Ulama Modern dan Perkembangan Kajian Hadis

Daftar Isi [Tampilkan]
Oleh: Ohza Ikmaya Safitri
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


Pendahuluan

Pada era modern umat Muslim dilanda permasalahan serius dengan hadirnya sosok-sosok yang mempertanyakan otentisitas hadis Rasulullah. Pada abad ini pula muncul beberapa dorongan dari Barat yang menuntut orang Islam untuk melakukan sebuah reformasi dan pengkajian ulang terhadap apa saja yang berkaitan dengan Rasulullah, seperti status hukum maupun hadis. Kritik hadis (naqd al-hadits atau uji otentisitas hadis) dapat dipahami sebagai suatu aktivitas penelitian kualitas pada hadis.[1] Dengan adanya tuntutan tersebut, maka secara khusus umat muslim berusaha mengkaji ulang sebuah teks hadis untuk menghilangkan tekanan atau tuduhan-tuduhan negatif yang diberikan Barat terhadap islam dan hadis khususnya. Menurut Brown, salah satu aspek yang menjadi perhatian orang Islam pada masa itu ialah adanya kaum misionaris Kristen yang mempengaruhi cara pandang kaum Muslimin terhadap hadis/sunnah.[2] Akan tetapi di sisi lain lahir pula kaum orientalis yang mulai bersikap kritis terhadap keberadaan hadis secara khusus.

Pembahasan

Brown menerangkan dan mengelompokkan perkembangan pemikiran dan kajian hadis yang dilakukan umat Islam pada abad ini menjadi empat periode:[3]

Periode pertama, yaitu periode gerakan reformasi abad ke-18 M. Pada abad ini ada sebuah pertentangan pemahaman antara kaum tradisionalis dan modernis. Para ulama tradisionalis memandang bahwasanya hadis/sunnah merupakan basis utama hukum Islam, akan tetapi sebagian orang memandangnya secara tidak benar, hingga melahirkan beberapa pemahaman yang salah terkait hadis/sunnah. Dengan adanya sebuah reformasi, maka kesalahan-kesalahan pemahaman dapat teratasi. Pada periode ini terdapat kesalahan dalam menyikapi sebuah hadis/sunnah yang disebabkan oleh munculnya perkara bid’ah dan taklid yang berkaitan dengan ajaran Islam dan hukum klasik. Hal ini menuntut kaum Muslimin untuk meninjau dan membandingkan pemahaman yang ada dengan hadis maupun al-Qur’an , agar pemahaman terhadap ajaran nabi kembali murni.

Periode kedua, yaitu reformasi berbasis hadis pada abad ke-19. Pada abad ini sebuah upaya pemahaman atau taklid hadis menjadi sebuah kajian yang bersifat reformasi atau mengolaborasikan antara pemahaman taklid Syah Waliyullah dan al-Syaukani. Akan tetapi tidak jarang pemahaman dan usaha yang dilakukan pada masa itu terkhususnya bagi ahli hadis menjadikan sebuah pemahaman yang lebih ekstrim.[4] Terlebih lagi dengan adanya sebuah upaya kolaborasi mazhab klasik dan mazhab al-Zuhairi. Sebagian mereka memandang bahwasanya tradisi keilmuan islam klasik merupakan sebuah hal yang kuno kecuali keilmuan atau sunnah-sunnah yang dipandang shahih dan terpelihara. Pandangan lainnya muncul dengan adanya sebuah argumentasi bahwa seorang ahli hadis haruslah ia yang tsiqah, akhlaknya terpuji dan suci, karena mereka pada dasarnya merupakan orang yang berperan penting dalam mencontoh tingkah laku Rasulullah. Selain itu, pada abad ini melahirkan sebuah pemahaman baru yang ditandai dengan hadirnya sekelompok orang yang memandang bahwa sebuah kemurnian pemahaman hadis hanya dapat dicapai melalui pemahaman Al-Qur’an dan hadis secara langsung. Hal ini disebabkan mereka berpendapat bahwasanya orisinalitas agama Islam hanya akan tercapai kembali dengan kembali ke-keduanya (Al-Qur’an dan hadis).

