1. Alquran dan Hadis Qudsi
Kajian hadis
qudsi merupakan persimpangan
antara hadis Nabawi dan Alquran. Jika hadis Nabawi berasal dari Rasulullah
sendiri, baik makna dan lafalnya, dan Alquran merupakan wahyu dari Allah yang
menjadi mukjizat, maka hadis qudsi berada di antara keduanya. Hadis qudsi diartikan
sebagai sabda Rasulullah sendiri namun maknanya berasal dari Allah. Metode
penyampaiannya sendiri sama dengan penyampaian wahyu. Penyandaran hadis qudsi
pada Allah hanyalah pada isinya, bukan lafalnya menurut Manna’ al-Qaththan (nisbah
li madlmunihi, la nisbah li alfadhihi).
Muhammad bin Ja’far al-Kattani menyebut hadis
qudsi ini sebagai al-ahadits al-qudsiyyah al-ilahiyyah al-rabbaniyyah.
Beberapa karya hadis qudsi antara lain al-Arba’in al-Ilahiyyah karya
al-Maqdisi, Misykat al-Anwar karya Ibn ‘Arabi al-Mursi, al-Ittihafat
al-Saniyyah bi al-Ahadits al-Qudsiyyah karya al-Munawi, al-Ahadits
al-Ilahiyyah karya al-Mustamli, Arba’un Qudsiyyatan karya ‘Ali
al-Qari, Manhaj al-Kamal fi ma fi al-Hadits min Kalam al-Jalal karya
‘Ali al-Yamani dan beberapa karya lainnya, baik yang masih berupa manuskrip (makhthuth)
maupun yang hanya tinggal nama saja (mafqud).
Kajian komprehensif tentang hadis qudsi
dilakukan oleh William A. Graham dalam bukunya, Divine Word and Prophetic
Word in Early Islam. Di dalam buku tersebut, Graham membahas konsep wahyu
di masa awal Islam, baik yang terkait dengan Alquran maupun “ekstra Alquran,”
kajian hadis qudsi di sarjana Barat, ulama muslim dan kajian tasawuf, sumber,
bentuk, materi, dan tema hadis qudsi, serta beberapa hadis qudsi, terjemah dan
sumber yang dikaji di dalam bukunya.
Ulasan ini akan membahas tentang tulisan artikel Roy Vilozny (Universitas Haifa) yang berjudul “Imamiyyah Records of Divine Sayings: Some Thoughts on al-Ḥurr al-ʿAmili’s al-Jawahir al-saniyya fi-l-aḥadith al-qudsiyya.”
2. Biografi al-’Amili
Artikel Vilozny
membahas tentang hadis qudsi sebagai sebuah sub-kategori hadis yang berdiri
sendiri di dalam karya Syiah Imamiyyah. Ia membahas karya al-Hurr al-'Amili (w.
1104/1693) yang berjudul al-Jawahir al-Saniyyah fi al-Ahadits al-Qudsiyyah.
Karya ini diduga merupakan karya awal Syiah yang secara khusus membahas tentang
hadis qudsi. Dari berbagai bentuk hadis qudsi dalam karya al-Amili, perhatian
khusus diberikan pada hadis-hadis di mana seorang imam meriwayatkan dari Alllah
secara langsung, tanpa perantara dalam bentuk nabi atau malaikat. Menurut
Vilozny, hadis-hadis semacam itu merepresentasikan persepsi yang lebih
fleksibel tentang hubungan imam dengan Allah daripada risalah-risalah teologis yang bermula dari
periode dinasti Buwaihiyyah (334/945 H – 447/1055 M) yang penuh dengan
riwayat-riwayat yang berisi firman-firman Allah
yang ia anggap layak untuk dikompilasi secara independen (h. 112). Bani Buwaih, yang mengikuti Zaidiyyah dan kemudian Imamiyyah, mengendalikan kekuasaan dan di tengah dan selatan Iran dan Iraq pada tahun 934–1055 M.
