Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Dalam sejarahnya,
keberadaan hadis dalam dunia Islam tidak terlepas dari perkembangan sejarah
yang mengiringi tersebarnya hadis ke berbagai wilayah Islam. Kedudukan hadis
dari waktu ke waktu dapat diketahui melalui periode kepemimpinan dalam agama
Islam. Hal ini disebabkan sebuah kepemimpinan pada suatu negara sangat
berpengaruh terhadap kemajuan dan kemunduran dari negara tersebut. Dalam hal
keilmuan, lemahnya kepemimpinan suatu negara sudah pasti akan berdampak buruk
pada perkembangan keilmuan yang ada pada saat itu, tak terkecuali dalam bidang
hadis atau keilmuan yang lainnya. Terlebih jika pemimpinnya bukanlah orang yang
memiliki jiwa yang adil dan bijaksana, maka suatu negara akan sulit berkembang
dan maju. Sebaliknya, jika suatu negara dipimpin oleh orang yang tepat, hal
tersebut tentu akan berdampak positif terhadap perkembangan negaranya.
Penelitian ini berangkat
dari beberapa pertanyaan penulis. Pertama bagaimana penulisan sejarah
hadis pada masa sahabat dan tabi’in. Kedua kapan awal mula hadis mulai
ditulis atau dibukukan dan apa yang melatarbelakangi pembukuan hadis tersebut.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif dengan jenis
penelitian library research. Penulis
menggunakan dua sumber data dalam penelitian ini yakni sumber primer dan sumber
skunder. Sumber primer dalam penelitian ini ialah kitab al-Sunnah Qobla al-Tadwin karya Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib.
Sedangkan sumber sekundernya ialah pada kitab-kitab hadis, artikel dan berbagai
media lainnya yang bersangkutan dengan penelitian ini. Untuk menemukan hasil
yang lebih maksimal, penelitian ini menggunakan analisis sejarah untuk
merekonstruksi Sejarah penulisan hadis dimasa sahabat dan tabi’in dengan
melihat kurun waktu, tokoh dan tempat masa periwayatan.
Penulisan
Hadis Pada Masa Sahabat
Sesudah Nabi Muhammad SAW
wafat, para sahabat tidak kesulitan mengumpulkan hadis karena semua kebersamaan
dan apa yang Rasulullah sampaikan masih segar dalam ingat mereka. Yang menjadi
kekhawatiran para sahabat setelah wafatnya Rasulullah adalah terjadinya
kedustaan terhadap baginda Rasul yang membuat mereka berhati-hati dalam
menerima hadis, walaupun dari kalangan sahabat sendiri. Hal ini dikarenakan
sabda Nabi Saw yang diriwayatkan Abu Hurairah: “Barang siapa berdusta atas
namaku dengan sengaja, maka hendaklah menempati tempat di neraka” (HR.
Muslim).
a. Abu
Bakar al-Shiddiq
Abu Bakar merupakan
sahabat Nabi yang pertama kali menunjukkan kehati-hatianya dalam periwayatan
hadis. Hal tersebut dibuktikan ketika ada seorang nenek yang datang kepada beliau
dan bertanya mengenai bagian harta yang diperoleh setelah cucu dari nenek itu
meninggal dunia. Pada saat itu Abu Bakar tidak menemukan jawabannya dari Al-Qur’an
dan tidak pernah pula mendapatkan penjelasan dari Rasulullah mengenai hal
tersebut. Kemudian Abu Bakar tidak serta-merta memberikan jawabannya kepada
nenek tadi, melainkan beliau pergi menemui seorang sahabatnya yang bernama
al-Mughirah untuk memberikan tanggapannya mengenai pertanyaan tersebut.
Pada saat itu, al-Mughirah
mengatakan bahwa dirinya pernah menghadiri majlis Rasulullah yang pada saat itu
membahas mengenai harta warisan bagi seorang nenek, sehingga di dalamnya
dikatakan bahwa harta waris bagi seorang nenek adalah seperenam bagian dari
harta yang ditinggalkan ahli waris. Kemudian Abu Bakar meminta al-Mughirah
untuk menghadirkan seorang saksi atas perkataannya itu, kemudian datanglah
Muhammad bin Maslamah untuk membenarkan hal tersebut. Masih banyak
riwayat-riwayat lain tentang kehati-hatian khalifah Abu Bakar terhadap
penerimaan hadis. Hal tersebut menjadi bukti bahwa Abu Bakar sangat
berhati-hati terhadap penerimaan hadis Nabi Walaupun dari kalangan sahabat itu
sendiri.