Periode ketiga, yaitu periode para modernis awal.[5] Pada masa ini tantangan besarnya, adanya sebuah argumentasi bahwa sebuah hadis tidak dapat dipercaya. Argumen tersebut lahir dari seorang tokoh yang bernama Ahmad Khan. Argumentasi yang diberikannya merupakan bentuk respons yang ia berikan terhadap pemahaman kritikus hadis klasik. Pada akhirnya ia memberikan sebuah celah dengan memandang bahwasanya hadis- hadis yang bernuansa spiritual saja yang relevan dengan kehidupan kaum Muslimin di era kontemporer. Selain itu ia mendorong para pengkaji Islam untuk memberikan sebuah upaya atau metode baru dalam menilai dan memahami sebuah teks hadis. Gagasan dan pendapat yang dikemukakan oleh Ahmad Khan pada dasarnya merupakan sebagian kecil pengaruh para misionaris atau orientasi seperti William Muir. Dalam hal ini, Muir pernah mengemukakan bahwasanya Al-Qur’an merupakan salah satu sumber biografi dan pemahaman Muhammad yang autentik, akan tetapi hadis atau sunah mengalami sebuah penyimpangan dan terbatas. Di samping itu Muir juga mengabaikan salah satu kelebihan dan ciri khas keilmuan Islam yang diberikan ulama klasik. Ia mengabaikan adanya sistem sanad dalam menilai dan meninjau otentisitas hadis.

Berkaitan dengan sistem isnad ini, Ahmad Khan sangat menolak apa yang dikemukakan oleh Muir. Ia sangat memperhatikan sistem kritik sanad dan menyatakan bahwasanya penolakan Muir terhadap sistem isnad ini menandakan ia meremehkan daya ingat para periwayat hadis. Ahmad Khan tidak mengingkari kedudukan Al-Qur’an dan menganggapnya sebagai suatu pembanding yang tepat untuk informasi-informasi yang datang dari Rasulullah. Pandangan lainnya yang diberikan Ahmad Khan ialah adanya anggapan bahwasanya ia tidak menolak sisi historis hadis, dan beranggapan dengan adanya hadis-hadis mutawatir menandakan tertolaknya sebuah kemungkinan terjadinya kesepakatan dalam menyelewengkan hadis yang dilakukan oleh para periwayat hadis. Selain Ahmad Khan, pembaharu lainnya yang memiliki pengaruh terhadap kajian Islam termasuk hadis ialah Muhammad Abduh. Ia merupakan salah suatu sosok yang hidup semasa dengan Ahmad Khan, akan tetapi ia lebih hati-hati dalam bersikap berkenaan dengan sunnah. Abduh beranggapan bahwasanya sebuah hadis yang dapat mengikat kaum muslimin adalah hadis-hadis yang kuantitas periwayatannya mencapai derajat mutawatir, akan tetapi ia tidak menolak hadis-hadis lainnya yang tidak mencapai derajat tersebut. Pemahaman tersebut hanya sebagai perbandingan bahwasanya pada dasarnya Abduh tidaklah bergantung pada pendekatan dan pemahaman klasik dalam merespons sebuah pemahaman hadis. Walau demikian, ia tidak memberikan sebuah metodologi khusus dalam menilai/mengkritik hadis, karena pada dasarnya ia lebih akrab dengan kajian berbasis teologi.

Periode keempat, periode skripturalisme Qur’ani.[6] Periode ini lahir setelah periode Ahmad Khan dan Muhammad Abduh. Gerakan skripturalisme ini ditandai dengan adanya ahli Al-Qur’an yang memiliki pertentangan dengan ahl hadis. Dalam hal ini ahli Al-Qur’an memandang bahwasanya mengikuti hadis nabi merupakan sebuah kemalangan. Sebaliknya, ahli hadis memandang bahwasanya taklid merupakan sebuah bentuk awal dari penyimpangan dan perpecahan yang dialami oleh umat Islam. Selain itu, ahli hadis juga beranggapan bahwasanya keautentikan warisan Islam hanya dapat diraih dengan cara mempelajari hadis.

