Dari sekian
banyak diskursus tentang hadis, tema otentisitas dan kesejarahan hadis menjadi
hal yang fundamental. Studi kesejarahan dan keotentikan hadis bertujuan untuk
membedakan antara yang asli dan palsu. Hal ini disebabkan secara teologis hadis
tidak mendapatkan jaminan dari Allah SWT atas keasliannya sebagaimana Al-Qur’an.
Problem otentisitas dipandang penting karena berkaitan dengan revitalisasi
hukum-hukum Islam, maka tidak mengherankan jika kajian hadis terus berkembang (Mustaqim 2002,
h. 68).
Membuktikan
keotentikan hadis adalah salah satu tujuan utama studi hadis, karena hanya
hadis-hadis otentiklah yang bisa dijadikan hujjah dalam Islam. Ada
kalanya ditemukan hadis yang dipalsukan oleh seseorang ataupun kelompok dengan
berbagai motif. Tidak jarang dikarenakan faktor politik, fanatisme kesukuan,
perselisihan masalah fikih dan kalam, membuat hadis demi kebaikan ataupun
mendekatkan diri pada para pembesar negara (Ash- Shiddieqy 2009, h. 191-197).
Pada pertengahan abad ke-19, sarjana Barat seperti Von Kremer dan Aloys
Sprenger mulai mempertanyakan keandalan atau konsistensi keakuratan
teks hadis yang tersusun dalam kitab-kitab hadis terhadap sumbernya.
Motzki menyebutkan bahwa studi Barat tentang Islam atau lebih
spesifik kajian kritik dari hukum Islam periode awal sebelum Ignaz
Goldziher didasarkan pada metode ushuli sebagaimana
yang digunakan oleh ulama Islam tradisional.
Langkah ini menunjukkan sarjana Barat
menerima prinsip bahwa al-Quran dan hadis menduduki posisi
sentral dalam sejarah awal Islam. Meskipun demikian beberapa sarjana
Barat mengklaim sebagian besar hadis telah dipalsukan (Motzki
2002, h. 8-10).
Metode
Otentisitas Hadis
Teori otentisitas
hadis sejak awal telah dirumuskan oleh sarjana Muslim. Hadis dikatakan otentik
melalui proses penyeleksian dua unsur pokok hadis, yaitu shahih sanad dan
shahih matan. Pada umumnya, ada lima hal yang disepakati dalam
otentikasi isnad hadis yaitu,
a. Ketersambungan sanad (ittishal al-sanad)
b. Para perawinya ‘adil
c. Para perawinya dlabith
d. Terhindar dari anomali (syadz)
e. Terhindar dari cacat yang tersembunyi (‘illat)
(’Itr 1997, h. 242-243).
Kajian tentang otentisitas hadis sarjana muslim terdahulu berfokus pada
sanad dan matan tanpa melibatkan analisis kesejarahan karena mereka memandang
hadis sebagai sumber hukum dan moral atau inspirasi keagamaan.
Hal ini berbeda
dengan sarjana Barat yang menganggap hadis sebagai sumber rekonstruksi sejarah
memfokuskan penelitian keontetikannya pada kesejarahan hadis. Penelitian
historisitas sebuah hadis mengusung penggunaan metode penanggalan (dating).
Menurut
Kamaruddin Amin, definisi teori dating ialah: “teori yang digunakan
untuk menaksir umur dan asal muasal sebuah sumber (dating document)
sejarah melalui metode kritik sejarah modern berupa kritik sumber (source criticism)
yang bertujuan untuk merekonstruksi peristiwa masa awal Islam (Idri 2017, h. 221).
Sedangkan
Harald Motzki menyebut bahwa dating (penanggalan) merupakan salah satu penelitian sejarah
yang ditujukan untuk menentukan asal muasal sumber sejarah. Jika kemudian
terbukti bahwa penunjukkan yang dibuat oleh sejarawan ke data historis tidak
benar, maka semua premis, teori, dan kesimpulan yang dibuat berdasarkan data
historis tidak valid. Motzki menjadikan teori ini sebagai dasar epistemologi
untuk merekonstruksi sejarah awal Islam (Masrur 2016, h. 185).
Motzki mengklasifikasikan
penelitian penanggalan hadis berdasarkan basis yang dipakai menjadi 4 kelompok (Motzki 2005, h.
206):
1. Methods which use the matn (Penanggalan berbasis analisis matan),
diterapkan oleh Ignaz Goldziher dan Marston Speight.
