Sejarah
mencatat bahwa perempuan di masa Nabi selalu diberi panggung untuk belajar
hadis dan meriwayatkannya. Perempuan mendapatkan posisi dan perlakuan yang sama
dari Rasulullah layaknya seorang laki-laki.[1]
Apabila laki-laki berperan dalam dunia publik, perempuan juga memiliki hak yang
sama. Begitu juga dalam majlis kajian Rasulullah mempunyai sebuah kelompok
pengajian dengan laki-laki, perempuan juga tidak mau ketinggalan hingga
akhirnya Nabi ikut bersama para sahabat perempuan.[2]
Akan tetapi setelah beberapa tahun Nabi wafat, mulai muncul ketimpangan. Hal
tersebut terjadi akibat munculnya dominasi kaum patriarki di kalangan jazirah
Arab.
Tulisan ini
bertujuan untuk melihat adanya re-eksistensi perempuan dalam meriwayatkan
hadis. Setidaknya tulisan ini berangkat dari tiga rumusan masalah, Pertama,
bertujuan untuk menunjukkan eksistensi periwayatan perempuan dimasa Nabi. Kedua,
bertujuan untuk melihat adanya perbedaan periwayatan antara laki-laki dan
perempuan. Ketiga, menunjukkan sebab-sebab yang mengakibatkan menurunnya
periwayatan perempuan dari masa kenabian hingga tabi’in. Metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini ialah kualitatif dengan jenis penelitian library
research (kajian kepustakaan). Setidaknya terdapat dua sumber yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Adapun sumber
primer dalam penelitian ini ialah buku perempuan periwayat hadis karya Agung
Danarta,[3]
sedangkan sumber sekunder dari penelitian ini ialah dari buku-buku, artikel,
dan media lainnya yang menunjang penelitian ini.
Peran Perempuan dalam Meriwayatkan Hadis di Masa Nabi
Perempuan di
masa Nabi memiliki peran penting dalam meriwayatkan hadis. Hal ini dapat
dibuktikan melalui kitab Musnad Ahmad bin Hanbal yang di dalamnya
terdapat hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat perempuan sebanyak 125
periwayat dari 700 periwayatan hadis yang ada dalam kitab ini. Jika dibuat prosentase,
jumlahnya dapat mencapai 18%. Dalam hal ini Ibn Sa’ad juga ikut berperan dalam
menuliskan biografi perempuan periwayat hadis beserta hadis-hadis yang
diriwayatkannya ke dalam satu jilid kitab. Selain itu, ada juga kitab al-Ishabah
fi Ma’rifah al-Shahabah karya Ibn Hajar al-‘Asqalani yang memasukkan
biografi periwayat perempuan didalamnya sebanyak 1.522 periwayat dari 12.267
biografi di dalamnya menurut hitungan Mahmud al-Thahhan, atau 1.551 periwayat
perempuan dari 12.304 biografi menurut Ruth Roded.[4]
Sementara dalam
kitab kutub al-tis’ah terdapat 328
perawi perempuan dalam kurang lebih delapan ribu hadis yang diriwayatkan, 132
diantaranya masuk sebagai kategori thabaqah
sahabat. Periode ini merupakan periodisasi periwayat perempuan terbanyak
dibandingkan dengan masa sesudahnya. 30 orang periwayat dari 438 periwayat
dimasa tabi’in senior (thabaqah
kedua), 93 periwayat perempuan dari 1.467 periwayat dimasa thabaqah ketiga, 36 orang periwayat perempuan dari 875 periwayat.
Pada periode tabi’in yunior thabaqah
kelima terdapat 10 orang periwayat perempuan dari 576 periwayat, thabaqah keenam 15 orang periwayat dari
1.119 orang. Pada periode atba’ tabi’in senior (thabaqah ketujuh) terdapat 11 perawi perempuan dari 943. Pada
periode atba’ tabi’in pertengahan (tabaqah kedelapan, kesembilan, kesepuluh dan
kesebelas) tidak ditemukan seorang pun perawi perempuan di masa itu,[5] jadi dapat disimpulkan setelah Nabi wafat kuantitas perempuan dalam meriwayatkan
hadis semakin menurun.
