Mengenal Metode Penanggalan Hadis (Dating) di Kalangan Orientalis

Daftar Isi [Tampilkan]
Oleh: Moh. Fazrul Azrif Alwy
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga

Lukisan oriental buatan pelukis tak dikenal dari Venesia, diberi judul Penerimaan Duta Besar di Damaskus, 1511, Museum Louvre. Rusa bertanduk dalam lukisan tersebut tidak diketahui pernah hidup di alam liar di Suriah. Sumber: Wikipedia


Dari sekian banyak diskursus tentang hadis, tema otentisitas dan kesejarahan hadis menjadi hal yang fundamental. Studi kesejarahan dan keotentikan hadis bertujuan untuk membedakan antara yang asli dan palsu. Hal ini disebabkan secara teologis hadis tidak mendapatkan jaminan dari Allah SWT atas keasliannya sebagaimana Al-Qur’an. Problem otentisitas dipandang penting karena berkaitan dengan revitalisasi hukum-hukum Islam, maka tidak mengherankan jika kajian hadis terus berkembang (Mustaqim 2002, h. 68).

Membuktikan keotentikan hadis adalah salah satu tujuan utama studi hadis, karena hanya hadis-hadis otentiklah yang bisa dijadikan hujjah dalam Islam. Ada kalanya ditemukan hadis yang dipalsukan oleh seseorang ataupun kelompok dengan berbagai motif. Tidak jarang dikarenakan faktor politik, fanatisme kesukuan, perselisihan masalah fikih dan kalam, membuat hadis demi kebaikan ataupun mendekatkan diri pada para pembesar negara (Ash- Shiddieqy 2009, h. 191-197).

Pada pertengahan abad ke-19, sarjana Barat seperti Von Kremer dan Aloys Sprenger mulai mempertanyakan keandalan atau konsistensi keakuratan teks hadis yang tersusun dalam kitab-kitab hadis terhadap sumbernya. Motzki menyebutkan bahwa studi Barat tentang Islam atau lebih spesifik kajian kritik dari hukum Islam periode awal sebelum Ignaz Goldziher didasarkan pada metode ushuli sebagaimana yang digunakan oleh ulama Islam tradisional.

Langkah ini menunjukkan sarjana Barat menerima prinsip bahwa al-Quran dan hadis menduduki posisi sentral dalam sejarah awal Islam. Meskipun demikian beberapa sarjana Barat mengklaim sebagian besar hadis telah dipalsukan (Motzki 2002, h. 8-10).

Metode Otentisitas Hadis

Teori otentisitas hadis sejak awal telah dirumuskan oleh sarjana Muslim. Hadis dikatakan otentik melalui proses penyeleksian dua unsur pokok hadis, yaitu shahih sanad dan shahih matan. Pada umumnya, ada lima hal yang disepakati dalam otentikasi isnad hadis yaitu,

a. Ketersambungan sanad (ittishal al-sanad)

b. Para perawinya ‘adil

c. Para perawinya dlabith

d. Terhindar dari anomali (syadz)

e. Terhindar dari cacat yang tersembunyi (‘illat) (’Itr 1997, h. 242-243).

Kajian tentang otentisitas hadis sarjana muslim terdahulu berfokus pada sanad dan matan tanpa melibatkan analisis kesejarahan karena mereka memandang hadis sebagai sumber hukum dan moral atau inspirasi keagamaan.

Hal ini berbeda dengan sarjana Barat yang menganggap hadis sebagai sumber rekonstruksi sejarah memfokuskan penelitian keontetikannya pada kesejarahan hadis. Penelitian historisitas sebuah hadis mengusung penggunaan metode penanggalan (dating).

Menurut Kamaruddin Amin, definisi teori dating ialah: “teori yang digunakan untuk menaksir umur dan asal muasal sebuah sumber (dating document) sejarah melalui metode kritik sejarah modern berupa kritik sumber (source criticism) yang bertujuan untuk merekonstruksi peristiwa masa awal Islam (Idri 2017, h. 221).

Sedangkan Harald Motzki menyebut bahwa dating (penanggalan) merupakan salah satu penelitian sejarah yang ditujukan untuk menentukan asal muasal sumber sejarah. Jika kemudian terbukti bahwa penunjukkan yang dibuat oleh sejarawan ke data historis tidak benar, maka semua premis, teori, dan kesimpulan yang dibuat berdasarkan data historis tidak valid. Motzki menjadikan teori ini sebagai dasar epistemologi untuk merekonstruksi sejarah awal Islam (Masrur 2016, h. 185).