2. Dating on the basis of the collections
where traditions appear (Penanggalan berdasarkan kitab-kitab koleksi hadis), digunakan oleh
Joseph F. Schacht G.H.A. Juynboll
3. Dating on the basis of the isnad (Penanggalan yang berbasis sanad),
diterapkan oleh Joseph F. Schacht G.H.A. Juynboll
4. Methods using matn and isnad (Penanggalan berbasis analisis sanad dan
matan), digunakan oleh Harald Motzki dan G. Schoeler.
Ignaz
Goldziher (1850-1921)
Ignaz
Goldziher pertama kali melakukan penanggalan hadis berdasarkan matan dalam
tulisannya yang berjudul “Ueber die Entwicklung des Hadith”, yang diterbitkan
pada 1890 pada jilid kedua dari Muhammedanische Studien. Dalam
artikelnya disebutkan adanya kajian fundamental hadis yang disebut isnad
namun tidak disebutkan secara lebih lanjut. Pernyataannya tentang asal-usul
hadis semata-mata didasarkan pada matan dan kriteria lainnya.
Menurutnya,
redaksi hadis yang diriwayatkan oleh para perawi hadis dinilai tidak akurat,
karena mereka lebih menitikberatkan pada aspek maknawi saja sehingga para ahli
bahasa menolak menerima periwayatan hadis disebabkan susunan bahasananya
tergantung pada pendapat perawinya (Syarifuddin and
Rosyid 2019, h. 201).
Goldziher
mendasarkan penanggalan umum hadisnya dengan beberapa indikasi yang
memungkinkan adanya fabrikasi atau pemalsuan hadis yang dapat mempengaruhi
keotentikan hadis sebagai sumber sejarah adalah sebagai berikut:
1. Adanya perdebatan politik dan perselisihan
agama di dalam komunitas Islam yang baru lahir. Dia mencontohkan dengan
menyebut dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang merupakan dorongan bagi muslim
dalam menciptakan kesalehan mereka sendiri.
2. Hadis lain muncul ketika Abbasiyah (132-656
H/750-1258 M) mengambil alih kekhalifahan pada abad kedua. Ini menyebabkan
dorongan para cendikiawan untuk “produksi” hadis.
3. Selama paruh kedua abad kedua hijriah banyak
tradisi muncul dari perselisihan antara ahl al-ra’y dan ashab
al-hadis.
4. Banyak hadis terdistorsi dikarenakan
berbagai perjuangan politik dan agama. Beberapa kelompok tidak puas dengan
pemerintahan dan mengekspresikan klaim mereka dengan hadis sebagai sarana
legitimasi penentangan atau pemberontakan. Bahkan persaingan antara suku,
kalangan dan cendikiawan tidak boleh dipandang remeh menjadi asal-usul lahirnya
hadis palsu.
Joseph Franz
Schacht (1902-1969)
Schacht
merupakan seorang orientalis yang berpengaruh dalam penelitiannya mengenai
hadis. Pendekatan sejarah dan sosiologi sering digunakannya dalam penelitiannya
terhadap kajian hadis dan hukum. Buku Joseph Schacht yang terkenal adalah “The
Origin of Muhammad Jurisprudence, An Introduction to Islamic Law” dan “Pre
Islamic Background and Early Development of Jurisprudence” (Fauzi 2023, h. 15).
Berbeda
halnya dengan Goldziher yang memfokuskan kajian pada kritik matan, Schacht
lebih tertarik pada kajian isnad. Sistem isnad merupakan kajian utama yang
menjadi fokus penting baginya. Dia menganggap sistem isnad yang berupa rantai
periwayatan yang sampai kepada Rasulullah itu palsu. Oleh sebab itu, pandangan
Schacht terhadap sistem isnad itu sebagai berikut:
1) Sistem isnad muncul pada abad
pertama dan abad kedua.
2) Isnad-isnad ditempatkan secara tidak beraturan dan
terkesan seenaknya bagi mereka yang bermaksud untuk memproyeksikan ke belakang
dogma mereka hingga sampai pada sumber terdahulu.
3) Pemalsuan terhadap isnad itu
meningkat disertai dengan melengkapi isnad-isnad yang memiliki
kekurangan di era koleksi dahulu.
4) Pada masa al-Syafi’i beberapa sumber
tambahan diciptakan untuk menolak hadis-hadis yang dilacak kebelakang sampai
pada satu sumber. Begitupun dengan isnad-isnad keluarga dan materi yang
ada di dalamnya itu adalah palsu.
