Pendahuluan
Pada era modern umat Muslim dilanda permasalahan serius dengan hadirnya sosok-sosok yang mempertanyakan otentisitas hadis Rasulullah. Pada abad ini pula muncul beberapa dorongan dari Barat yang menuntut orang Islam untuk melakukan sebuah reformasi dan pengkajian ulang terhadap apa saja yang berkaitan dengan Rasulullah, seperti status hukum maupun hadis. Kritik hadis (naqd al-hadits atau uji otentisitas hadis) dapat dipahami sebagai suatu aktivitas penelitian kualitas pada hadis.[1] Dengan adanya tuntutan tersebut, maka secara khusus umat muslim berusaha mengkaji ulang sebuah teks hadis untuk menghilangkan tekanan atau tuduhan-tuduhan negatif yang diberikan Barat terhadap islam dan hadis khususnya. Menurut Brown, salah satu aspek yang menjadi perhatian orang Islam pada masa itu ialah adanya kaum misionaris Kristen yang mempengaruhi cara pandang kaum Muslimin terhadap hadis/sunnah.[2] Akan tetapi di sisi lain lahir pula kaum orientalis yang mulai bersikap kritis terhadap keberadaan hadis secara khusus.
Pembahasan
Brown menerangkan dan mengelompokkan perkembangan pemikiran dan
kajian hadis yang dilakukan umat Islam pada abad ini menjadi empat periode:[3]
Periode pertama, yaitu periode gerakan reformasi abad ke-18
M. Pada abad ini ada sebuah pertentangan pemahaman antara kaum tradisionalis
dan modernis. Para ulama tradisionalis memandang bahwasanya hadis/sunnah
merupakan basis utama hukum Islam, akan tetapi sebagian orang memandangnya
secara tidak benar, hingga melahirkan beberapa pemahaman yang salah terkait
hadis/sunnah. Dengan adanya sebuah reformasi, maka kesalahan-kesalahan
pemahaman dapat teratasi. Pada periode ini terdapat kesalahan dalam menyikapi
sebuah hadis/sunnah yang disebabkan oleh munculnya perkara bid’ah dan taklid
yang berkaitan dengan ajaran Islam dan hukum klasik. Hal ini menuntut kaum Muslimin
untuk meninjau dan membandingkan pemahaman yang ada dengan hadis maupun
al-Qur’an , agar pemahaman terhadap ajaran nabi kembali murni.
Periode kedua, yaitu reformasi berbasis hadis pada abad
ke-19. Pada abad ini sebuah upaya pemahaman atau taklid hadis menjadi sebuah
kajian yang bersifat reformasi atau mengolaborasikan antara pemahaman taklid
Syah Waliyullah dan al-Syaukani. Akan tetapi tidak jarang pemahaman dan usaha
yang dilakukan pada masa itu terkhususnya bagi ahli hadis menjadikan sebuah
pemahaman yang lebih ekstrim.[4]
Terlebih lagi dengan adanya sebuah upaya kolaborasi mazhab klasik dan mazhab
al-Zuhairi. Sebagian mereka memandang bahwasanya tradisi keilmuan islam klasik
merupakan sebuah hal yang kuno kecuali keilmuan atau sunnah-sunnah yang
dipandang shahih dan terpelihara. Pandangan lainnya muncul dengan adanya sebuah
argumentasi bahwa seorang ahli hadis haruslah ia yang tsiqah, akhlaknya
terpuji dan suci, karena mereka pada dasarnya merupakan orang yang berperan
penting dalam mencontoh tingkah laku Rasulullah. Selain itu, pada abad ini
melahirkan sebuah pemahaman baru yang ditandai dengan hadirnya sekelompok orang
yang memandang bahwa sebuah kemurnian pemahaman hadis hanya dapat dicapai
melalui pemahaman Al-Qur’an dan hadis secara langsung. Hal ini disebabkan
mereka berpendapat bahwasanya orisinalitas agama Islam hanya akan tercapai
kembali dengan kembali ke-keduanya (Al-Qur’an dan hadis).
