tulisan
Nūr al-Dīn ʿItr di awal tahun 1970-an. Namun Abū Ghuddah tidak membahas al-Albānī kecuali dalam karyanya
yaitu Kalimāt fī Kasyf Abāṭīl wa Iftirāʾāt, dan meskipun demikian,
sebagian besar buku tersebut lebih bersifat pribadi daripada akademis karena
merupakan pembelaan pribadi dalam menghadapi kritik dari al-Albani. Perlu
dicatat juga bahwa Abū Ghuddah mendedikasikan sebagian besar bukunya untuk
membela reputasi Abū Ḥanīfah (d. 150/767) dalam keilmuan hadis. Pada tahun
1990an, Ḥasan al-Saqqāf (1961) mencoba untuk melibatkan karya al-Albānī melalui
sejumlah tulisan, yang terkenal di antaranya Tanāquḍāt al-Albānī al-Wāḍiḥāt.
Namun, upaya al-Saqqāf melawan al-Albānī tidak berhasil karena kurang tepat
sasaran dan berangkat dari metodologi studi hadis yang berbeda. Kritik
tersebut lebih sekedar menyoroti perbedaan doktrin dan ideologi antara madzhab Sunni
tradisionalis dan madzhab Salafi kontemporer.
Menurut Snobar, mazhab tradisionalis sendiri dicirikan oleh ketaatannya pada mustolah (terminologi) dan kaidah metodologis (rule-based method) dalam menilai kualitas hadis. Hal ini terlihat dari sudut pandang mereka terhadap persoalan penghukuman hadis berdasarkan peringkat yang ada pada kitab-kitab biografi para perawi (tarajim) yang fokus pada persoalan kritik pada rawi hadis (al-jarh wa al-ta’dil).
Metode ‘Ilal al-Hadits
Menurut Snobar, mazhab ‘ilal/qara’in bisa didefinisikan sebagai sebuah aliran yang tidak mempertimbangkan musthalah al-hadits untuk diaplikasikan dalam proses pelabelan hukum atas hadis, dalam semua atau hampir sepanjang waktu yang mereka gunakan. Hamzah al-Mallibari, sebagai pelopor madzhab ini menyatakan bahwa hubungan antara perawi dan apa yang ia riwayatkan menentukan karakteristik dan tingkat akurasi perawi itu bergantung/kembali pada penilaian atas riwayat-riwayatnya. Oleh karena itu, para ulama awal tidak menganggap peringkat seorang perawi sebagai titik tolak utama dalam menilai sebuah hadis. Tidaklah tepat jika kita mengatakan bahwa ‘semua hadis seorang ṣadūq adalah ḥasan’, misalnya karena ia diturunkan ke peringkat tersebut karena kesalahan-kesalahan yang muncul dalam riwayatnya. Para ulama awal akan melihat bukti-bukti tidak langsung dari perawi dan riwayatnya sebelum menilai sebuah hadis dan biasanya tidak akan memberikan keputusan umum mengenai keandalannya.
Di antara tokoh paling terkenal dari aliran ini adalah Ḥamzah al-Mallībārī, Ḥātim al-ʿAwnī dan ʿAbd Allāh al-Saʿd. Sebagian besar ulama ini secara ideologis sejalan dengan mazhab Salafi, namun sangat tidak setuju dengan metode kritik hadis yang dikemukakan Al-Albānī. Di antara para ulama ini, yang paling berpengaruh di Syam adalah al-Mallībārī, yang pindah ke Yordania pada tahun 1996 dan mengajar di Universitas Yordania selama empat tahun. Namun, kemungkinan besar, keberhasilannya tampaknya diperoleh melalui landasan yang telah diberikan sebelumnya oleh Hammām Saʿīd. Kontribusi ini dapat dilihat dalam studi syarh Ibnu Rajab al-Ḥanbalī yang dilakukannya, yaitu Syarh ʿIlal al-Tirmidzi.
Kesimpulan
Klasifikasi dan paparan di atas menunjukkan bahwa Snobar telah berhasil membuktikan di
mana tendensi kritik hadis berdasarkan madzhab ideologi dan pemikiran tidak
lagi relevan untuk zaman sekarang. Al-Albani yang beraliran Salafi sebagai
contoh, metode yang ia gunakan banyak diikuti juga oleh kalangan Sunni tradisionalis,
walaupun ada beberapa kritik dari beberapa poin argumen yang dibangunnya. Perkembangan
ini layak untuk diangkat dan dipopulerkan ke khalayak lebih luas, karena dengan
kesadaran bahwa tidak ada dinding pemisah secara ideologis dan pemikiran dalam
mengkaji suatu keilmuan. Kajian hadis akan mengarah kepada perkembangan dan
kemajuan ilmu pengetahuan yang corak dan warnanya lebih holistic cara pandang
yang menyeluruh atau secara keseluruhan sebagai satu kesatuan tanpa ada
ketegangan dan tendensi ideologis-sektarian.
Daftar
Pustaka
Eko Zulfikar, “Otentisitas Dan Validitas Hadis Dalam Perspektif
Ulama Modern,” Jurnal Studi Hadis Nusantara, Vol. 2, No. 2, 2020.
Mhd.
Idris, “Metode Pemahaman Hadis Modernis,” Jurnal Ulunnuha Vol.7 No.1, 2018
H. Idri, Arif
Jamaludin Malik, dkk, Studi Hadis, (Surabaya: UIN SA Press, 2014).
Muḥammad ibn Nāṣir al-ʿAjmī, Imām al-Syām ʿAṣrih Jamāl al-Qāsimī: Sīratuhu al-Dzātīyah (Beirut: Dār al-Basyāʾir al-Islāmīyah, 2009)
Umaiyatus Syarifah, “Peran dan
Kontribusi Nashiruddin
Al-Albani (w. 1998) Dalam Perkembangan Ilmu Hadis,” Riwayah, Vol. 1, No. 1, Maret 2015
Muhammad ‘Azzuz, Madrasah al-Hadits fi Bilad al-Syam Khilal al-Qarn al-Tsamin al-Hijri, (Beirut: Dar al-Basyar’ir al-Islamiyah, 2000)