Kurasan kitab Shahih al-Bukhari |
Peserta Bukhoren yang ada di depan |
1. Tentang Shahih al-Bukhari
Kitab Shahih al-Bukhari, dengan
mengesampingkan beberapa pendapat yang lain, dianggap sebagai kitab
paling sahih setelah Al-Qur’an. Walaupun sistematikanya tidak sebaik kitab Shahih
Muslim dan banyak hadis yang diulang-ulang, namun para ulama menganggap
Shahih al-Bukhari kualitasnya lebih shahih, dan pengulangan adalah sebuah
penguat. Ada dua bait populer yang menjelaskan hal tersebut, yang dinisbatkan
pada Hamdun bin al-Hajj al-Sulami, yaitu:
تنازع
قوم في البخاري ومسلم * لدي وقالوا أي ذين يقدم
فقلت
لقد فاق البخاري صحة * كما فاق في حسن الصناعة
مسلم
Di samping itu, Al-‘Aidrus dalam kitabnya, al-Nur al-Safir ‘an
Akhbar al-Qarn al-‘Asyir mengatakan bahwa ‘Abd al-Rahman bin ‘Ali al-Zabidi
mengatakan:
قالوا
لمسلم سبق * قلت
البخاري جلا
قالوا
تكرر فيه * قلت
المكرر أحلا
Terlepas dari status dan level
kesahihan, Shahih al-Bukhari menjadi parameter dan rujukan berbagai
penulisan kitab hadis setelahnya. Di samping itu, kitab Shahih al-Bukhari juga
banyak dibaca untuk tujuan mendapatkan berkah (tabarrukan) atau tujuan
yang lain.
2. Majelis Bukhoren
Pembacaan kitab Shahih
al-Bukhari populer dengan sebutan Bukhoren. Tradisi ini sudah berlangsung
lama. Perlu digarisbawahi bahwa Bukhoren yang dimaksud dalam tulisan ini
bukanlah kajian rutin yang berisi pembacaan Shahih al-Bukhari dan
penjelasannya sampai khatam dalam setahun atau lebih, atau membawa kitab
Shahih al-Bukhari (tidak dibaca) untuk praktek tertentu, tetapi
lebih kepada praktek pembacaan Shahih al-Bukhari di waktu tertentu seperti
35 hari sekali (selapanan) atau khusus bulan Rajab (rajaban), Sya’ban,
Ramadhan atau lainnya dan rutin.
Beberapa keutamaan Shahih
al-Bukhari antara lain ditulis oleh Ibn Abi Jamrah dalam kitabnya, Jam’u
al-Nihayah fi Bad’i al-Khair wa al-Ghayah dalam muqaddimahnya, menukil
dari salah satu hakim yang berpengalaman luas:
إن
كتاب البخاري ما قرئ في وقت شدة إلا فرجت، ولا ركب به في مركب فغرق قط
Di Mesir sendiri, sebagaimana
dikutip dari Dar
al-Ifta’ Mesir, pembacaan Shahih al-Bukhari dimulai pada bulan
Ramadhan tahun 775 H / 1373 M di depan sultan beserta fuqaha’ dan ulama. Kitab ini
dikhatamkan tiga bulan sekali, dan ada perayaan tiap kali Shahih al-Bukhari dikhatamkan.
Ulama Universitas al-Azhar juga melakukan hal tersebut selama berabad-abad
dengan tujuan tolak bala’,
paceklik, menghalau musuh, gerhana bulan (khusuf) dan lainnya.