Kajian Syiah atas
hadis sesuai dengan iklim intelektual secara umum di Iran Safawi yang dimulai
sejak awal abad ke-11 hingga abad ke-17. Hal ini disebabkan karena
berkembangnya mazhab Akhbari secara bertahap. Al-’Amili pernah belajar dengan
seorang murid dari Muhammad Amin al-Astarabadi (wafat 1033/1624), yang dianggap
sebagai pendiri mazhab Akhbari (h. 112).
Akhbariyyah
adalah para ulama “yang terutama mengandalkan hadis (tentu dalam versi Syiah), akhbar, dari para imam sebagai sumber
pengetahuan agama, berbeda dengan Usūliyyah, yang mengakui bagian yang lebih
besar dari nalar spekulatif dalam prinsip-prinsip (ushul) teologi dan hukum
agama. Ulama yang dijadikan rujukan dalam mazhab Akhbariyyah antara lain
al-Kulaini, al-Shaduq, al-Mufid, al-Murtadla, al-Thusi dan lainnya.
Kajian Vilozny
dalam artikelnya membahas hadis qudsi di mazhab Syiah secara khusus.
Menurutnya, Graham, dengan mendasarkan diri terutama pada al-Jawahir
al-Saniyyah karya al-’Amili, menyoroti dua aspek dasar. Pertama,
bahwa keberadaan al-Jawahir al-Saniyyah menunjukkan pentingnya
sabda-sabda ilahi dalam tradisi Syiah. Kedua, bahwa sebagian besar
hadis-hadis dalam al-Jawahir al-Saniyyah adalah khas dari sumber-sumber
Syiah. Graham memberikan penekanan pada pandangan Syiah tentang wahyu
“ekstra-Qur’an” atau hadis qudsi, terutama yang berkaitan dengan sifat wahyu
dari ucapan Imam, yang perlu dipertimbangkan secara khusus (h. 112-113).
Sulit untuk mengatakan dengan pasti kapan keberadaan hadis-hadis Nabi (atau, dalam kasus Syiah, juga hadis-hadis Imamiyyah) yang menampilkan firman Allah sebagai kutipan langsung, yang mulai menimbulkan kesulitan teologis bagi para pemikir Muslim. Diskusi paling awal tentang masalah ini yang dapat dilacak oleh Graham berasal dari paruh pertama abad ke-5 hingga ke-11 Hijriah dalam sebuah karya penulis anonim berjudul Muqaddimat Kitab al-Mabani fi Nadhm al-Ma’ani (ditulis pada 425/1033). Selama berabad-abad, diskusi tentang fenomena ini terus berkembang di antara para ulama yang berusaha untuk mengatasi anomali antara Al-Qur’an dan ḥadis Nabi. Penggunaan istilah samar “susunan” (nadhm) oleh penulis anonim di atas untuk menggambarkan garis yang memisahkan keduanya secara bertahap memberi jalan kepada beberapa istilah yang menjadi sangat penting dalam wacana ini: “ekspresi harfiah” (lafdh) dan “makna” (ma’na) (h. 115).
Lafdh digunakan untuk menggambarkan materi Al-Qur’an dengan menekankan
persepsi Nabi sebagai wadah yang melaluinya firman Allah diwahyukan kepada umat
manusia tanpa perubahan apapun. Ma’na digunakan untuk menekankan fakta
bahwa firman Allah non-Qur’an, meskipun menyampaikan makna yang sebenarnya, merupakan
hasil dari pengulangan Nabi atas makna-makna ilahi yang diwahyukan kepadanya.
Kesimpulan yang tak terelakkan dari perbedaan ini adalah bahwa firman Allah di
luar Al-Qur’an tidak memiliki karakter kemukjizatan Al-Qur’an. Hal ini juga
memunculkan berbagai teori dan spekulasi mengenai berbagai bentuk dan tingkatan
wahyu ilahi (wahy, ilham, dan lainnya) (h. 115).
