1. Hadis dan Literatur non-Hadis
Hadis
banyak dikutip literatur non-hadis seperti tafsir, fikih, tasawuf, gramatika,
sastra, hingga geografi dan kajian nasab. Hal ini tidak mengagetkan karena
hadis sendiri dianggap sebagai teks suci kedua dalam literatur keislaman. Hadis
banyak diterjemahkan, diadaptasikan, digunakan, dan sering dikutip dalam
berbagai kajian keislaman, baik sifatnya untuk menguatkan, menjelaskan,
mengkhususkan, maupun memberikan bukti dan argumen di dalamnya. Jadi perlu
ditekankan bahwa hadis tidak hanya dikaji oleh ulama hadis, namun juga ulama
non-hadis.
Oleh
karena itu, sangat penting untuk melihat dua perspektif dalam kajian tersebut. Pertama
adalah perspektif etik yaitu sudut pandang ulama hadis yang berjarak
sebagai orang luar (outsider) untuk menjelaskan fenomena kajian hadis oleh
ulama non-hadis. Kedua perspektif emik yaitu menjelaskan fenomena kajian
ulama non-hadis dengan sudut pandang mereka sendiri sebagai orang dalam (insider).
Para
ulama hadis perlu mempertimbangkan perspektif emik dalam melihat kajian hadis
yang digunakan oleh ulama non-hadis. Sebagaimana dalam kajian antropologi, ulama hadis
akan terjebak dalam pemahamannya sendiri, melihat kajian ulama non-hadis dengan
aspek eksternal dan mereka tidak akan mengintegrasikan dirinya dalam ulama
non-hadis jika masih menggunakan perspektif etik.
Jika
menggunakan perspektif etik, hadis adalah hadis sesuai dengan definisinya
menurut ulama hadis. Tidak ada definisi lain yang cocok dengan hadis selain
dengan definisi ulama hadis. Oleh karena itu, definisi hadis mencakup berbagai
perkataan, perbuatan, perilaku, sifat, ketetapan dan hal lainnya yang
disandarkan kepada Rasulullah saw, entah itu berkaitan dengan hukum ataupun
tidak. Komponen hadis utama seperti sanad dan matan tidak boleh hilang dalam
kajian hadis, begitu juga dengan kriteria hadis sahih.
Dengan
demikian, ulama hadis mempunyai definisi, kriteria dan ukuran yang berbeda
dengan ulama lain. Melihat hadis dengan perspektif ulama hadis adalah melihat
hadis dengan aspek etik. Hadis dilihat dan dikaji sesuai dengan standar ulama
hadis, bukan ulama lain seperti ulama fikih, tafsir, tasawuf dan lain
sebagainya.
Melihat
hadis dengan perspektif ulama non-hadis, jika dibandingkan dengan perspektif
ulama hadis, akan memiliki beberapa perbedaan terkait definisi, kriteria dan
ukuran. Misalnya ulama fikih memberikan definisi hadis hanya yang berkaitan
dengan hukum, sedangkan ulama ushul fikih definisinya hanya berkaitan dengan dalil
istinbath.
Oleh karena itu, ulama hadis lebih menekankan kajian hadis secara ketat kepada asas teoritis keilmuan, sedangkan ulama fikih dan ushul fikih, bahkan kemungkinan juga ulama non-hadis lain, menekankan kajian hadis kepada asas pragmatis praktis. Jika menggunakan perspektif etik, banyak kemungkinan standar hadis yang ada dalam literatur non-hadis akan dianggap tidak sesuai. Namun dengan menggunakan perspektif emik, pola pikir dan perspektif ulama non-hadis yang menggunakan hadis dalam kajiannya akan dapat dilihat dengan jernih. Tujuannya adalah bukan menghukumi kajian hadis versi ulama non-hadis dengan versi ulama hadis, tapi bagaimana kajian hadis tersebut digunakan dan diaplikasikan.