Ahli Al-Qur’an memandang bahwasanya Islam yang murni hanya dapat dicapai melalui Al-Qur’an, dan menurutnya bahwasanya Al-Qur’an merupakan satu- satunya sumber yang adil dan tidak ada keraguan di dalamnya. Jika berkaca pada pertentangan tersebut, maka yang dihasilkan kedua kelompok ini merupakan salah satu cikal bakal atau pemahaman inkar al-sunnah dan inkar al-hadits. Terkait dengan itu, Shidiq mengemukakan bahwasanya Rasulullah tidak pernah menyatakan perilaku-perilakunya dapat ditiru secara menyeluruh/rinci. Maka dengan begitu seorang muslim harus bersandar pada Al-Qur’an. Apa yang dikemukakan Shidiq tersebut pada akhirnya mendapatkan respons dari Rasyid Ridha terkhususnya terkait keautentikan hadis. dalam hal ini ia memiliki tujuan untuk membangkitkan pandangan masyarakat terhadap hadis/sunnah. Dalam pandangannya juga, Ridha pada akhirnya memberikan sebuah penilaian seperti sunnah atau hadis yang tidak diperselisihkan ialah sunnah yang menyangkut masalah amaliyah. Dikatakan pula bahwasanya motivasi keduanya (Shidiq dan Rido) dalam memberlakukan hadis pada dasarnya sama, yaitu untuk meruntuhkan sikap taklid yang sudah menjamur di tengah-tengah kaum muslimin.

Isu tentang Otentisitas Hadis

Salah satu tantangan modernitas yang sering dilontarkan untuk meragukan bahkan menolak keberadaan hadis Nabi SAW adalah persoalan metode klasik kritisisme hadis, yakni sistem isnad. Teori sistem isnad seringkali dituduh sebagai buatan para ulama’ hadis dan tidak pernah ada pada zaman Nabi SAW atau bahkan sahabat. Sebesar apapun dedikasi para muhaddisun, masa hidup mereka terlalu jauh dari masa hidup Nabi, dan pemalsuan telah merajalela (hadis asli dan palsu bercampur baur) sehingga keaslian hadis sangat sulit didapat. Walaupun sebenarnya telah ada sistem Isnad yang dibangun oleh para ulama’ ahli hadis klasik, namun hal itu banyak diragukan oleh para ulama’ modern yang melakukan auto kritik terhadap sistem isnad yang dibangun oleh para pendahulunya. Kemudian kritik lain yang dilontarkan oleh kritikus modern adalah bahwa asumsi dibelakang ‘ilm al-rijal secara esensial cacat. Argumen ini didasarkan pada beberapa hal, di antaranya adalah cukup sulit menilai karakter orang yang masih hidup, apalagi orang yang sudah lama meninggal, hal ini diperparah dengan informasi yang sedikit, banyak riwayat yang saling bertentangan. Di samping itu kejujuran dan ketidakjujuran adalah kualitas internal yang tidak dapat diketahui dengan pasti oleh pengamat. Akibatnya, ‘ilm al-rijal hanyalah sebuah pendekatan.[7]

Isu tentang Otoritas Kenabian

Tantangan lain terhadap sunnah adalah kritik atas kewenangan Rasul yakni yang berkaitan dengan doktrin ‘ishmah. Doktrin ‘ishmah (kemaksuman) Rasul bagi ahli teologi Sunni sangat dibutuhkan, karena doktrin ‘ishmah merupakan jaminan penting integrasi Al-Qur’an itu sendiri. Jika para Rasul berbuat salah atau dosa, mana mungkin kita mengetahui pasti bahwa mereka menyampaikan wahyu yang mereka terima dari Allah dengan benar. Seiring dengan meningkatnya kritik atas doktrin ‘ishmah, kritikus hadis modern cenderung membatasi penerapan ‘ishmah hanya pada penyampaian Al-Qur’an saja. Muhammad Abduh menyebutkan bahwa Nabi meskipun memiliki posisi yang unik, sepenuhnya adalah manusia dan memiliki pengalaman seperti yang dialami manusia pada umumnya. Dan mungkin saja mereka alpa dalam hal-hal yang tidak berkenaan dengan misi mereka. Dia jelas meragukan doktrin ‘ishmah karena tidak mungkin ditahkik.

