Mempertimbangkan Etik dan Emik: Hadis dalam Perspektif Ulama Non-Hadis

Daftar Isi [Tampilkan]
Oleh: Muhammad Akmaluddin



Judul awal: "Mempertimbangkan Etik dan Emik: Hadis dalam Perspektif Ulama Non-Hadis (Menuju H-6 Konferensi "A Word Across Languages" UIN Sunan Kalijaga – The European Qur’an)"

1. Hadis dan Literatur non-Hadis

Hadis banyak dikutip literatur non-hadis seperti tafsir, fikih, tasawuf, gramatika, sastra, hingga geografi dan kajian nasab. Hal ini tidak mengagetkan karena hadis sendiri dianggap sebagai teks suci kedua dalam literatur keislaman. Hadis banyak diterjemahkan, diadaptasikan, digunakan, dan sering dikutip dalam berbagai kajian keislaman, baik sifatnya untuk menguatkan, menjelaskan, mengkhususkan, maupun memberikan bukti dan argumen di dalamnya. Jadi perlu ditekankan bahwa hadis tidak hanya dikaji oleh ulama hadis, namun juga ulama non-hadis.

Oleh karena itu, sangat penting untuk melihat dua perspektif dalam kajian tersebut. Pertama adalah perspektif etik yaitu sudut pandang ulama hadis yang berjarak sebagai orang luar (outsider) untuk menjelaskan fenomena kajian hadis oleh ulama non-hadis. Kedua perspektif emik yaitu menjelaskan fenomena kajian ulama non-hadis dengan sudut pandang mereka sendiri sebagai orang dalam (insider).

Para ulama hadis perlu mempertimbangkan perspektif emik dalam melihat kajian hadis yang digunakan oleh ulama non-hadis. Sebagaimana dalam kajian antropologi, ulama hadis akan terjebak dalam pemahamannya sendiri, melihat kajian ulama non-hadis dengan aspek eksternal dan mereka tidak akan mengintegrasikan dirinya dalam ulama non-hadis jika masih menggunakan perspektif etik.

Jika menggunakan perspektif etik, hadis adalah hadis sesuai dengan definisinya menurut ulama hadis. Tidak ada definisi lain yang cocok dengan hadis selain dengan definisi ulama hadis. Oleh karena itu, definisi hadis mencakup berbagai perkataan, perbuatan, perilaku, sifat, ketetapan dan hal lainnya yang disandarkan kepada Rasulullah saw, entah itu berkaitan dengan hukum ataupun tidak. Komponen hadis utama seperti sanad dan matan tidak boleh hilang dalam kajian hadis, begitu juga dengan kriteria hadis sahih.

Dengan demikian, ulama hadis mempunyai definisi, kriteria dan ukuran yang berbeda dengan ulama lain. Melihat hadis dengan perspektif ulama hadis adalah melihat hadis dengan aspek etik. Hadis dilihat dan dikaji sesuai dengan standar ulama hadis, bukan ulama lain seperti ulama fikih, tafsir, tasawuf dan lain sebagainya.

Melihat hadis dengan perspektif ulama non-hadis, jika dibandingkan dengan perspektif ulama hadis, akan memiliki beberapa perbedaan terkait definisi, kriteria dan ukuran. Misalnya ulama fikih memberikan definisi hadis hanya yang berkaitan dengan hukum, sedangkan ulama ushul fikih definisinya hanya berkaitan dengan dalil istinbath.

Oleh karena itu, ulama hadis lebih menekankan kajian hadis secara ketat kepada asas teoritis keilmuan, sedangkan ulama fikih dan ushul fikih, bahkan kemungkinan juga ulama non-hadis lain, menekankan kajian hadis kepada asas pragmatis praktis. Jika menggunakan perspektif etik, banyak kemungkinan standar hadis yang ada dalam literatur non-hadis akan dianggap tidak sesuai. Namun dengan menggunakan perspektif emik, pola pikir dan perspektif ulama non-hadis yang menggunakan hadis dalam kajiannya akan dapat dilihat dengan jernih. Tujuannya adalah bukan menghukumi kajian hadis versi ulama non-hadis dengan versi ulama hadis, tapi bagaimana kajian hadis tersebut digunakan dan diaplikasikan.