2. Melampaui Dominasi Ulama Hadis
Menghakimi
kajian hadis versi ulama non-hadis dengan kajian hadis versi ulama hadis adalah
sebuah perspektif etik dan bentuk dominasi. Kajian hadis dalam sejarahnya tidak
hanya dimonopoli oleh ulama hadis. Ulama non-hadis pun banyak yang mengkaji
hadis karena memang merupakan dua sumber utama dalam literatur Islam. Oleh
karena itu, perlu memahami bagaimana ulama non-hadis mengkaji hadis dari
perspektif emik, yaitu dari perspektif mereka sendiri. Dengan perspektif emik
ini, kajian hadis versi ulama non-hadis akan dapat dilihat lebih obyektif, dan
tidak menjadikan ulama hadis sebagai satu-satunya rujukan.
Melampaui
dominasi ulama hadis dalam literatur non-hadis sudah lama disuarakan oleh
Sahiron Syamsuddin dan Roberto Tottoli, yang menjadi penyelenggara konferensi A
Word Across Languages: How the Text of the Qur’an Shaped Civilization in World History?
yang merupakan kerjasama oleh Pascasarjana, Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT)
S1 dan Magister IAT Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga – The European
Qur’an yang akan diadakan di awal pekan bulan Juli 2024 nanti.
Sahiron
dalam artikelnya, “Abū Ḥanīfah’s Use of the Solitary Ḥadīth as a Source of
Islamic Law,” yang diterbitkan dalam jurnal Islamic Studies (2001) menekankan
bahwa Abu Hanifah sangat ketat dalam menerima hadis ahad. Jika dari
sudut pandang ulama hadis, Abu Hanifah banyak menyalahi aturan dan metode ilmu
hadis. Tidak heran jika Abu Hanifah kemudian dituduh hanya mengandalkan opini (ra’yu)
dalam menentukan hukum. Padahal Abu Hanifah menggunakan hadis ahad hanya
jika memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam ushul mazhabnya
seperti kesesuaian dengan Al-Qur’an, dan juga dengan hadis-hadis yang lebih
shahih. Oleh karena itu, menggunakan perspektif etik dalam kasus Abu Hanifah
akan menimbulkan salah persepsi dan tidak memahami logika penggunaan hadis ahad
di dalam mazhabnya.
Kajian
Roberto Tottoli menjembatani kesenjangan antara perspektif etik dan emik dalam
serapan dan kutipan hadis. Dalam artikel “Genres,” yang diterbitkan dalam The
Wiley Blackwell Concise Companion to the Hadith (2020), ia menjelaskan tentang
hadis yang diserap dan dikutip dalam literatur non-hadis seperti tafsir, fikih,
sejarah, sastra dan lainnya. Setidaknya ia melihat setidaknya ada tiga tipe
serapan dan kutipan. Pertama menyerap dan mengutip hadis sepenuhnya
sesuai standar ulama hadis, termasuk sanadnya. Kedua menyerap dan
mengutip hadis hanya dengan maknanya saja atau substansinya saja, tanpa ada
sanad. Ketiga adalah kutipan dan serapan yang dianggap sebagai hadis,
yang diindikasikan sebagai hadis atau berasal dari hadis.
Tipe pertama tidak bermasalah secara substansi dan teori. Tipe kedua secara substansi tidak bermasalah, walaupun secara teori mungkin akan membutuhkan beberapa prasyarat agar tidak bermasalah. Tipe ketiga merupakan tipe yang kontroversial, dan banyak tidak diterima dalam perspektif ulama hadis. Tipe terakhir ini khususnya dapat dijumpai banyak dalam kajian tasawuf.
3. Melakukan Diagnosis, Bukan Vonis
Dalam
kajian tasawuf, kitab yang sangat fenomenal adalah Ihya’ ‘Ulum al-Din karya
hujjatul Islam al-Imam al-Ghazali. Banyak yang salah faham tentang beberapa
praktek sholat harian, mingguan dan tahunan hasil ijtihad al-Ghazali. Padahal
sebelumnya al-Ghazali sendiri mempunyai konsep sendiri tentang amaliah selain
fardhu yang disebut sebagai nawafil, yang dibagi menjadi tiga. Ia
mengatakan:
اعْلَمْ
أَنَّ مَا عَدَا الْفَرَائِضِ مِنَ الصَّلَوَاتِ ينقسم إلى ثلاثة أقسام سنن
ومستحبات وتطوعات. ونعني بالسنن ما نقل عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المواظبة عليه كالرواتب عقيب الصلوات وصلاة الضحى والوتر
والتهجد وغيرها لأن السنة عبارة عن الطريق المسلوكة. ونعني بالمستحبات ما ورد
الخبر بفضله ولم ينقل المواظبة عليه كما سننقله في صلوات الأيام والليالي في
الأسبوع وكالصلاة عند الخروج من المنزل والدخول فيه وأمثاله. ونعني بالتطوعات ما
وراء ذلك مما لم يرد في عينه أثر ولكنه تطوع به العبد من حيث رغب في مناجاة الله
عز وجل بالصلاة التي ورد الشرع بفضلها مطلقاً فكأنه متبرع به إذا لم يندب إلى تلك
الصلاة بعينها وإن ندب إلى الصلاة مطلقاً والتطوع عبارة عن التبرع.
