Penilaian hadis sahih atau tidak sudah lama menjadi kajian yang tidak ada habisnya. Al-Tahanawi (w. 1394/1974) dalam Qawa’id fi Ushul al-Hadits mengatakan bahwa penilaian hadis adalah berkenaan ijtihad masing-masing ulama (amr ijtihadi), dan masing-masing dari mereka mempunyai perspektif sendiri (wa li kullin wijhah). Walaupun begitu, metode penilaian hadis paling tidak bisa diukur, diuji dan dibandingkan dengan kriteria ulama-ulama lainnya, utamanya kitab yang dianggap shahih seperti Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim maupun kitab yang ada sebelumnya. Hal inilah yang akan ditulis oleh Kamaruddin Amin, lulusan Universitas Leiden, Belanda, dan Universitas Bonn, Jerman, yang sekarang menjadi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI.
Amin merupakan penerus kajian mazhab tradisionalis ala Harald Motzki (w. 2019), penggagas isnad-cum-matn analysis (analisis kesahihan hadis berdasarkan sanad dan matan sekaligus). Dalam artikelnya, “Nasiruddin Al-Albani on Muslim’s Sahih: A Critical Study of His Method” yang diterbitkan oleh jurnal Islamic Law & Society pada tahun 2004, Amin mempertanyakan metode yang digunakan Nashiruddin al-Albani (w. 1999), khususnya terkait dengan sighat tahammul wa ada’ (metode penyampaian dan penerimaan hadis) dan konsistensi metodenya. Ia menguji metode yang digunakan al-Albani dengan hadis-hadis lain yang ada dalam koleksi kitab hadis, dan juga membandingkan dengan metode yang digunakan sarjana non-Muslim.
2. Melemahkan Hadis Shahih Muslim
Ratusan hadis
yang dianggap shahih oleh banyak ulama dianggap dhaif oleh al-Albani, utamanya hadis
yang ada di Shahih Muslim (h. 149). Amin menjelaskan bagaimana metode yang
digunakan al-Albani dalam menentukan apakah suatu hadis shahih atau tidak,
implikasi metodenya jika diterapkan di hadis yang lain, dan hadis yang dianggap
lemah oleh al-Albani dari perspektif ulama hadis dan metode sarjana non-Muslim
dalam memberikan penanggalan terhadap hadis (h. 149).
Dari 360 hadis
yang diriwayatkan oleh Abu al-Zubair dari Jabir, Amin berargumen bahwa Muslim (w.
261 H) tidak menganggap istilah riwayat hadis yang digunakan para tabiin
sebagai kriteria yang meyakinkan untuk menentukan apakah rawi tsiqah atau tidak
(h. 149). Argumen tersebut mempertanyakan metode al-Albani dalam menggunakan
kriteria yang digunakannya dalam menentukan kesahihan riwayat. Pengujian
kembali Amin atas satu hadis yang dilemahkan oleh al-Albani, yaitu riwayat Abu
al-Zubair dari Jabir, memunculkan pertanyaan tentang historisitas sekitar 124
hadis dalam Shahih Muslim (h. 149).
Al-Albani
melemahkan 990 hadis yang dianggap shahih oleh mayoritas ulama. Beberapa
diantaranya ada di dalam kitab Shahih Muslim. Dengan hal tersebut, beberapa
ulama seperti Hasan bin ‘Ali al-Saqqaf, Mahmud Sa’id Mamduh, ‘Abd Allah
al-Harari, Asad Salim Tayyim dan Sa’id Ramadhan al-Buthi merespon klaim
al-Albani (h. 150).
Amin memulai
kajiannya dengan menyebutkan beberapa tokoh revisionis yang masih mengkaji
sisi-sisi hadis seperti Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, Joseph van Ess, G.H.A.
Juynboll, dan dilanjutkan dengan mereka yang menolak hadis sebagai materi yang
dapat dipercaya untuk merekonstruksi kehidupan Nabi dan abad pertama Hijriyah
seperti John Wansbrough, serta Patricia Crone dan Michel Cook dalam Hagarism
(h. 151-152).