Periode ketiga, yaitu periode para modernis awal.[5]
Pada masa ini tantangan besarnya, adanya sebuah argumentasi bahwa sebuah hadis
tidak dapat dipercaya. Argumen tersebut lahir dari seorang tokoh yang bernama
Ahmad Khan. Argumentasi yang diberikannya merupakan bentuk respons yang ia
berikan terhadap pemahaman kritikus hadis klasik. Pada akhirnya ia memberikan
sebuah celah dengan memandang bahwasanya hadis- hadis yang bernuansa spiritual
saja yang relevan dengan kehidupan kaum Muslimin di era kontemporer. Selain itu
ia mendorong para pengkaji Islam untuk memberikan sebuah upaya atau metode baru
dalam menilai dan memahami sebuah teks hadis. Gagasan dan pendapat yang
dikemukakan oleh Ahmad Khan pada dasarnya merupakan sebagian kecil pengaruh
para misionaris atau orientasi seperti William Muir. Dalam hal ini, Muir pernah
mengemukakan bahwasanya Al-Qur’an merupakan salah satu sumber biografi dan
pemahaman Muhammad yang autentik, akan tetapi hadis atau sunah mengalami sebuah
penyimpangan dan terbatas. Di samping itu Muir juga mengabaikan salah satu
kelebihan dan ciri khas keilmuan Islam yang diberikan ulama klasik. Ia
mengabaikan adanya sistem sanad dalam menilai dan meninjau otentisitas hadis.
Berkaitan dengan sistem isnad ini, Ahmad Khan sangat menolak apa
yang dikemukakan oleh Muir. Ia sangat memperhatikan sistem kritik sanad dan
menyatakan bahwasanya penolakan Muir terhadap sistem isnad ini menandakan ia
meremehkan daya ingat para periwayat hadis. Ahmad Khan tidak mengingkari
kedudukan Al-Qur’an dan menganggapnya sebagai suatu pembanding yang tepat untuk
informasi-informasi yang datang dari Rasulullah. Pandangan lainnya yang
diberikan Ahmad Khan ialah adanya anggapan bahwasanya ia tidak menolak sisi
historis hadis, dan beranggapan dengan adanya hadis-hadis mutawatir menandakan
tertolaknya sebuah kemungkinan terjadinya kesepakatan dalam menyelewengkan
hadis yang dilakukan oleh para periwayat hadis. Selain Ahmad Khan, pembaharu
lainnya yang memiliki pengaruh terhadap kajian Islam termasuk hadis ialah
Muhammad Abduh. Ia merupakan salah suatu sosok yang hidup semasa dengan Ahmad
Khan, akan tetapi ia lebih hati-hati dalam bersikap berkenaan dengan sunnah.
Abduh beranggapan bahwasanya sebuah hadis yang dapat mengikat kaum muslimin
adalah hadis-hadis yang kuantitas periwayatannya mencapai derajat mutawatir,
akan tetapi ia tidak menolak hadis-hadis lainnya yang tidak mencapai derajat
tersebut. Pemahaman tersebut hanya sebagai perbandingan bahwasanya pada
dasarnya Abduh tidaklah bergantung pada pendekatan dan pemahaman klasik dalam
merespons sebuah pemahaman hadis. Walau demikian, ia tidak memberikan sebuah
metodologi khusus dalam menilai/mengkritik hadis, karena pada dasarnya ia lebih
akrab dengan kajian berbasis teologi.
Periode keempat, periode skripturalisme Qur’ani.[6]
Periode ini lahir setelah periode Ahmad Khan dan Muhammad Abduh. Gerakan
skripturalisme ini ditandai dengan adanya ahli Al-Qur’an yang memiliki
pertentangan dengan ahl hadis. Dalam hal ini ahli Al-Qur’an memandang
bahwasanya mengikuti hadis nabi merupakan sebuah kemalangan. Sebaliknya, ahli
hadis memandang bahwasanya taklid merupakan sebuah bentuk awal dari
penyimpangan dan perpecahan yang dialami oleh umat Islam. Selain itu, ahli
hadis juga beranggapan bahwasanya keautentikan warisan Islam hanya dapat diraih
dengan cara mempelajari hadis.