وسميت
الأقسام الثلاثة نوافل من حيث إن النفل هو الزيادة وجملتها زائد على الفرائض فلفظ
النافلة والسنة والمستحب والتطوع أردنا الاصطلاح عليه لتعريف هذه المقاصد. ولا حرج
على من يغير هذا الاصطلاح فلا مشاحة في الألفاظ بعد فهم المقاصد. وكل قسم من هذه
الأقاسم تتفاوت درجاته في الفضل بحسب ما ورد فيها من الأخبار والآثار المعرفة
لفضلها وبحسب طول مواظبة رسول الله صلى الله عليه وسلم عليها وبحسب صحة الأخبار
الواردة فيها واشتهارها ولذلك يقال سنن الجماعات أفضل من سنن الانفراد.
Al-Ghazali
sendiri tidak mempermasalahkan perbedaan istilah yang digunakannya, karena yang
ditekankan adalah memahami tujuan (fahm al-maqashid). Ia sadar bahwa
penggunaan istilah nafilah, sunnah, mustahabb dan tathawwu’ dalam
istilah fikih, utamanya dalam mazhab Syafi’i, adalah sinonim atau mempunyai
makna yang sama. Jadi memahami shalat dalam Ihya’ adalah dalam definisi
al-Ghazali, bukan dengan definisi menurut ulama fikih atau hadis. Dengan
demikian, fahm al-maqashid akan tercapai dan tidak bermasalah jika
disandingkan dengan definisi dalam keilmuan lain.
Lagi-lagi,
jika menggunakan perspektif etik, ulama hadis akan banyak tidak setuju dan
menyanggah istilah dan definisi yang digunakan al-Ghazali. Kasus yang lain
adalah tentang perayaan maulid Nabi Muhammad saw, yang merupakan gabungan dari
beberapa hadis (talkhish al-hadis), yang kemudian dirangkai menjadi “hadis”
man ‘adhdhama maulidi. Jika menggunakan perspektif etik, maka tidak akan
dijumpai “hadis” tersebut (Akmaluddin, 2021). Oleh karena itu, perlu melihat bagaimana hadis itu muncul, bagaimana perspektif ulama
non-hadis dan masyarakat mengenai hadis tersebut, bagaimana melihat indikasi
pernyataan tersebut berasal dari hadis, bagaimana relasi tidak langsung antara
pernyataan dengan hadis dan berbagai hal lainnya yang dapat dicari dalam kajian
living hadis maupun kajian yang terkait dengan perspektif emik lainnya.
Konferensi A Word Across Languages: How the Text of the Qur’an Shaped Civilization in World History? yang merupakan kerjasama oleh Pascasarjana, Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT) S1 dan Magister IAT Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga – The European Qur’an, yang akan diadakan di awal pekan bulan Juli 2024 nanti setidaknya akan melihat bagaimana hubungan Al-Qur’an dengan masyarakat dan bagaimana Al-Qur’an telah memainkan peran penting dalam pembentukan keragaman dan identitas masyarakat yang terus berlanjut hingga saat ini.
Konferensi tersebut paling tidak akan memberikan inspirasi tentang bagaimana kajian hadis yang agak tertinggal dari kajian Al-Qur’an selama ini. Melalui konferensi tersebut, para pengkaji hadis diharapkan bisa melihat lebih jauh dan membayangkan tentang peran hadis di masyarakat, dan bagaimana pemetaan serta fungsinya yang berkelanjutan.