1. Kitab Maulid: Ringkasan Sirah
Kitab maulid dapat disebut sebagai kitab sirah kecil, yang biasanya memuat informasi yang dimulai dengan pengantar alasan dan tujuan dituliskannya kitab tersebut. Bagian selanjutnya adalah silsilah dan nasab kanjeng Nabi (dalam maulid al-Barzanji), posisi kanjeng dengan nabi-nabi lain (dalam maulid al-Diba’i), penciptaan Nabi (dalam maulid al-‘Azab), keutamaan kanjeng Nabi (dalam maulid Syaraf al-Anam dan Simth al-Durar), dan keutamaan cinta kanjeng Nabi (dalam qashidah al-Burdah dan al-Dliya’ al-Lami’). Kemudian informasi tentang masa lahirnya kanjeng Nabi, masa kecil beliau, keluarga, tanda-tanda kelahiran, sifat khalqi dan khuluqi, hingga contoh-contoh yang patut diteladani (uswah hasanah), mukjizat, diutusnya beliau sebagai Nabi, dan hal lainnya yang terkait dengan beliau biasanya ada dalam kitab-kitab maulid.
Di samping itu, ada maulid yang berupa prosa atau natsar (seperti maulid al-Barzanji, al-Diba’i, dan Simth al-Durar) dan puisi atau syair (seperti nadham maulid al-Barzanji, qashidah al-Bushiri, Syaraf al-Anam, al-Dliya’ al-Lami’, dan maulid al-‘Azab). Meskipun berupa prosa atau natsar, terkadang kitab maulid diselingi dengan syair-syair. Popularitas kitab maulid ini tergantung masing-masing daerah. Kalau di daerah asal saya di Kudus, yang sering dibaca adalah maulid al-Barzanji natsar. Untuk maulid Simth al-Durar baru populer pada tahun 2005 ke atas dan biasanya dibaca bareng dengan pengajian atau grup hadlroh. Ada juga yang dibaca oleh komunitas alumni tertentu seperti al-Dliya’ al-Lami’ karya Habib Umar bin Muhammad al-Hafidh dan Hadiqah al-Nadhirah karya Habib Abu Bakar al-‘Adni al-Masyhur oleh alumni Yaman.
2. Awal Kitab Maulid
Dalam al-Hawi li al-Fatawi bagian Husn al-Maqshid fi ‘Amal al-Maulid, imam al-Suyuthi mengutip dari Ibn Khallikan bahwa orang yang mengarang kitab maulid awal adalah Ibn Dihyah. Ia datang dari Maghrib, kemudian berkeliling Syam (sekarang mencakup wilayah Suriah, Lebanon, Yordania, dan Palestina yang diduduki) dan Iraq. Selanjutnya ia melewati Irbil pada tahun 604 H. Pada saat itu, ia melihat raja Irbil, Abu Sa’id Mudhaffar al-Din bin Zaid al-Din bin ‘Ali Kokbori atau Gokbori (w. 640 H/1232 M) memperhatikan maulid dengan melaksanakannya tiap bulan Rabiulawal. Gokbori adalah pemimpin dan jenderal terkemuka dari Sultan Shalah al-Din al-Ayyubi. Ibn Dihyah kemudian menulis kitab al-Tanwir fi Maulid al-Basyir al-Nadzir. Ibn Dihyah kemudian membacakan tersebut di hadapan raja tersebut, yang diakhiri dengan qashidah panjang dan kemudian dihadiahi seribu dinar (jika satu dinar adalah 4,2 g emas, maka seribu dinar setara 4,2 kg emas). Raja Irbil dibacakan kitab tersebut di enam majelis pada tahun 625 H.
3. Biografi Ibn Dihyah
Nama lengkapnya adalah Majd al-Din ‘Umar bin
al-Hasan bin ‘Ali bin Muhammad bin al-Jamil bin Farh bin Khalaf. Menurut al-Maqqari,
penulis Nafh al-Thib min Ghashn al-Andalus al-Rathib, Ibn Dihyah bermazhab
Dhahiri dan berasal dari al-Andalus. Ia adalah ahli hadis yang tinggal di Bajjayah
(Bejaiai, Bougie atau Bugia) pada masa Abu ‘Abd Allah Ibn Yumur. Ia sangat ahli
bahasa dan tidak ada yang menandinginya di zaman itu. Di samping itu, ia juga
ahli sejarah Arab klasik dan syairnya.
Ibn Dihyah menulis karya-karya tentang rawi
hadis. Ia pergi ke Masyriq yang berada dalam kekuasaan bani Ayyub. Sebagai ahli
hadis, ia pernah diuji para ulama dengan sanad dan matan yang dibolak-balik dan
kemudian menyusunnya dengan urut.