Ahli Al-Qur’an memandang bahwasanya Islam yang murni hanya dapat
dicapai melalui Al-Qur’an, dan menurutnya bahwasanya Al-Qur’an merupakan satu-
satunya sumber yang adil dan tidak ada keraguan di dalamnya. Jika berkaca pada
pertentangan tersebut, maka yang dihasilkan kedua kelompok ini merupakan salah
satu cikal bakal atau pemahaman inkar al-sunnah dan inkar al-hadits.
Terkait dengan itu, Shidiq mengemukakan bahwasanya Rasulullah tidak pernah
menyatakan perilaku-perilakunya dapat ditiru secara menyeluruh/rinci. Maka
dengan begitu seorang muslim harus bersandar pada Al-Qur’an. Apa yang
dikemukakan Shidiq tersebut pada akhirnya mendapatkan respons dari Rasyid Ridha
terkhususnya terkait keautentikan hadis. dalam hal ini ia memiliki tujuan untuk
membangkitkan pandangan masyarakat terhadap hadis/sunnah. Dalam pandangannya
juga, Ridha pada akhirnya memberikan sebuah penilaian seperti sunnah atau hadis
yang tidak diperselisihkan ialah sunnah yang menyangkut masalah amaliyah.
Dikatakan pula bahwasanya motivasi keduanya (Shidiq dan Rido) dalam
memberlakukan hadis pada dasarnya sama, yaitu untuk meruntuhkan sikap taklid
yang sudah menjamur di tengah-tengah kaum muslimin.
Isu tentang Otentisitas Hadis
Salah satu tantangan modernitas yang sering dilontarkan untuk
meragukan bahkan menolak keberadaan hadis Nabi SAW adalah persoalan metode
klasik kritisisme hadis, yakni sistem isnad. Teori sistem isnad seringkali
dituduh sebagai buatan para ulama’ hadis dan tidak pernah ada pada zaman Nabi
SAW atau bahkan sahabat. Sebesar apapun dedikasi para muhaddisun, masa
hidup mereka terlalu jauh dari masa hidup Nabi, dan pemalsuan telah merajalela
(hadis asli dan palsu bercampur baur) sehingga keaslian hadis sangat sulit
didapat. Walaupun sebenarnya telah ada sistem Isnad yang dibangun oleh para
ulama’ ahli hadis klasik, namun hal itu banyak diragukan oleh para ulama’
modern yang melakukan auto kritik terhadap sistem isnad yang dibangun oleh para
pendahulunya. Kemudian kritik lain yang dilontarkan oleh kritikus modern adalah
bahwa asumsi dibelakang ‘ilm al-rijal secara esensial cacat. Argumen ini
didasarkan pada beberapa hal, di antaranya adalah cukup sulit menilai karakter
orang yang masih hidup, apalagi orang yang sudah lama meninggal, hal ini
diperparah dengan informasi yang sedikit, banyak riwayat yang saling
bertentangan. Di samping itu kejujuran dan ketidakjujuran adalah kualitas
internal yang tidak dapat diketahui dengan pasti oleh pengamat. Akibatnya, ‘ilm
al-rijal hanyalah sebuah pendekatan.[7]
Isu tentang Otoritas Kenabian
Tantangan lain terhadap sunnah adalah kritik atas kewenangan Rasul
yakni yang berkaitan dengan doktrin ‘ishmah. Doktrin ‘ishmah
(kemaksuman) Rasul bagi ahli teologi Sunni sangat dibutuhkan, karena doktrin ‘ishmah
merupakan jaminan penting integrasi Al-Qur’an itu sendiri. Jika para Rasul
berbuat salah atau dosa, mana mungkin kita mengetahui pasti bahwa mereka
menyampaikan wahyu yang mereka terima dari Allah dengan benar. Seiring dengan
meningkatnya kritik atas doktrin ‘ishmah, kritikus hadis modern
cenderung membatasi penerapan ‘ishmah hanya pada penyampaian Al-Qur’an
saja. Muhammad Abduh menyebutkan bahwa Nabi meskipun memiliki posisi yang unik,
sepenuhnya adalah manusia dan memiliki pengalaman seperti yang dialami manusia
pada umumnya. Dan mungkin saja mereka alpa dalam hal-hal yang tidak berkenaan
dengan misi mereka. Dia jelas meragukan doktrin ‘ishmah karena tidak
mungkin ditahkik.
