Sejarah Penulisan Hadis di Masa Sahabat dan Tabi’in

Daftar Isi [Tampilkan]
Oleh: M. Ilham Fahmi
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta




Dalam sejarahnya, keberadaan hadis dalam dunia Islam tidak terlepas dari perkembangan sejarah yang mengiringi tersebarnya hadis ke berbagai wilayah Islam. Kedudukan hadis dari waktu ke waktu dapat diketahui melalui periode kepemimpinan dalam agama Islam. Hal ini disebabkan sebuah kepemimpinan pada suatu negara sangat berpengaruh terhadap kemajuan dan kemunduran dari negara tersebut. Dalam hal keilmuan, lemahnya kepemimpinan suatu negara sudah pasti akan berdampak buruk pada perkembangan keilmuan yang ada pada saat itu, tak terkecuali dalam bidang hadis atau keilmuan yang lainnya. Terlebih jika pemimpinnya bukanlah orang yang memiliki jiwa yang adil dan bijaksana, maka suatu negara akan sulit berkembang dan maju. Sebaliknya, jika suatu negara dipimpin oleh orang yang tepat, hal tersebut tentu akan berdampak positif terhadap perkembangan negaranya.

Penelitian ini berangkat dari beberapa pertanyaan penulis. Pertama bagaimana penulisan sejarah hadis pada masa sahabat dan tabi’in. Kedua kapan awal mula hadis mulai ditulis atau dibukukan dan apa yang melatarbelakangi pembukuan hadis tersebut. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif dengan jenis penelitian library research. Penulis menggunakan dua sumber data dalam penelitian ini yakni sumber primer dan sumber skunder. Sumber primer dalam penelitian ini ialah kitab al-Sunnah Qobla al-Tadwin karya Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib. Sedangkan sumber sekundernya ialah pada kitab-kitab hadis, artikel dan berbagai media lainnya yang bersangkutan dengan penelitian ini. Untuk menemukan hasil yang lebih maksimal, penelitian ini menggunakan analisis sejarah untuk merekonstruksi Sejarah penulisan hadis dimasa sahabat dan tabi’in dengan melihat kurun waktu, tokoh dan tempat masa periwayatan.


Penulisan Hadis Pada Masa Sahabat

Sesudah Nabi Muhammad SAW wafat, para sahabat tidak kesulitan mengumpulkan hadis karena semua kebersamaan dan apa yang Rasulullah sampaikan masih segar dalam ingat mereka. Yang menjadi kekhawatiran para sahabat setelah wafatnya Rasulullah adalah terjadinya kedustaan terhadap baginda Rasul yang membuat mereka berhati-hati dalam menerima hadis, walaupun dari kalangan sahabat sendiri. Hal ini dikarenakan sabda Nabi Saw yang diriwayatkan Abu Hurairah: “Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah menempati tempat di neraka” (HR. Muslim).

a. Abu Bakar al-Shiddiq

Abu Bakar merupakan sahabat Nabi yang pertama kali menunjukkan kehati-hatianya dalam periwayatan hadis. Hal tersebut dibuktikan ketika ada seorang nenek yang datang kepada beliau dan bertanya mengenai bagian harta yang diperoleh setelah cucu dari nenek itu meninggal dunia. Pada saat itu Abu Bakar tidak menemukan jawabannya dari Al-Qur’an dan tidak pernah pula mendapatkan penjelasan dari Rasulullah mengenai hal tersebut. Kemudian Abu Bakar tidak serta-merta memberikan jawabannya kepada nenek tadi, melainkan beliau pergi menemui seorang sahabatnya yang bernama al-Mughirah untuk memberikan tanggapannya mengenai pertanyaan tersebut.

Pada saat itu, al-Mughirah mengatakan bahwa dirinya pernah menghadiri majlis Rasulullah yang pada saat itu membahas mengenai harta warisan bagi seorang nenek, sehingga di dalamnya dikatakan bahwa harta waris bagi seorang nenek adalah seperenam bagian dari harta yang ditinggalkan ahli waris. Kemudian Abu Bakar meminta al-Mughirah untuk menghadirkan seorang saksi atas perkataannya itu, kemudian datanglah Muhammad bin Maslamah untuk membenarkan hal tersebut. Masih banyak riwayat-riwayat lain tentang kehati-hatian khalifah Abu Bakar terhadap penerimaan hadis. Hal tersebut menjadi bukti bahwa Abu Bakar sangat berhati-hati terhadap penerimaan hadis Nabi Walaupun dari kalangan sahabat itu sendiri.