Motzki mengklasifikasikan penelitian penanggalan hadis berdasarkan basis yang dipakai menjadi 4 kelompok (Motzki 2005, h. 206):

1. Methods which use the matn (Penanggalan berbasis analisis matan), diterapkan oleh Ignaz Goldziher dan Marston Speight.

2. Dating on the basis of the collections where traditions appear (Penanggalan berdasarkan kitab-kitab koleksi hadis), digunakan oleh Joseph F. Schacht G.H.A. Juynboll

3. Dating on the basis of the isnad (Penanggalan yang berbasis sanad), diterapkan oleh Joseph F. Schacht G.H.A. Juynboll

4. Methods using matn and isnad (Penanggalan berbasis analisis sanad dan matan), digunakan oleh Harald Motzki dan G. Schoeler.

 Tokoh Orientalis dan Teorinya

Ignaz Goldziher (1850-1921)

Ignaz Goldziher pertama kali melakukan penanggalan hadis berdasarkan matan dalam tulisannya yang berjudul “Ueber die Entwicklung des Hadith”, yang diterbitkan pada 1890 pada jilid kedua dari Muhammedanische Studien. Dalam artikelnya disebutkan adanya kajian fundamental hadis yang disebut isnad namun tidak disebutkan secara lebih lanjut. Pernyataannya tentang asal-usul hadis semata-mata didasarkan pada matan dan kriteria lainnya.

Menurutnya, redaksi hadis yang diriwayatkan oleh para perawi hadis dinilai tidak akurat, karena mereka lebih menitikberatkan pada aspek maknawi saja sehingga para ahli bahasa menolak menerima periwayatan hadis disebabkan susunan bahasananya tergantung pada pendapat perawinya (Syarifuddin and Rosyid 2019, h. 201).

Goldziher mendasarkan penanggalan umum hadisnya dengan beberapa indikasi yang memungkinkan adanya fabrikasi atau pemalsuan hadis yang dapat mempengaruhi keotentikan hadis sebagai sumber sejarah adalah sebagai berikut:

1. Adanya perdebatan politik dan perselisihan agama di dalam komunitas Islam yang baru lahir. Dia mencontohkan dengan menyebut dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang merupakan dorongan bagi muslim dalam menciptakan kesalehan mereka sendiri.

2. Hadis lain muncul ketika Abbasiyah (132-656 H/750-1258 M) mengambil alih kekhalifahan pada abad kedua. Ini menyebabkan dorongan para cendikiawan untuk “produksi” hadis.

3. Selama paruh kedua abad kedua hijriah banyak tradisi muncul dari perselisihan antara ahl al-ra’y dan ashab al-hadis.

4. Banyak hadis terdistorsi dikarenakan berbagai perjuangan politik dan agama. Beberapa kelompok tidak puas dengan pemerintahan dan mengekspresikan klaim mereka dengan hadis sebagai sarana legitimasi penentangan atau pemberontakan. Bahkan persaingan antara suku, kalangan dan cendikiawan tidak boleh dipandang remeh menjadi asal-usul lahirnya hadis palsu.             

Joseph Franz Schacht (1902-1969)

Schacht merupakan seorang orientalis yang berpengaruh dalam penelitiannya mengenai hadis. Pendekatan sejarah dan sosiologi sering digunakannya dalam penelitiannya terhadap kajian hadis dan hukum. Buku Joseph Schacht yang terkenal adalah “The Origin of Muhammad Jurisprudence, An Introduction to Islamic Law” dan “Pre Islamic Background and Early Development of Jurisprudence” (Fauzi 2023, h. 15).

Berbeda halnya dengan Goldziher yang memfokuskan kajian pada kritik matan, Schacht lebih tertarik pada kajian isnad. Sistem isnad merupakan kajian utama yang menjadi fokus penting baginya. Dia menganggap sistem isnad yang berupa rantai periwayatan yang sampai kepada Rasulullah itu palsu. Oleh sebab itu, pandangan Schacht terhadap sistem isnad itu sebagai berikut:

1) Sistem isnad muncul pada abad pertama dan abad kedua.

2) Isnad-isnad ditempatkan secara tidak beraturan dan terkesan seenaknya bagi mereka yang bermaksud untuk memproyeksikan ke belakang dogma mereka hingga sampai pada sumber terdahulu.

3) Pemalsuan terhadap isnad itu meningkat disertai dengan melengkapi isnad-isnad yang memiliki kekurangan di era koleksi dahulu.

