Re-eksistensi Perawi Laki-Laki dan Perempuan dalam Sanad

Daftar Isi [Tampilkan]
Oleh: Yeni Amalia
Mahasiswa Pascasarjana FUPI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta



Sejarah mencatat bahwa perempuan di masa Nabi selalu diberi panggung untuk belajar hadis dan meriwayatkannya. Perempuan mendapatkan posisi dan perlakuan yang sama dari Rasulullah layaknya seorang laki-laki.[1] Apabila laki-laki berperan dalam dunia publik, perempuan juga memiliki hak yang sama. Begitu juga dalam majlis kajian Rasulullah mempunyai sebuah kelompok pengajian dengan laki-laki, perempuan juga tidak mau ketinggalan hingga akhirnya Nabi ikut bersama para sahabat perempuan.[2] Akan tetapi setelah beberapa tahun Nabi wafat, mulai muncul ketimpangan. Hal tersebut terjadi akibat munculnya dominasi kaum patriarki di kalangan jazirah Arab.

Tulisan ini bertujuan untuk melihat adanya re-eksistensi perempuan dalam meriwayatkan hadis. Setidaknya tulisan ini berangkat dari tiga rumusan masalah, Pertama, bertujuan untuk menunjukkan eksistensi periwayatan perempuan dimasa Nabi. Kedua, bertujuan untuk melihat adanya perbedaan periwayatan antara laki-laki dan perempuan. Ketiga, menunjukkan sebab-sebab yang mengakibatkan menurunnya periwayatan perempuan dari masa kenabian hingga tabi’in. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah kualitatif dengan jenis penelitian library research (kajian kepustakaan). Setidaknya terdapat dua sumber yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Adapun sumber primer dalam penelitian ini ialah buku perempuan periwayat hadis karya Agung Danarta,[3] sedangkan sumber sekunder dari penelitian ini ialah dari buku-buku, artikel, dan media lainnya yang menunjang penelitian ini.

Peran Perempuan dalam Meriwayatkan Hadis di Masa Nabi

Perempuan di masa Nabi memiliki peran penting dalam meriwayatkan hadis. Hal ini dapat dibuktikan melalui kitab Musnad Ahmad bin Hanbal yang di dalamnya terdapat hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat perempuan sebanyak 125 periwayat dari 700 periwayatan hadis yang ada dalam kitab ini. Jika dibuat prosentase, jumlahnya dapat mencapai 18%. Dalam hal ini Ibn Sa’ad juga ikut berperan dalam menuliskan biografi perempuan periwayat hadis beserta hadis-hadis yang diriwayatkannya ke dalam satu jilid kitab. Selain itu, ada juga kitab al-Ishabah fi Ma’rifah al-Shahabah karya Ibn Hajar al-‘Asqalani yang memasukkan biografi periwayat perempuan didalamnya sebanyak 1.522 periwayat dari 12.267 biografi di dalamnya menurut hitungan Mahmud al-Thahhan, atau 1.551 periwayat perempuan dari 12.304 biografi menurut Ruth Roded.[4]

Sementara dalam kitab kutub al-tis’ah terdapat 328 perawi perempuan dalam kurang lebih delapan ribu hadis yang diriwayatkan, 132 diantaranya masuk sebagai kategori thabaqah sahabat. Periode ini merupakan periodisasi periwayat perempuan terbanyak dibandingkan dengan masa sesudahnya. 30 orang periwayat dari 438 periwayat dimasa tabi’in senior (thabaqah kedua), 93 periwayat perempuan dari 1.467 periwayat dimasa thabaqah ketiga, 36 orang periwayat perempuan dari 875 periwayat. Pada periode tabi’in yunior thabaqah kelima terdapat 10 orang periwayat perempuan dari 576 periwayat, thabaqah keenam 15 orang periwayat dari 1.119 orang. Pada periode atba’ tabi’in senior (thabaqah ketujuh) terdapat 11 perawi perempuan dari 943. Pada periode atba’ tabi’in pertengahan (tabaqah kedelapan, kesembilan, kesepuluh dan kesebelas) tidak ditemukan seorang pun perawi perempuan di masa itu,[5] jadi dapat disimpulkan setelah Nabi wafat kuantitas perempuan dalam meriwayatkan hadis semakin menurun.