Penulis menyimpulkan pada
masa sahabat Abu Bakar sangat memelihara keaslian Hadis Nabi sebagaimana yang
telah dibuktikan dengan salah satu riwayat di atas. Pada masa ini belum ada
perhatian khusus untuk penulisan atau pembukuan hadis, dikarenakan pada saat
itu masih perhatian para sahabat masih tertuju pada pembukuan Al-Qur’an.
b. ‘Umar
bin al-Khaththab
Kehati-hatian Abu Bakar dalam
menerima hadis Nabi masih dipertahankan oleh sahabat Nabi yakni ‘Umar, yang selalu
mengkonfirmasi terhadap periwayatan hadis Nabi kepada sahabat-sahabat lain. Pada
masa ‘Umar, hadis mulai banyak diriwayatkan padahal fokus umat Islam pada masa
itu masih tertuju pada Al-Qur’an. ‘Umar Bin Khattab sebagai khalifah pada saat
itu menghimbau para sahabat agar tidak meriwayatkan hadis dalam jumlah yang
banyak. Selain itu, tujuan ‘Umar adalah untuk menumbuhkan sikap kehati-hatian
kepada umat Muslim terhadap periwayatan hadis.
‘Umar ingin membukukan hadis sebagai bentuk
perhatiannya terhadap hadis Nabi. Akan tetapi inisiatif ini beliau tunda,
dikarenakan kekhawatiran akan beralihnya fokus umat Muslim dalam mempelajari
Al-Qur’an kepada hadis-hadis yang telah dibukukan tersebut. Disini penulis
menyimpulkan bahwa mempelajari Al-Qur’an pada masa ‘Umar lebih diutamakan
dibandingkan hadis. Hal ini bukan berarti mengesampingkan hadis, akan tetapi
Al-Qur’an memerlukan perhatian lebih dikarenakan banyaknya para hafidh atau
penghafal Al-Qur’an yang gugur di medan perang pada masa Abu. Di sisi lain,
dampak dari beberapa kebijakan yang dilakukan ‘Umar untuk membatasi periwayatan
hadis dan menekankan sikap kehati-hatian umat Islam dalam hal periwayatan
hadis, menjadikan hadis terjaga dari segi sanad dan matannya sehingga mencegah
terjadinya pemalsuan hadis.
c. ‘Usman
bin ‘Affan
Kondisi periwayatan hadis
di masa ini pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang telah menjadi
kebijaksanaan ‘Umar kepada umat Islam. Keduanya menghimbau umat Islam untuk
membatasi dirinya masing-masing dalam meriwayatkan hadis. Hanya saja, langkah ‘Usman
tidaklah setegas langkah ‘Umar. Dalam suatu kesempatan khutbah, ‘Usman meminta
kepada para sahabat agar tidak banyak meriwayatkan hadis yang mereka tidak
pernah mendengar hadis itu pada masa Abu Bakar dan ‘Umar. Pernyataan ‘Usman ini
menunjukkan pengakuan ‘Usman atas sikap hati-hati kedua khalifah pendahulunya.
Sikap hati-hati ini akan dilanjutkan pada masa kekhalifahanya.
d. ‘Ali
bin Abi Thalib
Perlakuan hadis pada masa ini tidak jauh berbeda dari zaman ketiga khalifah sebelumnya, hanya saja ‘Ali baru bersedia menerima riwayat hadis setelah periwayat hadis yang bersangkutan mengucapkan sumpah, bahwa hadis yang disampaikannya itu benar-benar berasal dari Nabi. ‘Ali hanya mempercayai periwayat yang benar-benar dipercayainya, sehingga ia tidak meminta periwayat untuk bersumpah. Hal ini terlihat misalnya ketika ‘Ali menerima riwayat Abu Bakar, ‘Ali tidak memintanya untuk bersumpah. Dalam suatu riwayat, ‘Ali menyatakan, “Abu Bakar telah memberikan hadis kepada saya, dan benarlah Abu Bakar itu.”