Dalam
penelitiannya, Vilozny mengatakan bahwa karya Sunni tentang hadis qudsi sudah
ada sejak abad ke-6 hingga ke-12. Sedangkan karya dari para ulama Syiah
kemungkinan baru muncul lima abad kemudian. Selain al-Jawahir al-Saniyyah,
Vilozny menemukan tiga karya lainnya, yaitu al-Balagh al-Mubin fi Ahadits
al-Qudsiyyah karya Khalaf al-Huwayzi (w. 1074/1664), Kalimat Allah
karya Hasan al-Syirazi (w. 1400/1980), dan karya yang menekankan kesamaan
antara hadis Sunni dan hadis Syiah diterbitkan di Teheran pada tahun 2004 oleh
pusat ekumenis, yaitu al-Majma’ al-‘Alami li al-Taqrib bayn al-Madzahib
al-Islamiyyah, yang berjudul judul Silsilat al-Ahadits al-Musytarakah
(terbit 1990) (h. 113 dan 118).
3. Kitab al-Jawahir al-Saniyyah
Al-‘Amili mendefinisikan hadis qudsi sebagai “firman-firman Allah yang diriwayatkan oleh para ulama, yang baik dengan otoritas para imam yang murni [yang selanjutnya meriwayatkan], dengan otoritas Nabi yang terpilih [yang meriwayatkan] dari Dzat Ilahi yang Suci (ʿan al-dzat al-muqaddimah al-ilahiyyah).” Yang patut dicatat adalah cara al-Amili menjelaskan hadis-hadis yang berisi firman Allah tentang otoritas para nabi dan para imam. Jika pada hadis yang pertama ia menggunakan frasa “para nabi yang kepadanya kalam ini ditujukan” (man khuthiba bi-dzalika al-kalam), pada hadis yang kedua, kata-katanya adalah “para imam yang meriwayatkan (kalam) ini dari Allah” (al-mukhbir bihi ‘an Allah jalla jalaluhu min a’immatina). Pilihan kata-katanya mencerminkan keengganan yang halus untuk menganggap para imam memiliki tingkat interaksi yang sama dengan Allah, yang biasanya hanya dimiliki oleh para nabi. Hal ini juga sejalan dengan definisi al-Amili yang telah disebutkan di atas tentang hadis qudsi yang menggambarkan para imam sebagai penyampai firman Allah atas otoritas Nabi. Kesan ini didukung lebih lanjut oleh kata pengantar singkat al-‘Amili pada bagian kompilasi yang memuat bab-bab hadis qudsi tentang otoritas para imam (h. 119-124).
Al-ʿAmili menjelaskan bahwa dalam bab-bab ini, ia juga
mengumpulkan hadis qudsi yang diriwayatkan oleh para imam dari Allah, tanpa
menyebutkan secara spesifik siapa perawi hadis-hadis tersebut. Al-‘Amili
menambahkan bahwa selain para nabi, para penyampai juga bisa jadi malaikat.
Menurut al-‘Amili, tidak mungkin seorang imam menjadi penerima langsung kalam
Ilahi. Hal ini juga sejalan dengan keyakinan Imamiyyah bahwa para imam adalah muhaddatsun,
yakni, mereka yang kepadanya-dalam batasan tertentu malaikat berbicara, sebuah
fenomena yang pada akhirnya dikategorikan sebagai ilham ilahi (ilham) dan bukan
wahyu (h. 119-124).
Ketegangan dan problematika seputar ketidakjelasan para nabi dan imam, dan terutama Nabi Muhammad, muncul dari hirarki awal hadis Imamiyyah. Akibatnya, keinginan untuk menarik garis yang memisahkan yang pertama dari yang kedua, khususnya yang berkaitan dengan dimensi wahyu, secara bertahap mendorong para ulama Imamiyyah untuk mengembangkan serangkaian definisi yang akan memperjelas bahwa pengalaman wahyu para nabi memiliki sifat yang lebih tinggi (wahy versus ilham), namun tetap memberikan ruang dalam doktrin bagi hadis-hadis yang menggambarkan saluran langsung para imam dalam menerima pengetahuan dari Tuhan. Indikasi-indikasi upaya untuk memecahkan kesulitan teologis ini sudah muncul dalam hadis-hadis yang dinisbatkan kepada para imam itu sendiri, dan tampaknya kristalisasi konsepsi tentang dua pengalaman wahyu yang berbeda-satu diperuntukkan bagi para nabi dan satu lagi bagi para imam-terjadi secara relatif lebih awal, sebelum periode Buwaihiyyah (334/945-447/1055) (h. 124-125).