2. Melampaui Dominasi Ulama Hadis

Menghakimi kajian hadis versi ulama non-hadis dengan kajian hadis versi ulama hadis adalah sebuah perspektif etik dan bentuk dominasi. Kajian hadis dalam sejarahnya tidak hanya dimonopoli oleh ulama hadis. Ulama non-hadis pun banyak yang mengkaji hadis karena memang merupakan dua sumber utama dalam literatur Islam. Oleh karena itu, perlu memahami bagaimana ulama non-hadis mengkaji hadis dari perspektif emik, yaitu dari perspektif mereka sendiri. Dengan perspektif emik ini, kajian hadis versi ulama non-hadis akan dapat dilihat lebih obyektif, dan tidak menjadikan ulama hadis sebagai satu-satunya rujukan.

Melampaui dominasi ulama hadis dalam literatur non-hadis sudah lama disuarakan oleh Sahiron Syamsuddin dan Roberto Tottoli, yang menjadi penyelenggara konferensi A Word Across Languages: How the Text of the Qur’an Shaped Civilization in World History? yang merupakan kerjasama oleh Pascasarjana, Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT) S1 dan Magister IAT Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga – The European Qur’an yang akan diadakan di awal pekan bulan Juli 2024 nanti.

Sahiron dalam artikelnya, “Abū Ḥanīfah’s Use of the Solitary Ḥadīth as a Source of Islamic Law,” yang diterbitkan dalam jurnal Islamic Studies (2001) menekankan bahwa Abu Hanifah sangat ketat dalam menerima hadis ahad. Jika dari sudut pandang ulama hadis, Abu Hanifah banyak menyalahi aturan dan metode ilmu hadis. Tidak heran jika Abu Hanifah kemudian dituduh hanya mengandalkan opini (ra’yu) dalam menentukan hukum. Padahal Abu Hanifah menggunakan hadis ahad hanya jika memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam ushul mazhabnya seperti kesesuaian dengan Al-Qur’an, dan juga dengan hadis-hadis yang lebih shahih. Oleh karena itu, menggunakan perspektif etik dalam kasus Abu Hanifah akan menimbulkan salah persepsi dan tidak memahami logika penggunaan hadis ahad di dalam mazhabnya.

Kajian Roberto Tottoli menjembatani kesenjangan antara perspektif etik dan emik dalam serapan dan kutipan hadis. Dalam artikel “Genres,” yang diterbitkan dalam The Wiley Blackwell Concise Companion to the Hadith (2020), ia menjelaskan tentang hadis yang diserap dan dikutip dalam literatur non-hadis seperti tafsir, fikih, sejarah, sastra dan lainnya. Setidaknya ia melihat setidaknya ada tiga tipe serapan dan kutipan. Pertama menyerap dan mengutip hadis sepenuhnya sesuai standar ulama hadis, termasuk sanadnya. Kedua menyerap dan mengutip hadis hanya dengan maknanya saja atau substansinya saja, tanpa ada sanad. Ketiga adalah kutipan dan serapan yang dianggap sebagai hadis, yang diindikasikan sebagai hadis atau berasal dari hadis.

Tipe pertama tidak bermasalah secara substansi dan teori. Tipe kedua secara substansi tidak bermasalah, walaupun secara teori mungkin akan membutuhkan beberapa prasyarat agar tidak bermasalah. Tipe ketiga merupakan tipe yang kontroversial, dan banyak tidak diterima dalam perspektif ulama hadis. Tipe terakhir ini khususnya dapat dijumpai banyak dalam kajian tasawuf.

3. Melakukan Diagnosis, Bukan Vonis

Dalam kajian tasawuf, kitab yang sangat fenomenal adalah Ihya’ ‘Ulum al-Din karya hujjatul Islam al-Imam al-Ghazali. Banyak yang salah faham tentang beberapa praktek sholat harian, mingguan dan tahunan hasil ijtihad al-Ghazali. Padahal sebelumnya al-Ghazali sendiri mempunyai konsep sendiri tentang amaliah selain fardhu yang disebut sebagai nawafil, yang dibagi menjadi tiga. Ia mengatakan:

اعْلَمْ أَنَّ مَا عَدَا الْفَرَائِضِ مِنَ الصَّلَوَاتِ ينقسم إلى ثلاثة أقسام سنن ومستحبات وتطوعات. ونعني بالسنن ما نقل عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المواظبة عليه كالرواتب عقيب الصلوات وصلاة الضحى والوتر والتهجد وغيرها لأن السنة عبارة عن الطريق المسلوكة. ونعني بالمستحبات ما ورد الخبر بفضله ولم ينقل المواظبة عليه كما سننقله في صلوات الأيام والليالي في الأسبوع وكالصلاة عند الخروج من المنزل والدخول فيه وأمثاله. ونعني بالتطوعات ما وراء ذلك مما لم يرد في عينه أثر ولكنه تطوع به العبد من حيث رغب في مناجاة الله عز وجل بالصلاة التي ورد الشرع بفضلها مطلقاً فكأنه متبرع به إذا لم يندب إلى تلك الصلاة بعينها وإن ندب إلى الصلاة مطلقاً والتطوع عبارة عن التبرع.

وسميت الأقسام الثلاثة نوافل من حيث إن النفل هو الزيادة وجملتها زائد على الفرائض فلفظ النافلة والسنة والمستحب والتطوع أردنا الاصطلاح عليه لتعريف هذه المقاصد. ولا حرج على من يغير هذا الاصطلاح فلا مشاحة في الألفاظ بعد فهم المقاصد. وكل قسم من هذه الأقاسم تتفاوت درجاته في الفضل بحسب ما ورد فيها من الأخبار والآثار المعرفة لفضلها وبحسب طول مواظبة رسول الله صلى الله عليه وسلم عليها وبحسب صحة الأخبار الواردة فيها واشتهارها ولذلك يقال سنن الجماعات أفضل من سنن الانفراد.

 

Al-Ghazali sendiri tidak mempermasalahkan perbedaan istilah yang digunakannya, karena yang ditekankan adalah memahami tujuan (fahm al-maqashid). Ia sadar bahwa penggunaan istilah nafilah, sunnah, mustahabb dan tathawwu’ dalam istilah fikih, utamanya dalam mazhab Syafi’i, adalah sinonim atau mempunyai makna yang sama. Jadi memahami shalat dalam Ihya’ adalah dalam definisi al-Ghazali, bukan dengan definisi menurut ulama fikih atau hadis. Dengan demikian, fahm al-maqashid akan tercapai dan tidak bermasalah jika disandingkan dengan definisi dalam keilmuan lain.

Lagi-lagi, jika menggunakan perspektif etik, ulama hadis akan banyak tidak setuju dan menyanggah istilah dan definisi yang digunakan al-Ghazali. Kasus yang lain adalah tentang perayaan maulid Nabi Muhammad saw, yang merupakan gabungan dari beberapa hadis (talkhish al-hadis), yang kemudian dirangkai menjadi “hadis” man ‘adhdhama maulidi. Jika menggunakan perspektif etik, maka tidak akan dijumpai “hadis” tersebut (Akmaluddin, 2021). Oleh karena itu, perlu melihat bagaimana  hadis itu muncul, bagaimana perspektif ulama non-hadis dan masyarakat mengenai hadis tersebut, bagaimana melihat indikasi pernyataan tersebut berasal dari hadis, bagaimana relasi tidak langsung antara pernyataan dengan hadis dan berbagai hal lainnya yang dapat dicari dalam kajian living hadis maupun kajian yang terkait dengan perspektif emik lainnya.

Konferensi A Word Across Languages: How the Text of the Qur’an Shaped Civilization in World History? yang merupakan kerjasama oleh Pascasarjana, Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT) S1 dan Magister IAT Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga – The European Qur’an, yang akan diadakan di awal pekan bulan Juli 2024 nanti setidaknya akan melihat bagaimana hubungan Al-Qur’an dengan masyarakat dan bagaimana Al-Qur’an telah memainkan peran penting dalam pembentukan keragaman dan identitas masyarakat yang terus berlanjut hingga saat ini.

Konferensi tersebut paling tidak akan memberikan inspirasi tentang bagaimana kajian hadis yang agak tertinggal dari kajian Al-Qur’an selama ini. Melalui konferensi tersebut, para pengkaji hadis diharapkan bisa melihat lebih jauh dan membayangkan tentang peran hadis di masyarakat, dan bagaimana pemetaan serta fungsinya yang berkelanjutan.

Baca juga:
Labels : #Ilmu Hadis ,#Maulid ,#Opini ,#Sejarah ,
Menunggu informasi...

Posting Komentar