Dari keterangan di atas bahwasanya kebenaran suatu hadis harus diteliti secara cermat karena kedudukan hadis yakni sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Pada masa Abu Bakar, suatu informasi harus adanya seorang saksi. ‘Umar juga menekankan kepada para sahabat agar tidak memperbanyak periwayatan hadis dimasyarakat, agar tidak terpecah belah dalam memaknai Al-Qur’an dan hadis. Selanjutnya dalam suatu kesempatan khutbah, ‘Usman meminta kepada para sahabat agar tidak banyak meriwayatkan hadis yang tidak mereka dengar pada masa Abu Bakar dan ‘Umar. ‘Ali bin Abi Thalib bersedia menerima riwayat hadis setelah periwayat hadis yang bersangkutan mengucapkan sumpah, bahwa hadis yang disampaikannya itu benar-benar berasal dari Nabi.
Sejarah Penulisan Hadis
Pada Masa Tabi’in
Selain para sahabat yang
sudah banyak mengoleksi hadis Nabi, ada juga para tabi’in yang kebanyakan
adalah murid dari para sahabat. Mereka juga banyak yang mengoleksi hadis-hadis
Nabi, bahkan mereka mengoleksinya dann sudah mulai disusun dalam sebuah kitab
yang beraturan. Sebagaimana para sahabat, para tabi’in pun juga sangat
berhati-hati dalam meriwayatkan hadis. Hanya saja mungkin ada perbedaannya, yakni
dari segi beban yang dihadapi oleh sahabat dan tabi’in, dan tentu beban sahabat
lebih berat jika dibandingkan dengan para tabi’in. hal ini disebabkan Al-Qur’an
di masa tabi’in telah dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga tidak ada
kekhawatiran akan tercampurnya Al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu pada masa akhir
periode khulafa’ al-asyidin, para sahabat ahli hadis telah menyebar
diberbagai negara Islam.
Hadis pada masa tabi’in
sedikit berbeda dengan apa yang terjadi pada masa sahabat. Al-Qur’an ketika itu
telah disebarluaskan ke seluruh negeri Islam, sehingga tabi’in bisa mulai memfokuskan
diri dalam mempelajari hadis dari para sahabat yang mulai bersebaran ke seluruh
penjuru wilayah Islam. Dengan demikian, pada masa tabi’in sudah mulai
berkembang penghimpunan hadits (al-jam’u
wa al-tadwin), meskipun masih ada percampuran antara hadits Nabi dengan
fatwa sahabat. Penghimpunan hadis Nabi dilakukan berdasar perintah khalifah ‘Umar
bin ‘Abdul ‘Aziz, khalifah kedelapan Bani Umayyah. Kebijakannya ditindaklanjuti
oleh ulama di berbagai daerah hingga pada masa berikutnya hadits terbukukan
dalam kitab-kitab hadits.
Metode yang dilakukan
para tabi’in dalam mengoleksi dan mencatat hadis adalah melalui
pertemuan-pertemuan dengan para sahabat kemudian selanjutnya mereka mencatat
apa yang didapat dari pertemuan tersebut. Seperti yang dilakukan Said bin Al-Jabir
yang mencatat hadis-hadis dari pertemuannya dengan Said bin Al-Musayyab, dan Hamman
bin Al-Munabbih hasil pertemuannya dengan Abu Hurairah dan lain sebagainya.
Pembukuan
Hadis
Seiring berjalannya
waktu, agama Islam sudah tersebar luas dan dianut oleh penduduk yang bertempat
tinggal di luar jazirah Arab. Para sahabat mulai terpencar di beberapa wilayah,
dan tidak sedikit yang meninggal dunia. Dengan demikian, para ulama merasa perlu
membukukan hadis dalam bentuk tulisan atau buku. Hal inilah yang mendorong
Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, seorang khalifah Umayyah yang memimpin pada
tahun 99-101 H untuk menulis dan membukukan Hadits. Pada masa inilah ‘Umar bin ‘Abdul
‘Aziz mulai memikirkan hal tersebut. Pada masa kekhalifahan, beliau berhasil
meyakinkan umat Islam akan pentingnya penulisan hadits, serta memberikan
perintah kodifikasi hadis secara resmi, dan mendorong timbulnya kegiatan
pengumpulan hadis di setiap pelosok negeri Islam pada saat itu. Masa
pemerintahan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz lebih kurang dua tahun itu memperoleh
sukses besar dalam kodifikasi hadis. Kodifikasi hadis yang dimaksud di sini
adalah penulisan, penghimpunan dan pembukuan hadis-hadis Nabi yang dilakukan
berdasar perintah resmi Khalifah ‘Umar bin Abdul ‘Aziz.