Sejarah perkembangan kajian hadis di Indonesia bisa dikatakan
secepat ilmu-ilmu yang lain seperti kajian Al-Qur’an, fiqh, akhlak, dan lain sebagainya.
Ini bisa dibuktikan dengan ditemukan kitab-kitab hadis yang di tulis oleh ulama
Nusantara pada abad ke-17.[1] Salah
satu karya yang terkait dengan studi hadis adalah karya Nuruddin al-Raniri
dengan kitabnya, Hidayat al-Habib fi al-Targhib wa al-Tarhib. Kitab ini
berisi sekumpulan hadis yang telah diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa
Melayu dengan tujuan agar masyarakat Muslim Indonesia-Melayu dapat memahami
hadis nabi dengan benar.
Selain itu, terdapat juga seorang ulama yang memiliki
karya dalam bidang studi hadis, yaitu Abdul Ra’uf al-Sinkili. Beliau memiliki
dua karya dalam bidang hadis yaitu kitab al-Mawa’idl al-Bad’ah yang berisikan
koleksi hadis-hadis qudsi. Selain itu beliau juga menyusun penafsiran mengenai
Hadis Arba’in karya Imam an-Nawawi.[2] Azyumardi
berpendapat bahwa kitab ini merupakan kitab rintisan dalam bidang hadis di
Nusantara. Dalam karya ini, al-Sinkili memadukan rintisan dalam bidang
hadis-hadis dengan ayat-ayat Al-Qur’an untuk mendukung argument-argumen yang
melkat pada hadis.[3]
Setelah kemunculan beberapa karya hadis di atas,
perkembangan kajian hadis di Nusantara mengalami masa vakum selama kurang lebih
satu setengah abad. Hal ini dikarenakan oleh kondisi bangsa Indonesia yang
dijajah oleh Belanda. Sikap agresif dan intimidasi oleh Belanda sangat
berdampak pada perkembangan ilmu pengetahuan. Memasuki akhir abad ke-19, ada kitab
Manhaj Dzawi al-Nadhar, yang disusun oleh ulama Indonesia, yaitu KH.
Mahfud Termas ketika berada di Mekkah.[4]
Pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20, kajian hadis mendapat perhatian
khusus dengan dimasukkannya kajian hadis dalam kurikulum madrasah-madrasah dan
pesantren-pesantren.
Kajian hadis di pesantren lebih ditekankan pada
pengajaran materi hadis yang berkaitan dengan pengamalan ajaran Islam di
berbagai bidang seperti akidah, ibadah, dan akhlak. Sedangkan kajian terhadap ‘ilm
musthalah al-hadits sebagai alat untuk meneliti kualitas hadis masih
mendapatkan perhatian yang begitu kecil.[5]
Seiring berjalannya waktu, lebih tepatnya pada abad
ke-20, terdapat salah satu tokoh lulusan Al-Azhar Mesir yang mulai
memperhatikan kembali bidang kajian hadis, baik riwāyah maupun dirāyah.
Salah satu tokoh yang masyhur adalah Mahmud Yunus. Ia menulis karya berupa
kitab ilmu hadis, dan buku hadis tematik. Penyebaran hadis di Indonesia
mengalami perkembangan yang cukup pesat baik di pesantren, madrasah, maupun perguruan
tinggi.
[1] Muhammad Tasrif, Kajian
Hadis di Indonesia Sejarah dan Pemikiran, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press,
2007), hlm. 17.
[2] M. Zia Al-Ayyubi, Pemikiran
Mahmud Yunus Tentang hadis Etika dan Kontribusinya Terhadap Perekmbangan Kajian
Hadis di Indonesa, Jurnal Studi Hadis Nusantara, vol. 4 No. 2, 2022, hlm.
151
[3] Azyumardi Azra, Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Jakarta:
Kencana Prenada, 2007), hlm. 225-226
[4] Afriadi Putra, Pemikiran
gadis KH. M. Hasyim Asy’ari dan Kontribusinya Terhadap Kajian Hadis di
Indonesia, Wawasan, Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, vol 39, No. 1,
2016, hlm. 48
[5] Muhammad Tasrif, Kajian
Hadis di Indonesia Sejarah dan Pemikiran, hlm. 17