Dalam hal ini, tradisi pembacaan Shahih
al-Bukhari dianggap sebagai sunnah hasanah oleh Syauqi Ibrahim ‘Allam,
salah satu anggota Dar al-Ifta’. Beliau mengatakan:
والاعتناءُ
بـ"صحيح البخاري" من أبواب رضا الله تعالى، وقراءتُه باب جليل من أبواب
تعلم العلم النافع، وقراءتُه في النوازل والمهمات والملمات هو ما فعله علماء الأمة
ومُحَدِّثوها عبر القرون سانِّين بذلك سُنة حسنة، ونصُّوا على أن قراءته وكتب
الحديث سببٌ من أسباب تفريج الكرب ودفع البلاء؛ إذ لا شكَّ أن قراءةَ سنة النبي
صلى الله عليه وآله وسلم ودراسَتَها والصلاة على النبي صلى الله عليه وآله وسلم
عند القراءة من أعظم الأعمال الصالحة.
Oleh karena itu, Bukhoren adalah
tradisi pembacaan hadis Rasulullah, mengkaji hadis beliau dan membaca shalawat
yang merupakan amal shalih, tempat mencari ridha Allah, tempat belajar dan
sudah menjadi sunnah hasanah, serta menjadi sarana tolak balak ketika
membaca hadis.
3. Bukhoren di Karaton Yogyakarta Hadiningrat
Bukhoren di Karaton
Yogyakarta Hadiningrat telah digelar sejak masa Sri Sultan Hamengkubuwana (HB)
I bertahta pada tahun 1755 dan berlangsung sampai sekarang. Dengan demikian,
tradisi Bukhoren sudah berlangsung selama 269 tahun. Tradisi ini
dilaksanakan dua lapan sekali atau 70 hari sekali. Dulu Bukhoren diadakan
pada malam Selasa Kliwon dan keliling, tapi sejak pandemi Covid-19, waktunya
digeser ke Senin Wage setelah sholat Ashar. Tempatnya berada di Pendopo Ndalem
Pengulon Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, sebelah utara Masjid Gedhe Kauman
hingga menginjak waktu Maghrib. Peserta berasal dari para abdi dalem Pengulon, ulama,
akademisi, santri dan masyarakat umum.
Acara Bukhoren dimulai
dengan pembukaan dengan al-Fatihah. Kemudian dilanjutkan dengan sejarah singkat
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat oleh KRT. Drs. H. Zubanhadiningrat, selaku pangrancang
acara dan abdi dalem Pengulon, kepada para hadirin, dan dilanjutkan dengan
sejarah Bukhoren dan juga tujuan ngalap berkah dengan Bukhoren
tersebut. Setelah itu, acara diteruskan dengan tawassulan kepada kanjeng Nabi
Muhammad beserta keluarga dan sahabatnya, para Walisongo di tanah Jawa, para
sultan Demak, Pajang, Mataram Islam, para sultan Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat, Pakualaman, para ulama di Yogyakarta dan sekitarnya, ahli kubur di
masjid pathok negoro dan kagungan dalem, Imogiri, Kotagede, para
ahli kubur di Yogyakarta dan para makhluk hidup yang ada di Yogyakarta.
Acara kemudian dilanjutkan dengan
pembacaan kitab Shahih al-Bukhari. Kitab ini dibagi per jilid, yang setiap
jilid dibagi kurasan yang terdiri dari delapan halaman atau empat lembar.
Cetakan Shahih al-Bukhari yang digunakan adalah cetakan lama, mungkin
penerbit Musthafa al-Babi al-Halabi Mesir, al-Suthaniyyah atau mungkin Dar
al-Ma’arif. Kitab ini disertai catatan pinggir (hamisy) berupa beberapa
syarah Shahih al-Bukhari seperti Fath al-Bari, ‘Umdah al-Qari dan
beberapa kitab pendukung lainnya.