Penulis menyimpulkan pada masa sahabat Abu Bakar sangat memelihara keaslian Hadis Nabi sebagaimana yang telah dibuktikan dengan salah satu riwayat di atas. Pada masa ini belum ada perhatian khusus untuk penulisan atau pembukuan hadis, dikarenakan pada saat itu masih perhatian para sahabat masih tertuju pada pembukuan Al-Qur’an.

b. ‘Umar bin al-Khaththab

Kehati-hatian Abu Bakar dalam menerima hadis Nabi masih dipertahankan oleh sahabat Nabi yakni ‘Umar, yang selalu mengkonfirmasi terhadap periwayatan hadis Nabi kepada sahabat-sahabat lain. Pada masa ‘Umar, hadis mulai banyak diriwayatkan padahal fokus umat Islam pada masa itu masih tertuju pada Al-Qur’an. ‘Umar Bin Khattab sebagai khalifah pada saat itu menghimbau para sahabat agar tidak meriwayatkan hadis dalam jumlah yang banyak. Selain itu, tujuan ‘Umar adalah untuk menumbuhkan sikap kehati-hatian kepada umat Muslim terhadap periwayatan hadis.

‘Umar ingin membukukan hadis sebagai bentuk perhatiannya terhadap hadis Nabi. Akan tetapi inisiatif ini beliau tunda, dikarenakan kekhawatiran akan beralihnya fokus umat Muslim dalam mempelajari Al-Qur’an kepada hadis-hadis yang telah dibukukan tersebut. Disini penulis menyimpulkan bahwa mempelajari Al-Qur’an pada masa ‘Umar lebih diutamakan dibandingkan hadis. Hal ini bukan berarti mengesampingkan hadis, akan tetapi Al-Qur’an memerlukan perhatian lebih dikarenakan banyaknya para hafidh atau penghafal Al-Qur’an yang gugur di medan perang pada masa Abu. Di sisi lain, dampak dari beberapa kebijakan yang dilakukan ‘Umar untuk membatasi periwayatan hadis dan menekankan sikap kehati-hatian umat Islam dalam hal periwayatan hadis, menjadikan hadis terjaga dari segi sanad dan matannya sehingga mencegah terjadinya pemalsuan hadis.

c. ‘Usman bin ‘Affan

Kondisi periwayatan hadis di masa ini pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang telah menjadi kebijaksanaan ‘Umar kepada umat Islam. Keduanya menghimbau umat Islam untuk membatasi dirinya masing-masing dalam meriwayatkan hadis. Hanya saja, langkah ‘Usman tidaklah setegas langkah ‘Umar. Dalam suatu kesempatan khutbah, ‘Usman meminta kepada para sahabat agar tidak banyak meriwayatkan hadis yang mereka tidak pernah mendengar hadis itu pada masa Abu Bakar dan ‘Umar. Pernyataan ‘Usman ini menunjukkan pengakuan ‘Usman atas sikap hati-hati kedua khalifah pendahulunya. Sikap hati-hati ini akan dilanjutkan pada masa kekhalifahanya.

d. ‘Ali bin Abi Thalib

Perlakuan hadis pada masa ini tidak jauh berbeda dari zaman ketiga khalifah sebelumnya, hanya saja ‘Ali baru bersedia menerima riwayat hadis setelah periwayat hadis yang bersangkutan mengucapkan sumpah, bahwa hadis yang disampaikannya itu benar-benar berasal dari Nabi. ‘Ali hanya mempercayai periwayat yang benar-benar dipercayainya, sehingga ia tidak meminta periwayat untuk bersumpah. Hal ini terlihat misalnya ketika ‘Ali menerima riwayat Abu Bakar, ‘Ali tidak memintanya untuk bersumpah. Dalam suatu riwayat, ‘Ali menyatakan, “Abu Bakar telah memberikan hadis kepada saya, dan benarlah Abu Bakar itu.”