4) Pada masa al-Syafi’i beberapa sumber tambahan diciptakan untuk menolak hadis-hadis yang dilacak kebelakang sampai pada satu sumber. Begitupun dengan isnad-isnad keluarga dan materi yang ada di dalamnya itu adalah palsu.

5) Adanya common narrator dalam rantai periwayatan tersebut membuktikan bahwa hadis itu berasal dari masa para perawi tersebut (Azami 2004, h. 233).

Selanjutnya, Schacht membangun beberapa teori untuk membuktikan argumennya tentang hadis nabi yang telah dipalsukan, yaitu:

a. Teori Projecting Back: digunakan untuk menelusuri otentisitas dan asal mula hadis yang didasari perkembangan sanad dalam tradisi para muhaddits.

b. Teori Argumentum E Silentio: yang digunakan oleh Schacht bertujuan untuk meyakinkan ketiadaan beberapa riwayat dalam literatur hadis. Menurutnya, kritik kualitas hadis baik shahih atau tidaknya dapat dilihat dari eksistensi hadis tersebut pada masa tertentu, ataupun dapat dilihat dari penggunaan hadis sebagai sumber referensi yang dijadikan dalil dalam diskusi maupun rujukan penerapan suatu kebijakan hukum (Anusantari 2020, h. 118-19)(Anusantari 2020, h. 118-119).

c. Teori Common Link: Teori ini menganggap bahwa seorang common link itu memiliki tanggung jawab atas munculnya sebuah hadis, yang mana pada dirinya lah segala sanad akan terkumpul. Schacht mengatakan istilah common link ini merupakan perawi yang menghubungkan segala isnad dalam sebuah hadis. menurutnya munculnya sebuah hadis itu berdasarkan eksistensi dari seorang common link yang terindikasi sangat signifikan dalam sanad-sanad hadis tersebut.(Schacht 2010, h. 262)

Gualtherus Hendrik Albert Juynboll (1935-2010)

Juynboll adalah pengembang dari teori common link yang digagas oleh Schacht dimana dalam pengembangannya dia menambahkan beberapa istilah baru dalam teori ini:

1) Single Strand (jalur tunggal), yaitu sebuah rantai isnad yang hanya memiliki jalur tunggal.

2) Partial Common Link (PCL), yaitu periwayat yang menerima hadis dari seorang (atau lebih) guru yang berstatus sebagai common link, kemudian menyampaikannya kepada (minimal) dua orang murid.

3) Inverted Partial Common Link (IPCL), kebalikan dari PCL yaitu periwayat yang menerima hadis lebih dari seorang guru dan kemudian menyampaikannya kepada (jarang lebih dari) seorang murid.

4) Fulan, yaitu para periwayat hadis yang menerima riwayat dari seorang guru dan kemudian menyampaikannya hanya kepada satu orang murid.

5) Diving Strand (jalur yang menyelam), yaitu bila ditemukan adanya sebuah jalur isnad yang tidak bertemu dengan isnad lainnya yang lebih dalam di tingkat tabi’in atau sahabat. Ditandai dengan huruf “d”

6) Seeming Common Link (seolah-olah common link), yaitu periwayat yang kelihatannya mempunyai dua murid (PCL) atau lebih, namun mereka hanya mempunyai satu murid, maka tidak dianggap sebagai common link.

7) Inverted Common Link (ICL), yaitu terdapat berbagai jalur tunggal yang berasal dari saksi yang berbeda-beda, dan pada gilirannya masing-masing akan menyampaikan kepada seorang murid hingga bersatu pada ICL

8) Spider (jalur laba-laba), yaitu sebuah sistem isnad yang terdiri dari berbagai jalur tunggal, namun tidak ada seorang periwayat pun yang memiliki lebih dari seorang murid.




Gambar 1: Contoh Jalur Sanad

Harald Motzki (1948-2019)

Harald Motzki adalah seorang orientalis tradisionalis yang membantah pendukung madzab skeptis atau revisionis. Ia mengkritik metode, premis dan kesimpulan mereka. Sebagai seorang pakar studi Islam dalam kajian transmisi hadits, Motzki melalui berbagai karyanya memberikan argumen-argumen yang spektakuler, ia menggunakan teori dating dan isnad cum matn, sehingga dapat meruntuhkan teori-teori pendahulunya (Wazna 2018, h. 117).