Isu tentang Kewahyuan Hadis
Pandangan klasik tentang pandangan bahwa sunnah adalah wahyu mulai
mendapat kritikan dan mulai dipertanyakan kembali kebenarannya. Syahrur
menyebutkan pandangan yang menyebutkan bahwa sunnah adalah wahyu, patut untuk
dipertanyakan. Ia menganalisa (wa ma yantiqu an al-hawa; in huwa illa wahyun
yuhay) (QS. 53 :3-4) yang dijadikan sebagai dasar pijakan oleh kalangan
tradisional untuk menyimpulkan bahwa sunnah adalah wahyu. Menurut pembacaannya,
mendasarkan pendapat mereka dengan ayat ini sama sekali tidak tepat. Karena
kata ganti huwa dalam ayat tersebut tidak merujuk kepada Nabi, namun
secara jelas merujuk kepada kitab yang diturunkan kepada Nabi.[8]
Kata ganti huwa tidak terkait dengan kata ganti dalam kata kerja yantiqu.
Jadi meski peran kenabian yang diembannya mengantarkan beliau pada derajat yang
tinggi, namun bagaimanapun kita tidak dapat menyatakan bahwa seluruh perkataan
dan perbuatan beliau termasuk bagian dari wahyu.
Penutup
Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan di atas, kegiatan
kritik hadis terus berkembang setiap masanya. Hal ini dimulai dari yang awal
hanya memperhatikan sisi matan, pada generasi sesudahnya para ulama hadis
memperhatikan sisi sanad atau rawi. Hal tersebut dilandasi dengan adanya
kelompok yang tidak bertanggung jawab dan berkata-kata mengatasnamakan
Rasulullah.
Hadis Nabi dalam konteks modernitas akan ditentukan oleh bagaimana
cara ummat Islam memperlakukan sunnah: apakah dengan menggunakannya secara
selektif, menolaknya atau menafsirkannya kembali (reinterpretasi), dan menjadi
penting bagi kaum Muslim untuk menyesuaikan diri dengan perubahan situasi
sosial yang ada. Dan ini semua pada dasarnya dalam kerangka mewujudkan Islam
universal yang rahmatan lil ‘alamin dan juga Islam yang selalu selaras
dengan situasi dan kondisi kapanpun dan di manapun kita berada (shalih
likulli zaman wa makan).
[1] Hedhri
Nadhiran, Epistemologi Kritik Hadis, Jurnal Ilmu Agama Mengkaji Doktrin
Pemikiran dan Fenomena Agama, Nomor 2 Tahun 2017. hlm. 49
[2] Eky Wifky Afandi dan Dadah, Sejarah Periodisasi Kritik Hadis, Jurnal Ilmu Hadis Vol. 3 No. 02 April 2023, hlm. 181
[3] Abdul Karim, Pergulatan Hadis di Era Modern, Jurnal Studi Hadis Volume 3 Nomor 2 2018, hlm. 174
[4] Benny Afwadzi, Hadis di Mata Para Pemikir Modern (Telaah Buku Rethinking Karya Daniel Brown), Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis, Vol. 15, No. 2, Juli 2014, hlm. 232
[5] Abdul Karim, Pergulatan Hadis di Era Modern, Jurnal Studi Hadis Volume 3 Nomor 2
2018, Hlm 175
[6] Abdul Karim, Pergulatan Hadis di Era Modern, Jurnal Studi Hadis Volume 3 Nomor 2 2018, hlm. 176