Kemudian ia melanjutkan dengan menyebutkan beberapa tokoh tradisionalis seperti Musthafa al-A’dhami (Mustafa Azami), Michael Cook, dan Harald Motzki (h. 152). Penjelasan dua mazhab utama kajian hadis ini bertujuan untuk melihat bagaimana melakukan penanggalan atas hadis, yang akan berguna untuk melihat metode yang diterapkan al-Albani. Amin mencontohkan satu hadis yang dilemahkan al-Albani, yang terdapat dalam Shahih Muslim, yaitu tentang keharusan untuk berkurban dengan sapi dewasa (la tadzbahu illa musinnatan).
3. Abu al-Zubair dan Tadlis Hadis
Menurutnya,
metode penentuan kesahihan hadis Al-Albani sebagian besar berdasarkan analisis
sanad, dengan hanya menggunakan kitab rijal. Hadis tentang sapi tersebut
dianggap lemah karena rawinya, Abu al-Zubair, adalah mudallis (orang
yang menyembunyikan atau menyamarkan kesalahan dalam sanad), yang mana
riwayatnya dari Jabir tidak bersambung. Abu al-Zubair juga tidak jelas
menyatakan apakah ia mendengar langsung dari Jabir atau tidak, tapi hanya
menggunakan ‘an. (h. 154).
Berdasarkan ilmu
hadis, jika ada hadis diriwayatkan oleh mudallis tidak bisa
dipertanggungjawabkan jika ia tidak menyatakan dengan jelas bagaimana cara ia
menerima hadis sebagaimana riwayat Abu al-Zubair. Jadi menurut al-Albani,
riwayat mudallis (Abu al-Zubair) dari gurunya (Jabir) dengan riwayat ‘an, dan juga riwayat lainnya harus
ditangguhkan (dianggap lemah), sampai mudallis
tersebut menjelaskan riwayat yang diterima atau ada hadis lain yang
memperkuatnya (h. 154).
Di sisi yang
lain, al-Albani mengatakan jika riwayat al-Laits bin Sa’d dari Abu al-Zubair
dari Jabir dianggap shahih. Hal ini dikarenakan Abu al-Zubair menjelaskan
kepada al-Laits tentang hadis-hadis yang didengarkan langsung dari Jabir dalam Silsilat
al-Ahadits al-Dla’ifah-nya. Dari 360 riwayat Abu al-Zubair dari Jabir dalam
kitab koleksi hadis (tidak hanya kutub al-tis’ah saja), hanya ada 27
yang diriwayatkan al-Laits (h. 154-155).
Amin mengatakan
sebenarnya ada dua hadis riwayat Uqbah bin ‘Amir dan Mujasyi’ bin Mas’ud yang
memperbolehkan kurban dengan al-jadza’ min al-dla’n (biri-biri jantan
umur satu tahun), sebagaimana riwayat hadis Abu al-Zubair. Namun menurutnya,
al-Albani tidak menggunakan kedua hadis tersebut sebagai penguat dari hadis Abu
al-Zubair. Jika menggunakannya, maka status hadis yang diriwayatkan Abu
al-Zubair tidak lagi lemah karena tadlis, tapi naik menjadi shahih.
Namun al-Albani memaknainya secara literal dan enggan menggunakan penafsiran
karena menganggap hadis Abu al-Zubair tidak shahih. Padahal penafsiran hadis
adalah salah satu cara untuk menilai kesahihan hadis. Jadi menurut al-Albani,
jika ada hadis lemah, tidak perlu lagi ditafsirkan (h. 155).
Menurut Amin,
al-Albani menganggap bahwa hadis ‘Uqbah bin ‘Amir hanya berlaku untuk dirinya
saja. Sedangkan untuk hadis Mujasyi’ bin Mas’ud, ia mengambil hadis lain untuk
menafsirkannya, yaitu dengan menggunakan hadis al-Barra’. Jadi menurut
al-Albani, hadis-hadis tersebut menguatkan kelemahan hadis Abu al-Zubair (h. 156)
Amin mengatakan bahwa metode al-Albani jelas: pertama, ia menganalisis sanad dari sebagian hadis, dan jika sanad tersebut lemah, maka status hadisnya juga lemah. Ia tidak perlu melakukan penafsiran hadis yang lemah, yang di mana penafsiran adalah salah satu aspek untuk menentukan kesahihan hadis. Ketentuan ini tidak sesuai dengan ulama hadis terkemuka seperti Ibn Hajar al-’Asqalani (h. 156).