5) Adanya common narrator dalam rantai
periwayatan tersebut membuktikan bahwa hadis itu berasal dari masa para perawi
tersebut (Azami 2004, h. 233).
Selanjutnya,
Schacht membangun beberapa teori untuk membuktikan argumennya tentang hadis
nabi yang telah dipalsukan, yaitu:
a. Teori Projecting Back: digunakan
untuk menelusuri otentisitas dan asal mula hadis yang didasari perkembangan
sanad dalam tradisi para muhaddits.
b. Teori Argumentum E Silentio: yang
digunakan oleh Schacht bertujuan untuk meyakinkan ketiadaan beberapa riwayat
dalam literatur hadis. Menurutnya, kritik kualitas hadis baik shahih atau
tidaknya dapat dilihat dari eksistensi hadis tersebut pada masa tertentu,
ataupun dapat dilihat dari penggunaan hadis sebagai sumber referensi yang
dijadikan dalil dalam diskusi maupun rujukan penerapan suatu kebijakan hukum (Anusantari 2020, h. 118-19)(Anusantari 2020, h. 118-119).
c. Teori Common Link: Teori ini menganggap bahwa seorang common link itu
memiliki tanggung jawab atas munculnya sebuah
hadis, yang mana pada dirinya lah segala sanad akan terkumpul. Schacht mengatakan istilah common link ini
merupakan perawi yang menghubungkan segala isnad dalam
sebuah hadis. menurutnya munculnya sebuah hadis itu berdasarkan eksistensi dari seorang common
link yang terindikasi sangat
signifikan
dalam sanad-sanad hadis tersebut.(Schacht 2010, h. 262)
Gualtherus
Hendrik Albert Juynboll (1935-2010)
Juynboll
adalah pengembang dari teori common link yang digagas oleh Schacht
dimana dalam pengembangannya dia menambahkan beberapa istilah baru dalam teori
ini:
1) Single Strand (jalur tunggal), yaitu sebuah
rantai isnad yang hanya memiliki jalur tunggal.
2) Partial Common Link (PCL), yaitu periwayat yang
menerima hadis dari seorang (atau lebih) guru yang berstatus sebagai common
link, kemudian menyampaikannya kepada (minimal) dua orang murid.
3) Inverted Partial Common Link (IPCL), kebalikan dari PCL
yaitu periwayat yang menerima hadis lebih dari seorang guru dan kemudian
menyampaikannya kepada (jarang lebih dari) seorang murid.
4) Fulan, yaitu para periwayat hadis yang
menerima riwayat dari seorang guru dan kemudian menyampaikannya hanya kepada
satu orang murid.
5) Diving Strand (jalur yang menyelam), yaitu
bila ditemukan adanya sebuah jalur isnad yang tidak bertemu dengan isnad
lainnya yang lebih dalam di tingkat tabi’in atau sahabat. Ditandai dengan huruf
“d”
6) Seeming Common Link (seolah-olah common link),
yaitu periwayat yang kelihatannya mempunyai dua murid (PCL) atau lebih, namun
mereka hanya mempunyai satu murid, maka tidak dianggap sebagai common link.
7) Inverted Common Link (ICL), yaitu terdapat berbagai
jalur tunggal yang berasal dari saksi yang berbeda-beda, dan pada gilirannya
masing-masing akan menyampaikan kepada seorang murid hingga bersatu pada ICL
8) Spider (jalur laba-laba), yaitu sebuah sistem isnad
yang terdiri dari berbagai jalur tunggal, namun tidak ada seorang periwayat
pun yang memiliki lebih dari seorang murid.
Gambar 1: Contoh Jalur Sanad
Harald
Motzki (1948-2019)
Harald
Motzki adalah seorang orientalis tradisionalis yang membantah pendukung madzab
skeptis atau revisionis. Ia mengkritik metode, premis dan kesimpulan mereka. Sebagai seorang pakar studi Islam dalam kajian transmisi hadits, Motzki
melalui berbagai karyanya memberikan argumen-argumen yang spektakuler, ia
menggunakan teori dating dan isnad cum matn, sehingga dapat meruntuhkan teori-teori pendahulunya (Wazna 2018, h. 117).