Kitab Shahih al-Bukhari yang
akan dibaca diambil dan didapatkan ketika mengisi daftar hadir di depan
pendapa. Tiap orang membaca kurasan yang didapatkan, dan dibaca sekitar
45 menit. Jadi semua orang membaca bersamaan, bukan bergilir. Hal ini berbeda
dengan Bukhoren di Masjid al-Raudlah Pekalongan yang dipimpin al-Habib Abdullah
Bagir bin Ahmad Al-‘Aththas tiap bulan Rajab, yang dibaca bergiliran selama
sebulan penuh, dan mungkin juga berbeda dengan tradisi yang ada di Mesir dan
al-Azhar. Setelah dirasa cukup, maka para hadirin, khususnya yang duduk di
depan, dipersilahkan untuk menyampaikan satu hadis dan menjelaskannya. Jadi,
semua orang yang membaca tidak tahu akan membaca apa dan menjelaskan apa.
Oleh karena itu, yang menyampaikan
penjelasan hadis adalah peserta yang sepuh, yang
dianggap paling alim dan otoritatif menurut istilah M.
Yaser Arafat, dosen UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. Jadi untuk menjelaskan hadis tidak cukup hanya
bermodalkan kamus terjemah, apalagi kamus bahasa Arab. Berbagai ilmu dari ilmu
alat, fikih, ushul fikih, bahasa dan lainnya harus dikuasai.
Pada Senin Wage kemarin, 29 Muharam 1446 H / 5 Agustus 2024 M, hadis yang dibaca dan dijelaskan adalah hadis tentang tanda kiamat dengan hilangnya ilmu, kisah Nabi dan sahabat yang akan sholat Isya’ tapi waktu hampir habis dan tidak mendapatkan air untuk wudhu serta kisah percakapan Nabi Adam dengan Nabi Musa. Tiga hadis ini dibaca, terkadang hanya diartikan saja, dan dijelaskan dengan bahasa Jawa krama (halus) dan terkadang dengan bahasa Indonesia. Rencana hasil dari penjelasan ini akan diterbitkan di Jurnal Bukhoren dan dibagikan ke masyarakat luas.
4. Bukhoren dan Shahih al-Bukhari di Indonesia
Bukhoren di Indonesia
dilaksanakan di berbagai tempat, khususnya di bulan Rajab, utamanya di daerah Kwitang
Jakarta, Pekalongan, Pasuruan, Jombang, Kediri, Malang, Gresik, Surabaya,
Kendal dan daerah lainnya. Dilihat dari segi daerahnya, Bukhoren yang
diadakan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat berada di kutanagara,
sedangkan yang lainnya berada di nagara agung (Magelang misalnya),
mancanagara dan pasisiran (wétan maupun kilèn).
Dari beberapa praktek yang ada, paling tidak ada dua jenis Bukhoren. Pertama, tradisi Bukhoren selapanan yang orientasinya pembacaan bersama (entah khatam atau tidak), dilaksanakan tiap selapan sekali (selapanan) atau dua lapan, dan di dalam lingkungan atau lembaga keraton dan atas perintah keraton, atau dekat dengan keraton seperti kawasan nagara agung. Bukhoren selapanan Kamis Legi di Tempuran Magelang misalnya, masuk dalam jenis pertama ini. Kedua tradisi Bukhoren wulanan yang berorientasi khatam, diadakan di bulan Rajab, Sya’ban atau Ramadhan dan biasanya diselenggarakan oleh tokoh tertentu, masjid, pondok pesantren atau majlis taklim dan lain sebagainya. Pembagian ini memang agak menyederhanakan jenis-jenis Bukhoren yang ada, tapi setidaknya mencerminkan dan mencakup beberapa praktek yang ada.
Selain Bukhoren, praktek yang terkait dengan Shahih al-Bukhari muncul dalam berbagai bentuk. Misalnya ada kajian rutin Shahih al-Bukhari ataupun ringkasannya seperti Tajrid al-Sharih, Mukhtashar Ibn Abi Jamrah, Jawahir al-Bukhari dan lainnya. di pondok pesantren atau madrasah, yang biasanya dalam bentuk bandongan. Ada juga kitab Shahih al-Bukhari yang diarak, dibaca atau dibawa untuk menghadapi bencana seperti di beberapa daerah di Kalimantan.