Awal mula pengembangan teori analisis isnad cum matn, Motzki terlebih dahulu menelaah teori common link yang digagas oleh Schacht dan dikembangkan oleh Juynboll. Keduanya yang menyimpulkan bahwa isnad yang timbul belakangan adalah otentik sedangkan isnad bagian awal (backward) kepada Nabi adalah palsu karena common link didefinisikan sebagai periwayat yang menjadi pusat penyebaran hadis. sedangkan Motzki mendefinisikan common link sebagai berikut:

”The common link, i.e. the first systematic collectors, who wrote down the traditions of the 1 century and transmitted them in circles of learning (“lectures”),revealed in the isnad from whom (i.e. from which companion or successor) they had received a particular tradition and – if he was a successor- from who, he in turn had allegedly received it” (Masrur 2007, h. 177).

“Common link merupakan kolektor sistematis pertama yang menuliskan hadis pada abad pertama, kemudian hadis itu dia sampaikan kepada murid-muridnya. Maka dalam isnad akan terungkap dari siapa hadis itu diterima dan -jika ia sebagai seorang periwayat hadis- maka siapa saja yang menerimanya.”

Kemudian yang menjadi kritikan terhadap common link Schacht dan Juynboll mengenai Single Strand (jalur periwayatan tunggal) yang mengindikasikan bahwa isnad tunggal dari tokoh common link ke atas (sahabat dan Nabi), maka kepalsuan isnad tidak dapat dielakkan (Zuhri 2015, h. 226).

Berbeda halnya menurut Motzki, hal itu wajar saja terjadi dengan alasan bahwa jika periwayatan dilacak dari bawah (kolektor), sering kali seorang murid menerima informasi bersama beberapa orang dari generasi sebelumnya. Hanya saja pertimbangan untuk penyebutan guru yang paling handal (otoritatif), begitu pula sebaliknya. Ibarat penerimaan dan periwayatan berita publik (seperti bencana alam) dari seseorang yang paling kita percaya tanpa menyebutkan orang selainnya.(Motzki 2005, h. 240)

Kembali kepada isnad cum matn analysis, yang lebih dikenal dengan teori Motzki ini terdiri dari beberapa langkah:

a.  Mengumpulkan sebanyak mungkin varian hadis yang dilengkapi dengan isnad

b. Menghimpun seluruh jalur isnad untuk mendeteksi common link dalam generasi periwayat yang berbeda-beda. Dengan dua langkah ini, hipotesis mengenai sejarah periwayatan hadis mungkin diformulasikan.

c. Membandingkan teks-teks dari berbagai varian itu untuk mencari hubungan dan perbedaan, baik dalam struktur maupun susunan lafalnya. Langkah ini juga memungkinkan untuk membuat suatu rumusan tentang sejarah periwayatan dari hadits yang dibicarakan

d. Membandingkan hasil analisis isnad dan matan. Sehingga dapat disimpulkan kapan dan dimana hadis yang dibicarakan itu disebarkan dan juga siapa yang bertanggung jawab atas perubahan itu? Jika terjadi perbedaan dalam hasil analisis isnad dan matan; dalam arti jika isnad hadits menunjukkan adanya hubungan antara berbagai varian namun masing-masing matan (teks) dari hadits itu tidak menunjukkan hal yang sama, maka dapat disimpulkan bahwa baik isnad maupun matan hadits sama-sama cacat, baik karena kecerobohan para periwayat maupun karena perubahan-perubahan yang disengaja. Pendekatan seperti ini dapat dikatakan sebagai pendekatan sejarah (historical approach) (Motzki 2000, h. 174-75).

Kesimpulan Motzki diatas tidak jauh berbeda dengan sajian sejarah yang terdapat dalam sumber-sumber biografi atau kutub al-rijal dan kutub al-thabaqat. Akan tetapi kesimpulan ini didasarkan pada analisa teks bukan pada literatur biografi.

Metode ini masih bergantung kepada kemampuan peneliti untuk mengumpulkan seluruh jalur periwayatan dan sanad dengan berbagai variasinya, serta persepsi dan interpretasi peneliti terhadap sanad dan matan hadits tersebut. Skeptisisme terhadap reliabilitas hadits akan bergantung kepada tesis awal yang digunakan oleh peneliti.

Oleh karena itu, Motzki mengusulkan agar para orientalis membalik tesis Schacht, dari via negativa menjadi via positiva, yakni jika Schacht berkata: “Semua hadits harus dianggap tidak autentik hingga terbukti keautentikannya”, maka harus dibalik menjadi pernyataan: “Semua hadits harus dianggap autentik kecuali jika terbukti ketidakautentikannya” (Sumbulah 2017, h. 175).