Awal mula
pengembangan teori analisis isnad cum matn, Motzki terlebih dahulu
menelaah teori common link yang digagas oleh Schacht dan dikembangkan
oleh Juynboll. Keduanya yang menyimpulkan bahwa isnad yang timbul
belakangan adalah otentik sedangkan isnad bagian awal (backward)
kepada Nabi adalah palsu karena common link didefinisikan sebagai
periwayat yang menjadi pusat penyebaran hadis. sedangkan Motzki mendefinisikan common
link sebagai berikut:
”The
common link, i.e. the first systematic collectors, who wrote down the
traditions of the 1 century
and
transmitted them in circles of learning (“lectures”),revealed in the isnad from
whom (i.e. from which companion or successor) they
had received a particular tradition and – if he was a successor- from who, he
in turn had allegedly received it”
(Masrur
2007, h. 177).
“Common link merupakan kolektor sistematis
pertama yang menuliskan hadis pada abad pertama, kemudian hadis itu dia
sampaikan kepada murid-muridnya. Maka dalam isnad akan terungkap dari
siapa hadis itu diterima dan -jika ia sebagai seorang periwayat hadis- maka
siapa saja yang menerimanya.”
Kemudian
yang menjadi kritikan terhadap common link Schacht dan Juynboll mengenai
Single Strand (jalur periwayatan tunggal) yang mengindikasikan bahwa isnad
tunggal dari tokoh common link ke atas (sahabat dan Nabi), maka
kepalsuan isnad tidak dapat dielakkan (Zuhri 2015, h.
226).
Berbeda halnya
menurut Motzki, hal itu wajar saja terjadi dengan alasan bahwa jika periwayatan
dilacak dari bawah (kolektor), sering kali seorang murid menerima informasi
bersama beberapa orang dari generasi sebelumnya. Hanya saja pertimbangan untuk
penyebutan guru yang paling handal (otoritatif), begitu pula sebaliknya. Ibarat
penerimaan dan periwayatan berita publik (seperti bencana alam) dari seseorang
yang paling kita percaya tanpa menyebutkan orang selainnya.(Motzki 2005, h. 240)
Kembali
kepada isnad cum matn analysis, yang lebih dikenal dengan teori Motzki
ini terdiri dari beberapa langkah:
a. Mengumpulkan sebanyak mungkin varian hadis
yang dilengkapi dengan isnad
b. Menghimpun seluruh jalur isnad untuk
mendeteksi common link dalam generasi periwayat yang berbeda-beda.
Dengan dua langkah ini, hipotesis mengenai sejarah periwayatan hadis mungkin
diformulasikan.
c. Membandingkan teks-teks
dari berbagai varian itu untuk mencari hubungan dan perbedaan, baik dalam struktur maupun
susunan lafalnya. Langkah ini juga
memungkinkan
untuk membuat suatu rumusan tentang sejarah periwayatan dari hadits yang dibicarakan
d. Membandingkan hasil analisis
isnad dan matan. Sehingga dapat disimpulkan kapan dan dimana hadis yang dibicarakan itu
disebarkan dan juga siapa yang bertanggung jawab atas
perubahan itu? Jika terjadi perbedaan dalam hasil analisis isnad dan matan; dalam arti
jika isnad hadits menunjukkan adanya hubungan antara berbagai varian namun masing-masing matan (teks)
dari hadits itu tidak menunjukkan hal yang sama, maka
dapat disimpulkan bahwa baik isnad maupun matan hadits sama-sama cacat, baik karena
kecerobohan para periwayat maupun
karena
perubahan-perubahan yang disengaja. Pendekatan seperti ini dapat dikatakan sebagai pendekatan sejarah (historical
approach) (Motzki
2000, h. 174-75).
Kesimpulan Motzki diatas tidak jauh berbeda dengan sajian sejarah yang
terdapat dalam sumber-sumber biografi atau kutub al-rijal dan kutub
al-thabaqat. Akan tetapi kesimpulan ini didasarkan pada analisa teks bukan
pada literatur biografi.
Metode
ini masih bergantung kepada kemampuan peneliti untuk mengumpulkan seluruh jalur
periwayatan dan sanad dengan berbagai variasinya, serta persepsi dan interpretasi
peneliti terhadap sanad dan matan hadits tersebut. Skeptisisme terhadap reliabilitas
hadits akan bergantung kepada tesis awal yang digunakan oleh peneliti.
Oleh
karena itu, Motzki mengusulkan agar para orientalis membalik tesis Schacht,
dari via negativa menjadi via positiva, yakni jika Schacht
berkata: “Semua hadits harus dianggap tidak autentik hingga terbukti
keautentikannya”, maka harus dibalik menjadi pernyataan: “Semua hadits
harus dianggap autentik kecuali jika terbukti ketidakautentikannya” (Sumbulah
2017, h. 175).