Disebutkan
dalam kitabnya al-Dzahabi bahwa dalam meriwayatkan hadis, sahabat perempuan
tidak pernah ditemukan berdusta ketika bercerita. Al-Syaukani menyebutkan bahwa
tidak ditemukan ulama yang menolak kabar periwayatan dari seorang perempuan
hanya karena ia adalah seorang perempuan. Terdapat banyak hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh sahabat perempuan yang disepakati oleh umat dan ahli hadis
dapat diterima meskipun hanya sedikit. Namun
setelah Nabi wafat dan memasuki generasi sahabat, tabi’in dan atba’ tabi’in
periwayatan perempuan mulai tidak terlihat. Periwayatan tersebut menurun secara
drastis dari yang awalnya di masa Nabi perempuan periwayat hadis yang
hidup bersama Rasulullah SAW di Madinah terhitung lebih dari seribu orang,
kemudian masa tabi’in berjumlah 90 perempuan yang dikemukakan dalam kitab al-Tsiqat
karya Ibn Hibban. Jika dibuat prosentase, jumlah sahabat dengan tabi’in adalah
16,5% (masa sahabat) 1,9% (masa tabi’in).[6]
Peran
perempuan dalam meriwayatkan hadis pada masa Nabi Muhammad SAW sangatlah
penting dalam melestarikan dan menyebarkan ajaran Islam. Meskipun dalam literatur
hadis yang paling dikenal mayoritas perawi adalah laki-laki, beberapa perempuan
juga berperan dalam meriwayatkan hadis. Perempuan memiliki peran penting dalam
meriwayatkan hadis yaitu Pertama, menghadiri
pengajaran Nabi. Beberapa perempuan yang tinggal di zaman Nabi Muhammad SAW
secara langsung mendengarkan pengajaran dan hadis yang disampaikan oleh Nabi.
Mereka kemudian menyampaikan hadis-hadis ini kepada orang lain.
Kedua, meriwayatkan hadis dari Nabi secara langsung, salah
satunya ialah Aisyah RA. merupakan perawi hadis perempuan yang paling terkenal.
Dia meriwayatkan banyak hadis yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dan
praktek-praktek Nabi. Ketiga, Memberikan
Komentar dan penjelasan untuk membantu dalam memahami konteks makna hadis. Keempat, Memberikan perspektif yang
berbeda (unik) dalam meriwayatkan hadis karena mereka dapat fokus pada
aspek-aspek khusus yang relevan dengan kehidupan perempuan, seperti perkawinan,
keluarga, dan masalah-masalah lain yang mungkin tidak tercakup dengan baik
dalam hadis yang diriwayatkan oleh laki-laki.[7]
Perbedaan Perawi Laki-Laki dan Perempuan dalam Meriwayatkan
Hadis
Dalam kajian
hadis, ada lima kaidah yang menjadi syarat diterimanya sebuah hadis yaitu hadis
yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dlabith
dan tidak terdapat kejanggalan dan cacat.[8]
Dalam pengertian kaidah hadis tersebut tidak ditemukan adanya kaidah yang
membedakan antara periwayat hadis laki-laki dan perempuan dari sudut pandang
gender.[9]
Meskipun tradisi Arab dikenal sangat patriarki, tidak menjadi masalah untuk
perempuan dalam meriwayatkan hadis. Hal ini juga menjadi bukti akan kepedulian
perempuan dalam transmisi pengetahuan dalam Islam.