Dengan adanya perspektif yang mendahulukan penilaian positif (via positiva) maka akan menekan sikap skeptis terhadap hadits, sehingga metode isnad cum matn analysis akan ideal jika didekati dengan cara seperti ini, bukan sebaliknya.

Menurut Kamaruddin Amin, sisi lain yang dapat dikritisi dari metode ini adalah karakteristiknya yang menjadikan komentar para kritikus atau ulama hadis sebagai referensi sekunder setelah matn atau teks dari periwayat tersebut. Hal ini berarti mereduksi nilai kerja intelektual para ulama hadis mutaqaddimin, padahal secara historis mereka melihat lebih dekat situasi kesejarahan periwayatan hadits dan memahami kompleksitas periwayatan sebelum hadits mengalami kodifikasi (Wazna 2018, h. 123).

Referensi:

’Itr, Nuruddin. 1997. Manhaj Al-Naqd fi ’Ulum Al-Hadis. Beirut: Dar al-Fikr.

Anusantari, Inama. 2020. “Perspektif Orientalis Dalam Mengkaji Hadits Dan Bantahan Kaum Muslim: Perspektif Ignaz Goldziher, Joseph Franz Schacht Dan Mustafa Azami.” Riwayah : Jurnal Studi Hadis 6 (1): 103. https://doi.org/10.21043/riwayah.v6i1.6749.

Ash- Shiddieqy, Teugku Muhammad Hasby. 2009. Sejarah & Pengantar Ilmu Hadis. Ketiga. Semarang: Pustaka Rizki Putra.

Azami, Muhammad Musthafa. 2004. Menguji Keaslian Hadits-Hadits Hukum: Sanggahan Atas The Origins of Muhammadan Jurisprudence Joseph Schacht. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Fauzi, M. Ihsan. 2023. “Joseph Schacht Dan Teori-Teori Skeptisisme Tentang Hadis Serta Bantahan Terhadapnya.” Al-Afkar 6 (1). https://doi.org/https://doi.org/10.31943/afkarjournal.v6i1.384.

Idri. 2017. Hadis Dan Orientalis: Perspektif Ulama Hadis dan Para Orientalis Tentang Hadis Nabi. Depok: Kencana.

Masrur, Ali. 2007. Teori Common Link G.H.A Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadits. Yogyakarta: LKiS.

———. 2016. “Penerapan Metode Tradition-Historical Dalam Muṣannaf ‘Abd Al-Razzāq Al-Ṣan‘Ānī Dan Implikasinya Terhadap Persoalan Dating Hadis Dan Perkembangan Fikih Mekkah.” Jurnal THEOLOGIA 24 (1): 175–200. https://doi.org/10.21580/teo.2013.24.1.320.

Motzki, Harald. 2000. The Biography of Muhammad: The Issue of the Sources. Leiden: Boston Kaln Brill.

———. 2002. The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan Fiqh before the Classical Schools. Leiden: Boston Koln.

———. 2005. “Dating Muslim Traditions: A Survey.” Arabica 52 (2): 204–53. http://www.jstor.org/stable/4057795.

Mustaqim, Abdul. 2002. Teori Sistem Isnad Dan Otentisitas Hadis Menurut Perspektif Muhammad Mustafa Azami, Wacana Studi Hadis Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Schacht, Joseph. 2010. The Origins of Muhammadan Jurisprudence: Tentang Asal Usul Hukum Islam Dan Masalah Otentisitas Sunah. Yogyakarta: Insan Madani.

Sumbulah, Umi. 2017. Kajian Kritis Ilmu Hadits. Malang: UIN Maliki Press.

Syarifuddin, Syarifuddin, and Moh Zaiful Rosyid. 2019. “Persoalan Otentitas Hadis Perspektif Ignaz Golziher.” Al Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan Dan Kemasyarakatan 3 (2): 193. https://doi.org/10.35931/aq.v3i2.158.

Wazna, Ruhama. 2018. “Metode Kontemporer Menggali Otentisitas Hadis ( Kajian Pemikiran Harald Motzki ).” Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin 17 (2): 112. https://doi.org/10.18592/jiu.v17i2.2243.

Zuhri, Muh. 2015. “Perkembangan Kajian Hadis Kesarjanaan Barat.” Ulul Albab Jurnal Studi Islam 16 (2): 215. https://doi.org/10.18860/ua.v16i2.3182.

Baca juga:
Labels : #Mahasiswa ,#Opini ,
Menunggu informasi...

Posting Komentar