Disebutkan dalam kitabnya al-Dzahabi bahwa dalam meriwayatkan hadis, sahabat perempuan tidak pernah ditemukan berdusta ketika bercerita. Al-Syaukani menyebutkan bahwa tidak ditemukan ulama yang menolak kabar periwayatan dari seorang perempuan hanya karena ia adalah seorang perempuan. Terdapat banyak hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sahabat perempuan yang disepakati oleh umat dan ahli hadis dapat diterima meskipun hanya sedikit. Namun setelah Nabi wafat dan memasuki generasi sahabat, tabi’in dan atba’ tabi’in periwayatan perempuan mulai tidak terlihat. Periwayatan tersebut menurun secara drastis dari yang awalnya di masa Nabi perempuan periwayat hadis yang hidup bersama Rasulullah SAW di Madinah terhitung lebih dari seribu orang, kemudian masa tabi’in berjumlah 90 perempuan yang dikemukakan dalam kitab al-Tsiqat karya Ibn Hibban. Jika dibuat prosentase, jumlah sahabat dengan tabi’in adalah 16,5% (masa sahabat) 1,9% (masa tabi’in).[6]

Peran perempuan dalam meriwayatkan hadis pada masa Nabi Muhammad SAW sangatlah penting dalam melestarikan dan menyebarkan ajaran Islam. Meskipun dalam literatur hadis yang paling dikenal mayoritas perawi adalah laki-laki, beberapa perempuan juga berperan dalam meriwayatkan hadis. Perempuan memiliki peran penting dalam meriwayatkan hadis yaitu Pertama, menghadiri pengajaran Nabi. Beberapa perempuan yang tinggal di zaman Nabi Muhammad SAW secara langsung mendengarkan pengajaran dan hadis yang disampaikan oleh Nabi. Mereka kemudian menyampaikan hadis-hadis ini kepada orang lain.

Kedua, meriwayatkan hadis dari Nabi secara langsung, salah satunya ialah Aisyah RA. merupakan perawi hadis perempuan yang paling terkenal. Dia meriwayatkan banyak hadis yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dan praktek-praktek Nabi. Ketiga, Memberikan Komentar dan penjelasan untuk membantu dalam memahami konteks makna hadis. Keempat, Memberikan perspektif yang berbeda (unik) dalam meriwayatkan hadis karena mereka dapat fokus pada aspek-aspek khusus yang relevan dengan kehidupan perempuan, seperti perkawinan, keluarga, dan masalah-masalah lain yang mungkin tidak tercakup dengan baik dalam hadis yang diriwayatkan oleh laki-laki.[7]

Perbedaan Perawi Laki-Laki dan Perempuan dalam Meriwayatkan Hadis

Dalam kajian hadis, ada lima kaidah yang menjadi syarat diterimanya sebuah hadis yaitu hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dlabith dan tidak terdapat kejanggalan dan cacat.[8] Dalam pengertian kaidah hadis tersebut tidak ditemukan adanya kaidah yang membedakan antara periwayat hadis laki-laki dan perempuan dari sudut pandang gender.[9] Meskipun tradisi Arab dikenal sangat patriarki, tidak menjadi masalah untuk perempuan dalam meriwayatkan hadis. Hal ini juga menjadi bukti akan kepedulian perempuan dalam transmisi pengetahuan dalam Islam.

Pada masa Nabi, majlis dan kajian-kajian keislaman tidak hanya dihadiri oleh laki-laki tetapi juga banyak dari kalangan perempuan yang turut andil dalam mempelajari hadis-hadis Nabi, mereka juga aktif dalam bertanya, baik itu persoalan keislaman maupun kemasyarakatan.[10] Meskipun peran perempuan cukup mewarnai perjalanan masyarakat muslim awal terutama dimasa kenabian. Sistem patriarki menjadi pengaruh yang signifikan bagi periwayatan perempuan dimasa itu, dibangun atas nilai-nilai lokal yang bersumber dari ajaran agama yang mempengaruhi nilai-nilai budaya lokal Arab. Silsilah keturunan bangsa Arab yang ditentukan dari ayah menjadikan peran itu lebih besar diberikan kepada laki-laki. Perempuan hanya mendapatkan peran yang tidak menonjol dalam masyarakat sedangkan laki-laki berperan cukup baik dalam kemasyarakatan. Laki-laki ditujukan sebagai pencari nafkah dan melindungi keluarga sedangkan perempuan hanya berperan dalam urusan reproduksi seperti mengurus anak dan menyiapkan makanan untuk keluarganya. Sehingga laki-laki memonopoli kepemimpinan dalam semua tingkatan, mulai dari kepala suku, keluarga dan persekutuan antara beberapa kabilah. Mereka juga mendapatkan kesempatan belajar yang lebih besar dan memperoleh prestasi dan prestise di masyarakat.[11]