Pada masa Nabi,
majlis dan kajian-kajian keislaman tidak hanya dihadiri oleh laki-laki tetapi
juga banyak dari kalangan perempuan yang turut andil dalam mempelajari
hadis-hadis Nabi, mereka juga aktif dalam bertanya, baik itu persoalan
keislaman maupun kemasyarakatan.[10]
Meskipun peran perempuan cukup mewarnai perjalanan masyarakat muslim awal
terutama dimasa kenabian. Sistem patriarki menjadi pengaruh yang signifikan
bagi periwayatan perempuan dimasa itu, dibangun atas nilai-nilai lokal yang bersumber
dari ajaran agama yang mempengaruhi nilai-nilai budaya lokal Arab. Silsilah keturunan bangsa Arab yang
ditentukan dari ayah menjadikan peran itu lebih besar diberikan kepada
laki-laki. Perempuan hanya mendapatkan peran yang tidak menonjol dalam masyarakat
sedangkan laki-laki berperan cukup baik dalam kemasyarakatan. Laki-laki
ditujukan sebagai pencari nafkah dan melindungi keluarga sedangkan perempuan
hanya berperan dalam urusan reproduksi seperti mengurus anak dan menyiapkan
makanan untuk keluarganya. Sehingga laki-laki memonopoli kepemimpinan dalam
semua tingkatan, mulai dari kepala suku, keluarga dan persekutuan antara
beberapa kabilah. Mereka juga mendapatkan kesempatan belajar yang lebih besar
dan memperoleh prestasi dan prestise di masyarakat.[11]
Dalam
tradisi Islam baik laki-laki maupun perempuan memiliki peran dalam meriwayatkan
hadis. Namun ada beberapa faktor yang dapat membedakan peran keduanya yaitu: pertama
konteks sosial, pada masa Nabi Muhammad SAW perempuan memiliki peran yang lebih
cenderung berfokus pada rumah tangga dan kehidupan keluarga terdapat
batasan-batasan bagi perempuan yang tidak semuanya dapat diakses dan jika
diamati pun hadis yang diriwayatkan oleh perawi perempuan biasanya berkaitan
dengan rumah tangga dan kehidupan sehari-hari. sedangkan laki-laki lebih memiliki
akses yang lebih luas lagi karena sistem patriarki Arab yang lebih membebaskan
laki-laki dalam melakukan berbagai hal.
Kedua keterlibatan dalam kehidupan Nabi. Meskipun
Aisyah misalnya memiliki akses langsung ke kehidupan sehari-hari Nabi Muhammad
SAW dan dapat meriwayatkan hadis-hadis yang berkaitan dengan situasi-situasi
spesifik dan kejadian-kejadian tertentu namun laki-laki atau sahabat yang lain
lebih luas lagi dikarenakan Nabi pun sering berdakwah dalam dunia publik.
Ketiga kemampuan Memahami dan Menghafal. Perempuan
memiliki kemampuan hafalan yang luar biasa sehingga mereka juga dapat berperan
dalam menyimpan dan menyampaikan hadis sedangkan laki-laki juga memiliki
kemampuan yang hampir sama utamanya sahabat yang memiliki niat dan ketekunan
tinggi dalam mempelajari hadis Nabi. Akan tetapi jika ditelusuri antara
keduanya yang paling banyak meriwayatkan hadis dhaif adalah dari kalangan
laki-laki baik itu karena kebutuhan politik dan yang lainnya.
Keempat pengaruh budaya dan kontekstual peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat dan budaya pada masa itu dapat mempengaruhi cara mereka meriwayatkan hadis. Beberapa perempuan mungkin lebih aktif dalam konteks kerumahtanggaan sementara laki-laki dalam konteks lebih luas, baik ibadah, peperangan, jihad dan lainnya.[12]
Faktor yang Mempengaruhi Menurunnya Jumlah Perempuan dalam Periwayatan Hadis
Dalam karyanya, Fatima Mernissi disebutkan bahwa faktor yang menjadi
penyebab menurunnya kontribusi perempuan dalam meriwayatkan hadis yang dilihat
dari setiap generasi mencakup beberapa faktor diantaranya: pertama sikap
penguasa/khalifah terutama pada masa dinasti Umayyah dimana pada masa itu
sistem pemerintahannya masih seperti kerajaan bukan kekhalifahan, sehingga
banyak umat Islam yang berfikir bahwa seorang khalifah lebih dominan
memprioritaskan kepentingan pribadi dari pada negara dan rakyatnya.[13]
Pada masa khalifah Abu Bakar dan ‘Umar bin al-Khaththab menyuarakan agar umat
Islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadis dan meminta sahabat agar menyelidiki
periwayatan hadis.