4. Riwayat Abu al-Zubar dari Jabir dalam Shahih Muslim
Riwayat Abu
al-Zubar dari Jabir dalam Shahih Muslim ada 194. Dari jumlah itu, 125
hadis menggunakan sighaht ‘an,, dan
sisanya 69 menggunakan sighat sami’a
dan sighat semacamnya. Jika mudallis
menggunakan lafal sami’a, maka
riwayatnya dapat diterima menurut al-Albani. Jadi di sini terdapat masalah:
kenapa riwayat Abu al-Zubair ditolak, padahal ia juga menggunakan lafal sami’a dalam periwayatannya? Dengan
demikian, Muslim tidak mendasarkan kualitas kesahihan sanad saja dalam
menentukan kualitas hadis (h. 156-159).
Hal serupa
terjadi pada kajian Motzki terhadap sanad Ibn Juraij dari Atha’ dalam kitab Mushannaf
‘Abd al-Razzaq, yang terkadang ia menggunakan sami’a dan ‘an, silih
berganti, yang mana ini terjadi di abad kedua Hijriyah. Jadi, hal ini juga dapat
diterapkan pada hadis Abu al-Zubair, yang menggunakan sami’a dan ‘an silih
berganti, yang dianggap mudallis oleh
al-Albani (h. 159-160).
Menurut Amin,
sighat tahammul wa ada’ (seperti sami’a
dan ‘an,) tidak digunakan secara
konsisten oleh Muslim maupun penulis kitab hadis lainnya pada waktu. Mereka
juga tidak merubah atau membuat-buat sighat yang digunakan oleh murid dan guru
pada masa itu. Jadi kemungkinan Muslim menerima riwayat Abu al-Zubair dan
menilainya shahih, terlepas apakah ia menerima hadis dari gurunya secara
langsung ataupun tidak. Sighat tersebut juga telah digunakan para shahabat dan
tabiin sebagai generasi pertama rawi hadis, yang mana sighat itu tidak
memainkan peran yang menentukan dalam menentukan kualitas rawi. Kesimpulan ini
meruntuhkan pendapat al-Albani yang menggunakan sighat tahammul wa ada’
sebagai kriteria yang menentukan untuk menilai suatu hadis (h. 160).
Di samping itu, 360 riwayat Abu al-Zubair dari Jabir dalam koleksi kitab hadis, ada 27 riwayat al-Laits dari Abu al-Zubair. Menurut Amin, hanya satu dari 27 riwayat tersebut yang menggunakan sighat sami’a. Jadi, al-Albani berada dalam masalah jika mengatakan bahwa riwayat al-Laits dari Abu al-Zubair dianggap sahih, padahal hampir semuanya menggunakan sighat ‘an,. Jadi al-Albani, yang mengikuti Ibn Hazm, gagal untuk mempertimbangkan status mudallis dari Abu al-Zubair, atau mungkin ia gagal untuk menerapkan ilmu hadis secara konsisten (h. 160-162).
5. Penggunaan Isnad-cum-Matn Analysis (ICMA)
Jika dilihat dari
analisis sanad, Zuhair bin Mu’awiyah menjadi common link (CL) dalam
hadis Abu al-Zubair. Hal ini didasarkan pada pencarian Amin dari riwayat Ibn
Majah, al-Nasa’i, Muslim, al-Baihaqi, Ibn Khuzaimah, al-Tamimi dan al-Thahawi.
Semua murid Zuhair, kecuali ‘Abd al-Rahman, menggunakan sighat “haddatsana
Abu al-Zubair.” CL dianggap rawi penghubung yang signifikan dari hadi-hadis
yang ada, yang mempunyai banyak murid di bawahnya. Penafsiran CL, apakah
sebagai pemalsu, pembuat atau kolektor hadis awal yang sistematis, menentukan
sejauhmana sebuah hadis dapat diberi penanggalan.
Dari Zuhair ke
Abu al-Zubair ke Jabir ke Rasulullah, semuanya melalui jalur tunggal (single
strand, SS). Abu al-Zubair dinilai tsiqah oleh Ibn Ma’in, al-Nasa’i dan Ibn
al-Madini, sedangkan yang lainnya ada yang menilai mudallis. Menurut Amin, dari kaidah jarh wa ta’dil, status
Abu al-Zubair tidak bisa dilakukan rekonsiliasi (jam‘u). Menurutnya, setiap
hadis Abu al-Zubair harus diperlakukan berdasarkan kelebihannya masing-masing (h.