Dalam tradisi Islam baik laki-laki maupun perempuan memiliki peran dalam meriwayatkan hadis. Namun ada beberapa faktor yang dapat membedakan peran keduanya yaitu: pertama konteks sosial, pada masa Nabi Muhammad SAW perempuan memiliki peran yang lebih cenderung berfokus pada rumah tangga dan kehidupan keluarga terdapat batasan-batasan bagi perempuan yang tidak semuanya dapat diakses dan jika diamati pun hadis yang diriwayatkan oleh perawi perempuan biasanya berkaitan dengan rumah tangga dan kehidupan sehari-hari. sedangkan laki-laki lebih memiliki akses yang lebih luas lagi karena sistem patriarki Arab yang lebih membebaskan laki-laki dalam melakukan berbagai hal.

Kedua keterlibatan dalam kehidupan Nabi. Meskipun Aisyah misalnya memiliki akses langsung ke kehidupan sehari-hari Nabi Muhammad SAW dan dapat meriwayatkan hadis-hadis yang berkaitan dengan situasi-situasi spesifik dan kejadian-kejadian tertentu namun laki-laki atau sahabat yang lain lebih luas lagi dikarenakan Nabi pun sering berdakwah dalam dunia publik.

Ketiga kemampuan Memahami dan Menghafal. Perempuan memiliki kemampuan hafalan yang luar biasa sehingga mereka juga dapat berperan dalam menyimpan dan menyampaikan hadis sedangkan laki-laki juga memiliki kemampuan yang hampir sama utamanya sahabat yang memiliki niat dan ketekunan tinggi dalam mempelajari hadis Nabi. Akan tetapi jika ditelusuri antara keduanya yang paling banyak meriwayatkan hadis dhaif adalah dari kalangan laki-laki baik itu karena kebutuhan politik dan yang lainnya.

Keempat pengaruh budaya dan kontekstual peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat dan budaya pada masa itu dapat mempengaruhi cara mereka meriwayatkan hadis. Beberapa perempuan mungkin lebih aktif dalam konteks kerumahtanggaan sementara laki-laki dalam konteks lebih luas, baik ibadah, peperangan, jihad dan lainnya.[12]

Faktor yang Mempengaruhi Menurunnya Jumlah Perempuan dalam Periwayatan Hadis

Dalam karyanya, Fatima Mernissi disebutkan bahwa faktor yang menjadi penyebab menurunnya kontribusi perempuan dalam meriwayatkan hadis yang dilihat dari setiap generasi mencakup beberapa faktor diantaranya: pertama sikap penguasa/khalifah terutama pada masa dinasti Umayyah dimana pada masa itu sistem pemerintahannya masih seperti kerajaan bukan kekhalifahan, sehingga banyak umat Islam yang berfikir bahwa seorang khalifah lebih dominan memprioritaskan kepentingan pribadi dari pada negara dan rakyatnya.[13] Pada masa khalifah Abu Bakar dan ‘Umar bin al-Khaththab menyuarakan agar umat Islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadis dan meminta sahabat agar menyelidiki periwayatan hadis.

Kemudian masa periode ‘Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib menyerukan agar tidak meriwayatkan hadis yang tidak pernah didengar pada masa Abu Bakar dan ‘Umar. Pada masa Mu’awiyah sampai akhir abad pertama, perempuan masih diberi kebebasan dalam meriwayatkan hadis, hingga pada masa khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz memerintahkan kepada para gubernurnya untuk membukukan seluruh hadis. Pada masa kekhalifahan al-Ma’mun (198-218/813-833 M.) terdapat pertentangan antara golongan Mu’tazilah dan ahli hadis. Al-Ma’mun mengambil thesis Mu’tazilah yang menyebutkan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk baru bukan bagian dari dzat Tuhan. Hal tersebut memaksa para ulama untuk membenarkan doktrin ini, jika tidak diberi mihnah (pengadilan /penganiayaan). Dengan demikian, zaman tersebut menjadi akhir bagi perempuan dalam meriwayatkan hadis dan menimbulkan trauma bagi kemunculan perempuan sebagai periwayat hadis.[14]