Kemudian masa periode ‘Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib
menyerukan agar tidak meriwayatkan hadis yang tidak pernah didengar pada masa
Abu Bakar dan ‘Umar. Pada masa Mu’awiyah sampai akhir abad pertama, perempuan masih
diberi kebebasan dalam meriwayatkan hadis, hingga pada masa khalifah ‘Umar bin ‘Abdul
‘Aziz memerintahkan kepada para gubernurnya untuk membukukan seluruh hadis. Pada
masa kekhalifahan al-Ma’mun (198-218/813-833 M.) terdapat pertentangan antara golongan
Mu’tazilah dan ahli hadis. Al-Ma’mun mengambil thesis Mu’tazilah yang
menyebutkan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk baru bukan bagian dari dzat Tuhan. Hal
tersebut memaksa para ulama untuk membenarkan doktrin ini, jika tidak diberi mihnah
(pengadilan /penganiayaan). Dengan demikian, zaman tersebut menjadi akhir bagi
perempuan dalam meriwayatkan hadis dan menimbulkan trauma bagi kemunculan
perempuan sebagai periwayat hadis.[14]
Kedua kejahiliahannya para wanita yang disebabkan kultur umat Islam pada abad pertengahan tidak memberikan wadah terhadap perempuan untuk belajar atau lebih progresif. Ketiga munculnya hadis-hadis palsu yang menyudutkan peran perempuan (misoginis) seperti perempuan merupakan sumber fitnah, perempuan adalah aurat, Jihad perempuan di dalam rumah dan lainnya. Keempat munculnya penamaan sikap dan sifat dari Barat (kaum orientalis) yang berusaha menyerang perempuan melalui pendidikan dan media massa. Mereka mengatakan bahwa Islam tidak menghormati perempuan, serta menanamkan benih-benih feminisme dan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan dan kemerdekaan perempuan berdasarkan perasaan dan fisik.
Kesimpulan
Di masa Nabi, kesempatan untuk meriwayatkan hadis bagi perawi laki-laki
dan perempuan memiliki hak yang sama. Kriteria keshahihan hadis tidak ditemukan
adanya dominasi peran gender didalamnya. Adil dan dlabith merupakan
salah satu diterimanya kehujjahan hadis, baik itu yang meriwayatkan laki-laki
maupun perempuan. Pada masa Nabi, kehadiran perempuan dalam majlis ilmu juga
merupakan hal yang biasa dilakukan. Tercatat 328 perawi perempuan dalam kurang
lebih delapan ribu hadis yang diriwayatkan oleh perempuan dalam kutub
al-tis’ah serta aktivitas mereka terekam dalam hadis-hadis yang
diriwayatkan. Namun setelah Nabi wafat kuantitas perempuan dalam meriwayatkan
hadis semakin menurun. Hal ini didasari oleh beberapa faktor yaitu; 1) sikap penguasa/khalifah terutama pada masa
dinasti Umayyah yang bersifat seperti kerajaan; 2) kejahiliahannya para wanita
yang disebabkan kultur umat Islam pada abad pertengahan tidak memberikan wadah
terhadap perempuan untuk belajar atau lebih progresif; 3) munculnya hadis-hadis
palsu yang menyudutkan peran perempuan (misoginis); 4) munculnya penamaan sikap
dan sifat dari barat (kaum orientalis) yang berusaha menyerang perempuan
melalui pendidikan dan media massa.
[1]
Zunly Nadis, Sahabat Perempuan Dan
Periwayatan Hadis: Kajian Atas Subyektifitas Sahabat Perempuan Dalam
Meriwayatkan Hadis (Yogyakarta: Disertasi Program doktor (S3), 2019).
[2]
Agung Danarta, Perempuan Periwayat
Hadis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), Hal. 312.
[3]
Agung Danarta, “Perempuan Periwayat Hadis
dalam Al-Kutub Al-Tis’ah” (UIN Sunan Kalijaga, 2007).
[4]
Umma Farida, “Perempuan Periwayat Hadis-Hadis
Hukum Dalam Kitab Bulugh Al-Maram Karya Imam Ibn Hajar Al-Asqalani,” Riwayah:
Jurnal Studi Hadis 2, no. 1 (2016).
[5]
Danarta, “Perempuan Periwayat Hadis dalam Al-Kutub Al-Tis’ah, Hal. 5”
[6]
Danarta, Hal 7.
[8]
Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad
Hadis: Telaah Kritis Dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta:
PT Bulan Bintang, 1988).
[9]
Zunly Nadia, “Sahabat Perempuan dan Periwayatan
Hadis (Kajian Atas Subyektifitas Sahabat Perempuan Dalam Meriwayatkan Hadis)”
(UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2019).
[10]
Danarta, “Perempuan Periwayat Hadis dalam
Al-Kutub Al-Tis’ah.”
[11]
Abdullah, Dari Domestik Ke Publik:
Jalan Panjang Pencarian Identitas Perempuan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
dan pusan penelitian kependudukan UGM, 1997). Hal. 4.