Ruwahan: Silaturrahim, Sedekah, dan Membaca Alquran

Daftar Isi [Tampilkan]
Oleh: Muhammad Akmaluddin



Memasuki bulan Sya’ban, atau disebut bulan Ruwah oleh masyarakat Jawa, banyak tradisi kirim doa kepada para pendahulu yang sudah wafat. Tradisi ini disebut sebagai ruwahan, yang berasal dari kata arwah, yaitu ruh-ruh orang yang meninggal. Kirim doa kepada orang yang telah meninggal sebenarnya tidak khusus di bulan Ruwah saja. Masyarakat Jawa memiliki tradisi kirim doa tujuh hari, empat puluh hari, satu tahun, dua tahun dan seribu hari sejak meninggalnya seseorang. Di samping itu, mereka juga mempunyai tradisi haul, yaitu memperingati tiap hari wafatnya seseorang berdasarkan bulan Qamariyyah (hitungan tahun Hijriyyah), bukan bulan Syamsiyyah (hitungan tahun Miladiyyah, atau Tahun Umum (TU) menurut ulama Kudus belakangan).

Di Yogyakarta, khususnya di sebelah utara bandara Adisucipto Yogyakarta, ada tradisi ruwahan yang berlangsung tiap malam di bulan Ruwah. Acara di dalamnya antara lain sambutan dari pembawa acara yang dibuka dengan pembacaan surat al-Fatihah dan shalawat tiga kali, sambutan dari tuan rumah (shahibul hajat atau shahibul bait), dan dilanjutkan dengan sekilas mauidhah hasanah. Setelah itu, acara kemudian dilanjutkan dengan pembacaan tahlil. Tahlil sendiri sering disebut masyarakat sekitar sebagai pembacaan dzikir dan kalimat thayyibah. Pembacaan ini dipimpin oleh pemimpin ritual dan tradisi yang disebut sebagai mbah kaum atau mbah rois, atau modin bagi istilah di pesisir utara Jawa.

Tahlil diawali dengan kirim hadiah surat al-Fatihah kepada kanjeng Nabi Muhammad saw. beserta keluarga, istri, para nabi dan rasul, para wali, sahabat, ulama, Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani, Walisongo, khususnya Sunan Kalijaga, ulama sekitar, para perintis kampung, para mbah kaum yang sudah wafat, para pendahulu hadirin yang telah wafat, dan khususnya kepada arwah keluarga tuan rumah. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan al-Ikhlash tiga kali, al-Falaq, al-Nas, al-Fatihah, awal surat al-Baqarah, ayat Kursi, istighfar, shalawat, dan kemudian diakhiri dengan doa. Setelah doa selesai, mbah kaum berdoa agar amal shalih berupa bacaan yang telah dibaca diterima oleh Allah, apabila ada kesalahan bacaan terkait dengan tajwid, makhraj, dan lainnya diampuni oleh Allah.

Acara ini dilaksanakan per kawasan Rukun Tetangga (RT), atau mungkin gabungan dari beberapa RT. Misalnya di satu kawasan Rukun Warga (RT) ada tiga RT, mungkin ruwahan dibagi menjadi dua, disebabkan karena banyaknya warga dan juga terbatasnya waktu mbah kaum dan penggantinya. Jadi, mbah kaum tidak bisa digantikan sembarang orang, kecuali yang biasa ditugasi atau diminta menggantikan sendiri oleh mbah kaum. Tidak hanya di ruwahan, acara seperti hajatan, tahlilan dan lainnya juga harus dipimpin oleh mbah kaum yang mempunyai tugas dan peran khusus yang tidak tergantikan oleh orang lain.

Ruwahan sendiri minimal mempunyai tiga fungsi. Pertama sebagai sarana silaturrahim. Tradisi ruwahan mengumpulkan berbagai lapisan masyarakat, baik yang masih tinggal di sekitar tempat tersebut, yang jauh, dan yang sudah lama tidak bertemu karena kesibukan kerja atau hal lainnya. Hadis tentang silaturrahim yang memanjangkan umur dan meluaskan rezeki tentunya sudah ada di dalam sabda kanjeng Nabi. Tradisi seperti inilah yang banyak merekatkan ikatan emosional di antara masyarakat di Jawa, dan mungkin juga di masyarakat lainnya. Mereka disatukan oleh tradisi dan kearifan lokal, bukan oleh sistem birokrasi atau pekerjaan yang rumit dan memaksa. Tradisi ini juga berfungsi sebagai silaturrahim dan komunikasi antara yang hidup dan sudah meninggal, juga sebagai sarana mengingat jasa dan kebaikan keluarga yang telah mendahului pulang ke hadirat Allah.

Kedua sebagai sarana sedekah. Melakukan ibadah, termasuk sedekah, yang pahalanya untuk orang lain seperti keluarga yang telah meninggal dan terlebih bagi diri sendiri sudah disabdakan oleh kanjeng Nabi. Sedekah berupa hidangan yang diniatkan sebagai sedekah dan pahalanya dikhususkan kepada mereka yang telah meninggal tidak dilarang oleh kanjeng Nabi. Apalagi para tamu telah membacakan ayat Alquran dan doa kepada orang yang telah meninggal agar ditambah kebaikannya dan diampuni dosa yang telah dilakukannya. Makanan yang disedekahkan juga makanan yang halal, baik dan tidak berasal dari harta yang haram. Jadi, makanan ini diniatkan sebagai sedekah atau pahala dan untuk dimakan, bukan makanan yang dikirim kepada orang yang sudah meninggal.

Terakhir adalah sarana untuk membaca Alquran, shalawat dan dzikir yang ada di dalamnya. Ayat Alquran yang berisi tentang mengesakan Allah, meminta pertolongan Allah, dan semuanya yang terkait dengan kehidupan dibaca di dalamnya. Shawalat dan dzikir yang berasal dari kanjeng Nabi juga tidak terlewat. Oleh karena itu, apa yang dibaca dalam ruwahan bukanlah mantra ilmu sihir atau sulap, dan juga bukan meminta pertolongan ataupun uang kepada yang sudah meninggal. Jadi, hadis dan syariatnya sudah pasti ada dan tidak melenceng kepada kesyirikan, kecuali bagi yang tidak tahu dan tidak mau tahu.

Selain tiga hal tersebut, ruwahan juga menjadi sarana untuk tetap menghadirkan kesadaran akan kematian yang terus selalu mengikuti seseorang. Ada juga fungsi untuk mempersiapkan dan latihan ibadah agar tidak kaget dengan amaliah yang sangat banyak di bulan Ramadhan nanti. Di samping itu, nantinya ada juga tradisi berziarah ke makam beberapa hari sebelum bulan Ramadhan datang. Jadi, bulan Ruwah merupakan bulan yang penuh dengan doa kepada arwah orang yang sudah meninggal dan sebagai persiapan ruh seseorang untuk menghadapi bulan Ramadhan yang akan datang setelahnya.

Baca juga:
Labels : #Opini ,
Menunggu informasi...

Posting Komentar