 Kedua kejahiliahannya para wanita yang disebabkan kultur umat Islam pada abad pertengahan tidak memberikan wadah terhadap perempuan untuk belajar atau lebih progresif. Ketiga munculnya hadis-hadis palsu yang menyudutkan peran perempuan (misoginis) seperti perempuan merupakan sumber fitnah, perempuan adalah aurat, Jihad perempuan di dalam rumah dan lainnya. Keempat munculnya penamaan sikap dan sifat dari Barat (kaum orientalis) yang berusaha menyerang perempuan melalui pendidikan dan media massa. Mereka mengatakan bahwa Islam tidak menghormati perempuan, serta menanamkan benih-benih feminisme dan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan dan kemerdekaan perempuan berdasarkan perasaan dan fisik.

Kesimpulan

Di masa Nabi, kesempatan untuk meriwayatkan hadis bagi perawi laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama. Kriteria keshahihan hadis tidak ditemukan adanya dominasi peran gender didalamnya. Adil dan dlabith merupakan salah satu diterimanya kehujjahan hadis, baik itu yang meriwayatkan laki-laki maupun perempuan. Pada masa Nabi, kehadiran perempuan dalam majlis ilmu juga merupakan hal yang biasa dilakukan. Tercatat 328 perawi perempuan dalam kurang lebih delapan ribu hadis yang diriwayatkan oleh perempuan dalam kutub al-tis’ah serta aktivitas mereka terekam dalam hadis-hadis yang diriwayatkan. Namun setelah Nabi wafat kuantitas perempuan dalam meriwayatkan hadis semakin menurun. Hal ini didasari oleh beberapa faktor yaitu; 1) sikap penguasa/khalifah terutama pada masa dinasti Umayyah yang bersifat seperti kerajaan; 2) kejahiliahannya para wanita yang disebabkan kultur umat Islam pada abad pertengahan tidak memberikan wadah terhadap perempuan untuk belajar atau lebih progresif; 3) munculnya hadis-hadis palsu yang menyudutkan peran perempuan (misoginis); 4) munculnya penamaan sikap dan sifat dari barat (kaum orientalis) yang berusaha menyerang perempuan melalui pendidikan dan media massa.



[1] Zunly Nadis, Sahabat Perempuan Dan Periwayatan Hadis: Kajian Atas Subyektifitas Sahabat Perempuan Dalam Meriwayatkan Hadis (Yogyakarta: Disertasi Program doktor (S3), 2019).

[2] Agung Danarta, Perempuan Periwayat Hadis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), Hal. 312.

[3] Agung Danarta, “Perempuan Periwayat Hadis dalam Al-Kutub Al-Tis’ah” (UIN Sunan Kalijaga, 2007).

[4] Umma Farida, “Perempuan Periwayat Hadis-Hadis Hukum Dalam Kitab Bulugh Al-Maram Karya Imam Ibn Hajar Al-Asqalani,” Riwayah: Jurnal Studi Hadis 2, no. 1 (2016).

[5] Danarta, “Perempuan Periwayat Hadis dalam Al-Kutub Al-Tis’ah, Hal. 5”

[6] Danarta, Hal 7.

              [7] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992).

[8] Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis Dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1988).

[9] Zunly Nadia, “Sahabat Perempuan dan Periwayatan Hadis (Kajian Atas Subyektifitas Sahabat Perempuan Dalam Meriwayatkan Hadis)” (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2019).

[10] Danarta, “Perempuan Periwayat Hadis dalam Al-Kutub Al-Tis’ah.”

[11] Abdullah, Dari Domestik Ke Publik: Jalan Panjang Pencarian Identitas Perempuan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan pusan penelitian kependudukan UGM, 1997). Hal. 4.

              [12] Farida, “Perempuan Periwayat Hadis-Hadis Hukum Dalam Kitab Bulugh Al-Maram Karya Imam Ibn Hajar Al-Asqalani.”

              [13] Danarta, Perempuan Periwayat Hadis.

              [14] Danarta.


Baca juga:
Labels : #Mahasiswa ,#Opini ,
Menunggu informasi...

Posting Komentar