Gema dari proses institusionalisasi ini
masih dapat ditemukan, misalnya, dalam tanggapan kritis al-Syaikh al-Mufid
terhadap presentasi gurunya, Ibn Babawaih, mengenai gagasan wahyu Imamiyyah.
Yang relevan dengan pembahasan ini adalah klarifikasi al-Mufid bahwa menurut
keyakinan Imamiyyah, Tuhan membuat bukti-bukti Tuhan setelah Nabi Muhammad
(yakni para imam) mendengar perkataan yang berisi pengetahuan tentang masa
depan yang disampaikan-Nya kepada mereka (kalam yulqihi ilayhim fi ‘ilm ma
yakun). Akan tetapi, ucapan semacam ini tidak disebut wahy menurut
al-Mufid, karena adanya konsensus di antara kaum Muslimin (ijma’ al-muslimin)
bahwa tidak ada seorang pun setelah Nabi yang bisa menerima wahyu ilahi (wahy).
Akal saja, menurutnya, tidak membuat para imam menjadi penerima wahyu ilahi (wahy)
(h. 124-125).
Penjelasan al-`Amili tentang kurangnya rujukan dari para imam kepada para penerima asli dalam hadis-hadis qudsi ini bisa jadi merupakan aplikasi retrospektif (berhubungan dengan waktu dahulu) dari persepsi teologis yang lengkap tentang wahyu. Misalnya imam kedelapan, ʿAli al-Ridla, ketika ditanya oleh seorang murid tentang pendapatnya dalam perdebatan yang sedang berlangsung antara para penganut determinisme (jabr) dan para pendukung kapasitas manusia untuk bertindak secara independen (istitha’ah), ia menginstruksikan murid tersebut untuk menulis basmalah dan kemudian mendiktekan kepadanya: “’Ali bin al-Ḥusain [Imam keempat], salam sejahtera baginya, berkata: ‘Allah Yang Mahatinggi berfirman’,” yang kemudian posisi Ilahi terkait dengan perselisihan teologis ini disajikan dalam firman Allah sendiri (h. 125-126).
Ini adalah kasus yang jarang terjadi di mana
pemahaman dan pendekatan seorang imam terhadap sebuah ucapan Ilahi yang
ditujukan kepada salah seorang pendahulunya-atau setidaknya, seperti yang
dipahami oleh pengarang hadis ini-menemukan ekspresinya. Perintah untuk menulis
basmalah sebelum ucapan ini juga tidak kalah mengejutkan. Dari sudut pandang
orang luar, bahwa Tuhan direkrut, mungkin sebagai jalan terakhir, untuk
menentukan perdebatan teologis yang memanas juga patut dicatat. Sebuah
pertanyaan yang menarik-yang juga akan diteliti dalam studi yang mungkin akan
dilakukan di masa depan yang telah saya singgung di atas-adalah apakah kita
dapat mendeteksi korelasi antara jumlah firman Allah di sekitar pokok bahasan tertentu
dengan sentralitas pokok bahasan tersebut di dalam sebuah perdebatan doktrinal,
teologis, atau hukum (h. 125-126).
Teks lengkapnya
sebagai berikut:
محمد بن يعقوب عن
محمد بن أبي عبد الله وغيره عن سهل ابن زياد عن أحمد بن محمد بن أبي نصر قال: قلت
لأبي الحسن الرضا عليه السلام: ان بعض أصحابنا يقول بالجبر، وبعضهم يقول
بالاستطاعة. قال: فقال لي اكتب: بسم الله الرحمن الرحيم قال علي بن الحسين عليه
السلام: قال الله عز وجل: يا بن آدم بمشيتي كنت أنت الذي تشاء لنفسك ما تشاء،
وبقوتي أديت فرائضي وبنعمتي قويت على معصيتي، جعلتك سميعا بصيرا ما أصابك من حسنة
فمن الله وما أصابك من سيئة فمن نفسك، وذلك اني أولى بحسناتك منك وأنت أولى
بسيئاتك مني، لا اسأل عما أفعل وهم يسألون، قد نظمت لك كل شئ تريد.
