Para ulama menerapkan beberapa metode pengajaran hadis pada masa awal. Setidaknya ada empat metode yang mereka ajarkan, yaitu mengajarkan hadis secara lisan, membacakan hadis dari suatu kitab, metode soal jawab, metode imla’.
Mengajarkan Hadis Secara Lisan
Metode ini mulai tampak sejak paruh kedua dari abad kedua hijriyyah dan setelahnya, tetapi masih dalam lingkup yang sangat sempit. Para murid pada saat itu tinggal bersama guru-gurunya dalam waktu yang lama, dan dari cara inilah mereka gunakan untuk memperoleh hadis secara lisan dari para gurunya. Sebab mereka lama sekali mendampingi guru-gurunya, akhirnya mereka disebut sebagai rawi dari guru-gurunya, atau ashab (murid) mereka. Misalnya Tsabit bin Aslam al-Bunani. Dalam kitab Tahdzib al-Tahdzib diterangkan bahwa ia menjadi shahib (murid) Anas selama empat puluh tahun. Al-Dzahabi menyebutkan bahwa Harmalah bin Yahya adalah periwayat Ibnu Wahab dan shahib al-Syafi’i.
Dalam memakai metode pengajaran secara lisan, pelajaran yang disampaikan juga diatur sedemikian rupa, sehingga umumnya para guru tidak mengajarkan hadis terlalu banyak. Diriwayatkan oleh Abu Qilabah bahwa Khalid al-Hadzdza’ berkata: “kami datang ke rumah Abu Qilabah, ketika beliau sudah mengajari kami tiga hadis, selanjutnya beliau berkata “Tiga buah hadis itu sudah banyak”. Qatadah juga menuturkan bahwa ia menghafal satu atau dua buah hadis saja. Apabila hadis itu panjang, ia menghafal separuhnya, sedang sisanya ia hafal pada majelis ilmu berikutnya.
Selain sedikit dalam mengajarkan hadis secara lisan, para ahli hadis juga membatasi dalam menerima murid. Dalam kitab al-‘Ilm, al-Laits mengatakan bahwa Abu al-‘Aliyah pergi apabila ia didatangi empat murid. Dalam kitab Tahdzib al-Kamal juga dijelaskan bahwa Al-Harits bin Qais hanya mengajar dua sampai tiga orang murid saja, apabila yang datang lebih banyak maka ia pergi.
Membacakan Hadis dari Suatu Kitab
Menurut Mustafa Azami, bentuk pengajaran melalui membacakan hadis dari suatu kitab memiliki tiga macam metode pada masa awal. Pertama metode guru membacakan kitabnya sendiri, sedangkan murid mendengarkannya pada masa awal terekan dalam riwayat Ibnu al-Madini yang berkata: “Tidak ada orang yang lebih hafal hadis di antara kami kecuali Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal. Saya mendengar ia tidak mau mengajarkan hadis kecuali harus membaca dari suatu kitab”.
Kedua ialah metode guru membacakan kitab orang lain, sedangkan murid mendengarkannya. Dalam mengajarkan hadis, ada sebagian guru yang membacakan kitab orang lain. Kitab yang dibaca biasanya adalah kitab gurunya sendiri. Diriwayatkan oleh Abu ‘Awanah bahwa Ibnu Juraij mengajarkan hadis dari kitab-kitab orang lain.
Metode ketiga yaitu murid membacakan suatu kitab hadis di hadapan gurunya. Dalam kitab al-‘Ilal dijelaskan bahwa Abd al-Razzaq menuturkan Ibnu al-Mubarak membacakan kitab kepada Ma’mar, dan sebaliknya Ma’mar juga membacakan kitab tersebut kepada Ibnu al-Mubarak. Selain itu, pada riwayat lain juga dijelaskan Ma’mar membacakan kitab di hdapan Ibnu Syihab al-Zuhri.
Sejak awal abad kedua hijriyyah, metode membacakan kitab di hadapan guru dikenal sebagai metode al-‘ardl. Metode ini sangat berkembang di kalangan ulama hadis. Para guru pada saat itu tampaknya membagikan naskah-naskah hadis pada muridnya di beberapa kesempatan. Dalam kitab Tarikh al-Islam dijelaskan bahwa al-Zuhri memberikan satu naskah kitab hadis kepada Sufyan At-Tsauri.
Metode Soal
Jawab
Di dalam jenis kitab hadis, ada athraf yaitu
kitab yang berisi pangkal hadis saja, yang dimana sistem tersebut juga dipakai
dalam pengajaran hadis dengan metode soal jawab. Dalam metode tersebut, murid
membacakan pangkal dari suatu hadis, kemudian gurunya meneruskan hadis itu
sehingga menjadi lengkap. Dalam kitab al-‘Ilal dijelaskan bahwa Ibnu
Sirin berkata: “Saya bertemu ‘Abidah dengan membawa kitab athraf hadis,
lalu kutanyakan hal itu kepadanya”.
Adapun riwayat lain, Waki’ berkata, “Ismail bin ‘Ayyasy mengambil sistem athraf milik Isma’il bin Abu Khalid dari saya (Waki’), tetapi saya melihat ia mencampur adukkan dalam mengambilnya”.
Metode Imla’
Pada mulanya metode ini kurang mendorong seorang murid untuk belajar hadis, sebab murid bisa saja memperoleh hadis dalam jumlah banyak dalam kurun waktu yang singkat. Dalam memakai metode imla’, yang paling banyak menggunakannya ialah al-Zuhri. Namun, ada sebagian ulama hadis yang tidak suka apabila ada murid yang menulis pada saat majlis ilmu sedang dimulai. Hal tersebut merupakan kekhawatiran ulama hadis terhadap kesalahan dalam penulisan hadis.
Ada beberapa murid yang menulis hadis kemudian ia menghapusnya setelah menghafal hadis tersebut. Misalnya seperti Khalid al-Hadzdza’, Muhammad Ibnu Sirin, Masruq, Hisyam bin Hassan. Sebaliknya ada juga murid yang menghafal hadis terlebih dahulu, kemudian menuliskannya. Misalnya seperti Al-A’masy, Hammad bin Salamah, Khalid, Sufyan Ats-Tsauri, Sulaiman bin Harb, dan lain-lain.
Apabila dibandingkan dengan metode-metode pengajaran sebelumnya, metode ini tidak populer pada abad kedua, bahkan jarang dipakai. Pada awal abad ketiga metode imla’ baru mulai lazim dipakai dalam membacakan kitab kepada guru, bahkan sudah menjadi metode yang populer dipakai dibandingkan dengan metode-metode lain. Al-Khathib al-Baghdadi menuturkan bahwa di antara ahli-ahli hadis klasik yang menggunakan metode imla’ ialah Syu’bah bin al-Hajjaj, Yazid bin Harun al-Wasiti, ‘Ashim bin ‘Ali bin ‘Ashim al-Tamimi, dan ‘Amr bin Marzuq al-Bahili.