Dari keterangan di atas bahwasanya kebenaran suatu hadis harus diteliti secara cermat karena kedudukan hadis yakni sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Pada masa Abu Bakar, suatu informasi harus adanya seorang saksi. ‘Umar juga menekankan kepada para sahabat agar tidak memperbanyak periwayatan hadis dimasyarakat, agar tidak terpecah belah dalam memaknai Al-Qur’an dan hadis. Selanjutnya dalam suatu kesempatan khutbah, ‘Usman meminta kepada para sahabat agar tidak banyak meriwayatkan hadis yang tidak mereka dengar pada masa Abu Bakar dan ‘Umar. ‘Ali bin Abi Thalib bersedia menerima riwayat hadis setelah periwayat hadis yang bersangkutan mengucapkan sumpah, bahwa hadis yang disampaikannya itu benar-benar berasal dari Nabi.

Sejarah Penulisan Hadis Pada Masa Tabi’in

Selain para sahabat yang sudah banyak mengoleksi hadis Nabi, ada juga para tabi’in yang kebanyakan adalah murid dari para sahabat. Mereka juga banyak yang mengoleksi hadis-hadis Nabi, bahkan mereka mengoleksinya dann sudah mulai disusun dalam sebuah kitab yang beraturan. Sebagaimana para sahabat, para tabi’in pun juga sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadis. Hanya saja mungkin ada perbedaannya, yakni dari segi beban yang dihadapi oleh sahabat dan tabi’in, dan tentu beban sahabat lebih berat jika dibandingkan dengan para tabi’in. hal ini disebabkan Al-Qur’an di masa tabi’in telah dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga tidak ada kekhawatiran akan tercampurnya Al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu pada masa akhir periode khulafa’ al-asyidin, para sahabat ahli hadis telah menyebar diberbagai negara Islam.

Hadis pada masa tabi’in sedikit berbeda dengan apa yang terjadi pada masa sahabat. Al-Qur’an ketika itu telah disebarluaskan ke seluruh negeri Islam, sehingga tabi’in bisa mulai memfokuskan diri dalam mempelajari hadis dari para sahabat yang mulai bersebaran ke seluruh penjuru wilayah Islam. Dengan demikian, pada masa tabi’in sudah mulai berkembang penghimpunan hadits (al-jam’u wa al-tadwin), meskipun masih ada percampuran antara hadits Nabi dengan fatwa sahabat. Penghimpunan hadis Nabi dilakukan berdasar perintah khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, khalifah kedelapan Bani Umayyah. Kebijakannya ditindaklanjuti oleh ulama di berbagai daerah hingga pada masa berikutnya hadits terbukukan dalam kitab-kitab hadits.

Metode yang dilakukan para tabi’in dalam mengoleksi dan mencatat hadis adalah melalui pertemuan-pertemuan dengan para sahabat kemudian selanjutnya mereka mencatat apa yang didapat dari pertemuan tersebut. Seperti yang dilakukan Said bin Al-Jabir yang mencatat hadis-hadis dari pertemuannya dengan Said bin Al-Musayyab, dan Hamman bin Al-Munabbih hasil pertemuannya dengan Abu Hurairah dan lain sebagainya.

 

Pembukuan Hadis

Seiring berjalannya waktu, agama Islam sudah tersebar luas dan dianut oleh penduduk yang bertempat tinggal di luar jazirah Arab. Para sahabat mulai terpencar di beberapa wilayah, dan tidak sedikit yang meninggal dunia. Dengan demikian, para ulama merasa perlu membukukan hadis dalam bentuk tulisan atau buku. Hal inilah yang mendorong Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, seorang khalifah Umayyah yang memimpin pada tahun 99-101 H untuk menulis dan membukukan Hadits. Pada masa inilah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mulai memikirkan hal tersebut. Pada masa kekhalifahan, beliau berhasil meyakinkan umat Islam akan pentingnya penulisan hadits, serta memberikan perintah kodifikasi hadis secara resmi, dan mendorong timbulnya kegiatan pengumpulan hadis di setiap pelosok negeri Islam pada saat itu. Masa pemerintahan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz lebih kurang dua tahun itu memperoleh sukses besar dalam kodifikasi hadis. Kodifikasi hadis yang dimaksud di sini adalah penulisan, penghimpunan dan pembukuan hadis-hadis Nabi yang dilakukan berdasar perintah resmi Khalifah ‘Umar bin Abdul ‘Aziz.


Baca juga:
Labels : #Mahasiswa ,#Opini ,
Menunggu informasi...

Posting Komentar