162-165). Sedangkan dalam analisis matan, khususnya para ulama hadis, riwayat
Abu al-Zubair diperkuat oleh riwayat lain. Namun al-Albani tidak mau
menafsirkan riwayat Abu al-Zubair karena dianggap lemah (h. 165-166).
Menurut sarjana
non-Muslim, jika menggunakan penanggalan berdasarkan analisis sanad, ada
beberapa perhitungan yang muncul. Menurut perhitungan Michael Cook dan Patricia
Crone, hadis Abu al-Zubair diedarkan oleh Muslim (w. 261 H) sebagai kolektor hadis (h. 166). Menurut
Joseph Schacht dan G.H.A. Juynboll, karena hadis Abu al-Zubair dengan Zuhair
bin Mu’awiyah (w. 173 H) sebagai CL dan mempunyai pendukung berupa partial
common link (PCL), maka hadis tersebut dapat diberi penanggalan sesuai CL.
Namun jalur tunggal (SS) dari Zuhair dari Abu al-Zubair dari Jabir dari
Rasulullah tidak dianggap sahih.
Menurut Schacht dan Juynboll, riwayat Zuhair sahih dan historis. Keduanya menganggap CL sebagai fabrikator dan originator. Menurut Harald Motzki dan Gregor Schoeler, hadis tidak bisa diberi penanggalan sebelum CL, karena tidak ada variasi teks yang tersedia, tidak ada bundel isnad yang mendukung, dan hadisnya juga serupa, tidak independen. Jadi wafatnya Zuhair dianggap sebagai terminus ante quem (tanggal paling akhir munculnya hadis). Pandangan ini berbeda dengan pandangan al-Albani, yang menerima begitu saja klaim Zuhair bahwa ia telah menerima hadis dari Abu al-Zubair (h. 167-172).
6. Catatan
Penerapan kaidah
kesahihan al-Albani sebagaimana dibahas oleh Amin memang problematik. Sighat tahammul
wa ada’ sebenarnya tidak bisa jadi patokan karena sighat itu baru distandarkan
setelah kitab-kitab koleksi hadis selesai ditulis. Terlebih dalam pendapat
Malik (w. 179 H) dan mayoritas ulama Maghrib menganggap semua sighat tahammul
wa ada’ sama, tidak hirarkis sebagaimana pandangan ulama Masyriq (Akmaluddin, 2015, 2017). Oleh karena itu, penggunaan haddatsana,
akhbarana, anba’ana dan lainnya tidak terlalu mempengaruhi kualitas hadis. Jadi
tidak mengherankan jika al-Syafi’i (w. 204 H) mengatakan bahwa kitab Muwaththa’ Malik adalah
kitab yang paling sahih, karena metode yang digunakan Malik tidak diukur dengan
standar yang diterapkan oleh ulama setelahnya.
Jika dilihat dari
pembagian Hamzah Abdullah al-Mallibari (2003), ada dua tipe ulama dalam menentukan
kesahihan suatu hadis. Pertama mazhab mutaqaddimun yang sebisa
mungkin memunculkan bukti (qara’in) dan ‘illat hadis untuk
menilai setiap hadis. Mazhab ini disebut sebagai madzhab qara’in wa ‘ilal
al-hadits. Kaidahnya, tiap hadis mempunyai bukti dan keistimewaan
masing-masing (li kulli hadits qara’in wa mulabasat khashshah), yang
tidak dapat digeneralisis. Dengan demikian, mazhab pertama tidak melakukan
generalisasi dan menghindari kesalahan penilaian hadis dengan standar yang
sama. Kedua adalah dhahir al-isnad, yaitu mereka yang menilai kesahihan
hadis hanya dinilai dari sanadnya. Itupun mereka terkadang menilai dari rawi
dan sighat tahammul wa ada’ yang muncul dalam riwayat. Metode ini banyak
dipakai oleh al-Albani, Nuruddin ‘Itr (w. 2020) dan Abu Ghuddah (w. 1997).
Penilaian al-Albani, yang diuji oleh Kamaruddin Amin, menguatkan pandangan al-Mallibari tentang penilaian kesahihan hadis yang berdasarkan sanad saja. Di samping itu, penilaian kesahihan dengan metode sarjana non-Muslim layak diapresiasi karena menghidupkan kembali kajian kitab-kitab pra kanonik hadis, bahkan terkadang juga kitab non-Sunni yang selama ini tidak banyak dibahas.