Contoh kasus lainnya adalah
sebuah hadis yang dikutip oleh al-ʿAmili dari Amali al-Ṭhusi (w. 460/1067)
tentang Imam Ja’far al-Ṣadiq. Teks lengkapnya adalah sebagai berikut:
أبو عمر ومحمد بن عمر بن عبد العزيز الكشي عن محمد ابن إبراهيم عن محمد بن
علي القمي عن عبد الله بن محمد بن عيسى عن هشام بن سالم عن زرارة عن سالم بن أبي
حفصة قال: دخلت على أبي عبد الله عليه
السلام فقلت: عند الله تحتسب مصابنا برجل كان إذا حدث قال قال رسول الله (ص)، فقال
أبو عبد الله عليه السلام: قال الله ما من شئ الا وقد وكلت به غيري الا الصدقة
فاني أتلقفها بيدي لقفا، حتى أن الرجل والمرأة ليتصدق بتمرة أو بشق تمرة فأربيها
كما يربي أحدكم فلوه أو فصيله فيلقاه يوم القيامة وهو مثل جبل أحد وأعظم من أحد
Tampaknya, di mata seorang murid Imamiyyah, kemampuan sang Imam untuk menyebut nama Allah secara langsung merupakan hal yang tidak biasa. Sejauh yang dapat diketahui dari versi yang masih ada dari riwayat ini, meskipun terkejut, sang murid menerima keadaan ini tanpa mengajukan pertanyaan teologis apa pun. Berlatar belakang pada saat-saat kematian Imam al-Baqir, riwayat ini mungkin berfungsi sebagai sarana untuk menyoroti keabsahan imamah putranya. Selain itu, mengutip Tuhan secara langsung digambarkan di sini sebagai sebuah kebajikan yang lebih mulia daripada mengutip Rasul Allah, yang menurut Salim menjadi ciri khas Imam al-Baqir yang telah wafat. Karena ada banyak kutipan Tuhan yang juga dinisbatkan kepada al-Baqir, tampaknya Salim tidak pernah berkesempatan mendengar al-Baqir mengucapkan hadis semacam itu.
Atau, mungkin lebih mungkin,
mengangkat dan melegitimasi status al-Shadiq tidak boleh dilihat sebagai
merendahkan status ayahnya, meskipun kisah di atas mengaitkan suatu kebajikan
kepadanya, di mana ayahnya diduga tidak bersalah. Al-ʿAmili tidak terlalu
memperhatikan masalah-masalah ini, baik karena ia tidak menganggapnya sebagai
masalah atau, karena terlepas dari kerumitannya, hadis ini masih sesuai dengan
jenis hadis qudsi (h. 127).
Fakta bahwa hadis yang sama, dengan beberapa variasi, dinisbatkan kepada Nabi Muḥammad dalam koleksi hadis Sunni adalah hal yang menarik. Di satu sisi, hal ini dapat memberikan kesan bahwa kutipan langsung al-Shadiq terhadap Tuhan hanyalah hasil dari penghilangan rantai periwayatan yang lazim, seperti yang dijelaskan dalam kata pengantar al-ʿAmili yang telah disebutkan sebelumnya. Di sisi lain, keheranan sang murid tampaknya berlebihan jika memang demikian adanya. Penempatan kutipan langsung dari Nabi dan Tuhan pada dua tingkat yang berbeda pasti berarti bahwa, setidaknya di mata sang murid, keduanya mewakili dua tingkat yang berbeda dari sesuatu yang lebih dalam dan lebih bermakna daripada penghilangan rantai periwayatan.