Penguasa pada saat itu, al-Kamil bin al-‘Adil
bin Ayyub, sangat senang ketika mendengarkan hadis dari Ibn Dihyah. Al-Kamil
kemudian membangunkan Dar al-Hadis al-Kamiliyyah untuknya di Kairo. Ia meriwayatkan
qashidah dari Abu al-Qasim al-Suhaili dari Malaga, yang sering dibaca juga di
Indonesia. Bunyinya adalah sebagai berikut:
يا من يرى ما في الضمير ويسمع … أنت المعدّ لكلّ ما
يتوقّع
يا من يرجّى للشدائد كلّها … يا من إليه المشتكى والمفزع
يا من خزائن رزقه في قول كن … امنن فإن الخير عندك أجمع
ما لي سوى فقري إليك وسيلةٌ … فبالافتقار إليك فقري أدفع
ما لي سوى قرعي لبابك حيلةٌ … فلئن رددت فأيّ بابٍ اقرع
ومن الذي أدعو وأهتف باسمه … إن كان فضلك عن فقيرك يمنع
حاشا لجودك أن يقنّط عاصياً … الفضل أجزل والمواهب أوسع
Ibn Dihyah meriwayatkan dari berbagai ulama Maghrib, termasuk al-Andalus, Mesir, Irak, Syam, Khurasan dan daerah lainnya. Pada awalnya, ia menjadi hakim di daerah Dania (Dénia), al-Andalus, dua kali. Kemudian ia dikritik, dan pergi ke Tunis pada 595 H. Kemudian ia pergi haji, menulis kitab di Masyriq dari beberapa ulama di Isfahan dan Nisapur. Setelah itu, ia kembali ke Mesir dan al-‘Adil memintanya untuk mengajari anaknya, al-Kamil, dan tinggal di Kairo. Menurut Ibn Khallikan dan lainnya, ia berasal dari Balansiyah (Valencia).
4. Kemana Kitab al-Tanwir?
Kitab al-Tanwir fi Maulid al-Basyir al-Nadzir
karya Ibn Dihyah tidak ditemukan, hanya sisa judulnya saja (mafqud).
Jika merujuk pada kitab al-A’lam karya al-Zirikli, beberapa kitab Ibn
Dihyah yang tercetak (mathbu’) dan dapat dinikmati sampai sekarang
adalah kitab al-Muthrib min Asy’ar Ahli al-Maghrib dan al-Nibras fi Tarikh
Khulafa’ Bani al-‘Abbas. Sedangkan yang makhthuth (masih berupa
manuskrip) adalah al-Ayat al-Bayyinat, Nihayah al-Sul fi Khasha’ish al-Rasul
(terakhir kali sudah dicetak), dan Tanbih al-Basha’ir. Sedangkan
kitab sisanya, Asma’ al-Khamr, ‘Ilm al-Nashr al-Mubin fi al-Mufadlalah baina
Ahl al-Shiffin (terakhir kali sudah dicetak), termasuk al-Tanwir
fi Maulid al-Basyir al-Nadzir, tidak diketahui rimbanya (terakhir kali
sudah dicetak Dar Faris pada 2021).
Bisa jadi mazhab Ibn Dihyah yang terpinggirkan, yaitu mazhab Dhahiri, membuat posisinya tidak seberuntung kitab karya ulama Maliki atau mazhab lainnya. Menurut al-Zirikli, Ibn Dihyah banyak mempunyai perseteruan dengan ulama semasanya. Tidak heran jika misalnya ia tidak lama menjadi hakim di Dénia, apalagi jika dihadapkan pada pilihan putusan mazhab Maliki pada saat itu. Di samping itu, tidak adanya murid yang melestarikan kitab-kitab peninggalannya juga menambah faktor tidak terurusnya kitab Ibn Dihyah. Nasibnya tidak beda jauh dengan Ibn Hazm, tapi lebih baik nasib Ibn Hazm yang sama-sama bermazhab Dhahiri.
5. Disatukan Maulid, Menang di Masa Sulit
Walaupun bermazhab Dhahiri, yang mempunyai
pandangan berbeda dalam masalah putusan dan hukum, namun ia sama-sama mempunyai
semangat yang sama dengan mazhab lain dalam memperingati maulid kanjeng Nabi. Tampilnya
Ibn Dihyah dengan hadiah sultan atas karyanya adalah hal yang menggembirakan. Baginya,
materi hadiah sebesar seribu dinar hanyalah bonus, apalagi ia sudah menjadi
guru bagi anak sultan yang tidak ternilai kekayaan dan fasilitasnya. Namun kemenangan
atas hadiah meneguhkan status dan posisi Ibn Dihyah yang tak terkalahkan dalam
menyusun sebuah kitab.
Kemenangan intelektual dan akademik ini adalah pukulan telak bagi mazhab lain. Apalagi Ibn Dihyah mengakhiri pembacaan kitab maulidnya dengan qashidah yang panjang. Tidak ada yang bisa membuat kitab yang baik dan qashidah yang panjang jika tidak menguasai bahasa, nahwu sharaf, syair dan juga ilmu hadis, yang merupakan ciri khas ulama al-Andalus, sebagaimana dimiliki oleh Ibn Dihyah, dan mungkin jarang dimiliki ulama Masyriq di zamannya.
Tuduhan-tuduhan dari ‘Abd al-Haqq bin Mulla Haqqi al-Turkamani, seorang mufti Swedia terhadap dua muhaqqiq kitab kitab al-Tanwir fi Maulid al-Basyir al-Nadzir, yaitu Nur al-Din al-Humaidi al-Idrisi dan Muhammad al-‘Asri, dan juga kitab al-Tanwir sendiri, menurut hemat saya sangat emosional dan bias mazhab yang diikutinya.