Isu tentang Kewahyuan Hadis

Pandangan klasik tentang pandangan bahwa sunnah adalah wahyu mulai mendapat kritikan dan mulai dipertanyakan kembali kebenarannya. Syahrur menyebutkan pandangan yang menyebutkan bahwa sunnah adalah wahyu, patut untuk dipertanyakan. Ia menganalisa (wa ma yantiqu an al-hawa; in huwa illa wahyun yuhay) (QS. 53 :3-4) yang dijadikan sebagai dasar pijakan oleh kalangan tradisional untuk menyimpulkan bahwa sunnah adalah wahyu. Menurut pembacaannya, mendasarkan pendapat mereka dengan ayat ini sama sekali tidak tepat. Karena kata ganti huwa dalam ayat tersebut tidak merujuk kepada Nabi, namun secara jelas merujuk kepada kitab yang diturunkan kepada Nabi.[8] Kata ganti huwa tidak terkait dengan kata ganti dalam kata kerja yantiqu. Jadi meski peran kenabian yang diembannya mengantarkan beliau pada derajat yang tinggi, namun bagaimanapun kita tidak dapat menyatakan bahwa seluruh perkataan dan perbuatan beliau termasuk bagian dari wahyu.

Penutup

Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan di atas, kegiatan kritik hadis terus berkembang setiap masanya. Hal ini dimulai dari yang awal hanya memperhatikan sisi matan, pada generasi sesudahnya para ulama hadis memperhatikan sisi sanad atau rawi. Hal tersebut dilandasi dengan adanya kelompok yang tidak bertanggung jawab dan berkata-kata mengatasnamakan Rasulullah.

Hadis Nabi dalam konteks modernitas akan ditentukan oleh bagaimana cara ummat Islam memperlakukan sunnah: apakah dengan menggunakannya secara selektif, menolaknya atau menafsirkannya kembali (reinterpretasi), dan menjadi penting bagi kaum Muslim untuk menyesuaikan diri dengan perubahan situasi sosial yang ada. Dan ini semua pada dasarnya dalam kerangka mewujudkan Islam universal yang rahmatan lil ‘alamin dan juga Islam yang selalu selaras dengan situasi dan kondisi kapanpun dan di manapun kita berada (shalih likulli zaman wa makan).


 



[1] Hedhri Nadhiran, Epistemologi Kritik Hadis, Jurnal Ilmu Agama Mengkaji Doktrin Pemikiran dan Fenomena Agama, Nomor 2 Tahun 2017. hlm. 49

[2] Eky Wifky Afandi dan Dadah, Sejarah Periodisasi Kritik Hadis, Jurnal Ilmu Hadis Vol. 3 No. 02 April 2023, hlm. 181

[3] Abdul Karim, Pergulatan Hadis di Era Modern, Jurnal Studi Hadis Volume 3 Nomor 2 2018, hlm. 174

[4] Benny Afwadzi, Hadis di Mata Para Pemikir Modern (Telaah Buku Rethinking Karya Daniel Brown), Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis, Vol. 15, No. 2, Juli 2014, hlm. 232

[5] Abdul Karim, Pergulatan Hadis di Era Modern, Jurnal Studi Hadis Volume 3 Nomor 2

2018, Hlm 175

[6] Abdul Karim, Pergulatan Hadis di Era Modern, Jurnal Studi Hadis Volume 3 Nomor 2 2018, hlm. 176

[7] Abdul Karim, Pergulatan Hadis di Era Modern, Jurnal Studi Hadis Volume 3 Nomor 2, 2018, hlm. 180

[8] Abdul Karim, Pergulatan Hadis di Era Modern, Jurnal Studi Hadis Volume 3 Nomor 2 2018, Hlm 182


Baca juga:
Labels : #Mahasiswa ,#Opini ,
Menunggu informasi...

Posting Komentar