Dengan
adanya perspektif yang mendahulukan penilaian positif (via positiva)
maka akan menekan sikap skeptis terhadap hadits, sehingga metode isnad cum
matn analysis akan ideal jika didekati dengan cara seperti ini, bukan
sebaliknya.
Menurut Kamaruddin Amin, sisi lain yang dapat dikritisi dari metode ini adalah karakteristiknya yang menjadikan komentar para kritikus atau ulama hadis sebagai referensi sekunder setelah matn atau teks dari periwayat tersebut. Hal ini berarti mereduksi nilai kerja intelektual para ulama hadis mutaqaddimin, padahal secara historis mereka melihat lebih dekat situasi kesejarahan periwayatan hadits dan memahami kompleksitas periwayatan sebelum hadits mengalami kodifikasi (Wazna 2018, h. 123).
Referensi:
’Itr, Nuruddin. 1997. Manhaj Al-Naqd fi ’Ulum
Al-Hadis. Beirut: Dar al-Fikr.
Anusantari, Inama. 2020. “Perspektif Orientalis Dalam
Mengkaji Hadits Dan Bantahan Kaum Muslim: Perspektif Ignaz Goldziher, Joseph
Franz Schacht Dan Mustafa Azami.” Riwayah : Jurnal Studi Hadis 6 (1):
103. https://doi.org/10.21043/riwayah.v6i1.6749.
Ash- Shiddieqy, Teugku Muhammad Hasby. 2009. Sejarah
& Pengantar Ilmu Hadis. Ketiga. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Azami, Muhammad Musthafa. 2004. Menguji Keaslian
Hadits-Hadits Hukum: Sanggahan Atas The Origins of Muhammadan Jurisprudence
Joseph Schacht. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Fauzi, M. Ihsan. 2023. “Joseph Schacht Dan Teori-Teori
Skeptisisme Tentang Hadis Serta Bantahan Terhadapnya.” Al-Afkar 6 (1).
https://doi.org/https://doi.org/10.31943/afkarjournal.v6i1.384.
Idri. 2017. Hadis Dan Orientalis: Perspektif Ulama
Hadis dan Para Orientalis Tentang Hadis Nabi. Depok: Kencana.
Masrur, Ali. 2007. Teori Common Link G.H.A
Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadits. Yogyakarta: LKiS.
———. 2016. “Penerapan Metode Tradition-Historical
Dalam Muṣannaf ‘Abd Al-Razzāq Al-Ṣan‘Ānī Dan Implikasinya Terhadap Persoalan
Dating Hadis Dan Perkembangan Fikih Mekkah.” Jurnal THEOLOGIA 24 (1):
175–200. https://doi.org/10.21580/teo.2013.24.1.320.
Motzki, Harald. 2000. The Biography of Muhammad:
The Issue of the Sources. Leiden: Boston Kaln Brill.
———. 2002. The Origins of Islamic Jurisprudence:
Meccan Fiqh before the Classical Schools. Leiden: Boston Koln.
———. 2005. “Dating Muslim Traditions: A Survey.” Arabica
52 (2): 204–53. http://www.jstor.org/stable/4057795.
Mustaqim, Abdul. 2002. Teori Sistem Isnad Dan
Otentisitas Hadis Menurut Perspektif Muhammad Mustafa Azami, Wacana Studi Hadis
Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Schacht, Joseph. 2010. The Origins of Muhammadan
Jurisprudence: Tentang Asal Usul Hukum Islam Dan Masalah Otentisitas Sunah.
Yogyakarta: Insan Madani.
Sumbulah, Umi. 2017. Kajian Kritis Ilmu Hadits.
Malang: UIN Maliki Press.
Syarifuddin, Syarifuddin, and Moh Zaiful Rosyid. 2019.
“Persoalan Otentitas Hadis Perspektif Ignaz Golziher.” Al Qalam: Jurnal
Ilmiah Keagamaan Dan Kemasyarakatan 3 (2): 193.
https://doi.org/10.35931/aq.v3i2.158.
Wazna, Ruhama. 2018. “Metode Kontemporer Menggali
Otentisitas Hadis ( Kajian Pemikiran Harald Motzki ).” Jurnal Ilmiah Ilmu
Ushuluddin 17 (2): 112. https://doi.org/10.18592/jiu.v17i2.2243.
Zuhri, Muh. 2015. “Perkembangan Kajian Hadis Kesarjanaan Barat.” Ulul Albab Jurnal Studi Islam 16 (2): 215. https://doi.org/10.18860/ua.v16i2.3182.