Dalam konteks ini, komponen lain dari doktrin Syi`ah, yakni, bahwa ilmu itu diwariskan (al-‘ilm yutawaratsu), harus disebutkan. Menurut prinsip ini, setiap imam mewarisi ilmu pendahulunya, sebuah aturan yang juga berlaku dalam kasus imam pertama, ‘Ali b. Abi Thalib, yang diyakini mewarisi ilmu Nabi saw. Dengan demikian, ketiadaan rujukan imam kepada penerima asli firman Allah, dalam hal ini Nabi Muhammad, dapat dijelaskan sebagai hasil dari fakta bahwa informasi tersebut sampai kepada beliau melalui jalur turun-temurun. Namun, tampaknya, bahkan dalam terang gagasan ini, mengutip Tuhan secara langsung, menurut penilaian sang murid, merupakan penyimpangan dari kebiasaan dan standar umum (h. 128-129).
4. Catatan
Ada upaya untuk mencari kesamaan
hadis yang diriwayatkan dalam mazhab Sunni dan Syiah, baik dari Syiah sendiri
maupun Sunni seperti dilakukan oleh Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya, Sunnah-Syiah
Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Dalam kajian hadis sendiri, mazhab Sunni
dan Sy’iah mempunyai beberapa persamaan, seperti pentingnya jarh wa ta’dil, ketersambungan
sanad (baik yang marfu’, mauquf maupun maqthu’, yang
walaupun tidak sampai kepada Rasulullah, tapi bersambung kepada narasumber
awal), kitab kanonik utama (seperti kutub al-sittah di Sunni dan al-kutub
al-arba’ah di Syiah) dan hal lainnya. Begitu juga dengan beberapa kesamaan
isi dan makna dari hadis yang ada di dua mazhab tersebut, walaupun dengan lafal
yang berbeda. Di samping persamaan, ada juga perbedaan kajian hadis di Sunni
dan Syiah. Di antaranya adalah masalah definisi, kategori hadis, periodisasi
sejarah hadis dan lain sebagainya.
Kajian hadis qudsi memberikan
nuansa alternatif bagi hadis-hadis yang dinisbatkan kepada Allah, baik yang
diriwayatkan oleh Rasulullah ataupun para imam Syiah. Hal ini berbeda dengan
hadis qudsi versi Sunni di mana riwayatnya hanya berasal dari Rasulullah
langsung dari Allah. Definisi dan kajian hadis qudsi di Syiah memberikan
jawaban atas tuduhan bahwa Al-Qur’an versi Syiah isinya lebih banyak daripada
versi Sunni. Di samping itu, penting juga untuk mengetahui konsep pengetahuan
yang diwariskan dalam Syiah serta konsep imamah sehingga tidak terjadi bias dan
salah memaknai, apalagi jika memakai konsep Syiah dengan konsep Sunni.
Dalam kasus para Imam yang
meriwayatkan firman Allah secara langsung, menurut saya dapat disamakan dengan
para ulama Sunni yang terkadang mengutip Al-Qur’an hanya maknanya saja. Dalam
beberapa ceramah, para ulama sering mengatakan “Allah berfirman” terkadang
tanpa menjelaskan surat dan ayat apa, atau dalam hadis qudis riwayat siapa.
Jadi, dalam kasus ini, hampir mirip dengan para Imam Syiah yang meriwayatkan
firman Allah secara langsung. Biasanya riwayat para ulama Sunni dan Imam Syiah
tidak begitu jauh dengan makna Al-Qur’an atau hadis yang sahih. Namun hal ini
butuh penelitian lebih lanjut. Bedanya, ulama Sunni tidak ma’shum dan
bisa jadi salah oleh para pengikut Sunni, sedangkan Imam Syi’ah ma’shum dan
tidak boleh salah menurut pengikut Syi’ah.
Di samping itu, kajian-kajian
ulama Syiah atas hadis dan juga berkembangnya sistematika dan konsep
pengetahuan terkait hadis semakin berkembang dari waktu ke waktu. Dengan adanya
kajian tersebut, orang-orang non-Syiah bisa semakin mengetahui dengan baik dan
jelas tentang metode, perspektif dan pengetahuan hadis versi Syiah secara
langsung, tidak melalui pihak ketiga yang tidak pernah bersinggungan langsung
dengan karya-karya Syiah. Dengan mengetahui langsung dari sumbernya, berbagai
dugaan dan prasangka dapat dihindari, sambil terus membangun kajian hadis
melintasi mazhab, ruang dan waktu. Apalagi salah kutip dan salah terjemah dari
bahasa aslinya.
Misalnya, Nabilah (2023) mengatakan dalam
bukunya, Pemahaman Hadis Keutamaan Ali Ibn Abi Ṭalib dalam Pandangan Syiah
(h. 95), mengutip dari Ushul al-Kafi karya al-Kulaini (w. 329) yang
merupakan salah satu dari al-kutub al-arba’ah versi Syiah, bahwa ada
golongan Takfiriyyah yang mengatakan bahwa semua sahabat telah murtad setelah
Rasulullah wafat, kecuali tiga sahabat: Miqdad bin Aswad, Abu Dzarr dan (h.
83). Setelah dicek di kitab yang digunakan Nabilah, baik yang versi cetakan Dar
al-Kutub al-Islamiyyah Teheran maupun versi Dar al-Ta’aruf, tidak ditemukan
teks yang sama dengan yang dikutip Nabilah.
Lebih lanjut, Nabilah mengatakan (h. 84):
“Bahkan mereka mengatakan, bahwa
Umar diadzab di neraka lebih keras dari iblis. Al Kulaini dalam kitabnya
al-Kafi, di bagian kitab Raudhah mengatakan:
عن عبد الرحمن بن
كثير، عن أبي عبد الله في قول الله عزوجل: “ إن الذين آمنوا ثم كفروا ثم آمنوا ثم كفروا ثم ازدادوا
كفرا” (أل عمران: 90) قال: نزلت في فلان وفلان وفلان (أي: أبو بكر وعمر
وعثمان رضي الله عنهم أجمعين)، آمنوا بالنبي صلى الله عليه وآله في أول
الأمر وكفروا حيث عرضت عليهم الولاية، حين قال النبي صلى الله عليه وسلم: من كنت
مولاه فهذا علي مولاه، ثم آمنو بالبيعة لأمير المؤمنين عليه السلام، ثم كفروا حيث
مضى رسول الله صلى الله عليه وآله، فلم يقروا بالبيعة.
Padahal kalau dicek di versi cetakan Dar al-Kutub al-Islamiyyah Teheran maupun versi Dar al-Ta’aruf, bunyinya seperti ini:
عن عبد الرحمن بن
كثير، عن أبي عبدالله (عليه السلام) في قول الله عزوجل: “ إن الذين آمنوا ثم كفروا ثم آمنوا ثم كفروا ثم ازدادوا
كفرا” “ لن تقبل توبتهم” قال: نزلت في فلان وفلان وفلان، آمنوا بالنبي (صلى الله
عليه وآله) في أول الامر وكفروا حيث عرضت عليهم الولاية، حين قال النبي (صلى الله
عليه وآله): من كنت مولاه فهذا علي مولاه، ثم آمنو بالبيعة لامير المؤمنين (عليه
السلام) ثم كفروا حيث مضى رسول الله (صلى الله عليه وآله) فلم يقروا بالبيعة.
Kutipan Nabilah pada tulisan yang saya cetak tebal dan garis bawah (yaitu penyebutan Abu Bakr, ‘Umar dan Utsman) tidak ditemukan dalam versi cetakan Dar al-Kutub al-Islamiyyah Teheran maupun versi Dar al-Ta’aruf. Tulisan Nabilah selanjutnya tentang penafsiran QS. Muhammad: 29 juga mengalami hal yang sama Kutipan yang tidak tepat ini tidak dapat dibenarkan, apalagi sekedar untuk justifikasi prasangka dan stigma terhadap Syiah yang ada pada penulis Muslim. Belum lagi jika tidak membaca kitab dan sumbernya secara langsung.
Oleh karena itu, sumber pengetahuan yang paling utama adalah merujuk ke sumbernya secara langsung, melakukan peninjauan kembali dan klarifikasi informasi langsung kepada sumbernya dan tidak tergesa-gesa dalam memberi kesimpulan, apalagi justifikasi.