1. Pendahuluan
Barbara D. Metcalf adalah seorang professor sejarah di Universitas California, Davis. Fokus kajiannya adalah dalam sejarah Islam Asia Selatan, khususnya di India dan Pakistan. Salah satu karya ilmiahnya yang mengkaji tentang perkembangan Islam di India yaitu tulisannya mengenai sejarah sebuah kelompok spiritual yang hidup dengan hadis sebagai pedomannya, kelompok ini bernama Jama’ah Tabligh.
2. Jama’ah Tabligh dan Hadis
Metcalf mengawali tulisannya dengan
menjelaskan tentang sebuah gerakan spiritual bernama “Jama’ah Tabligh” yang
berdiri sejak tahun 1920-an di India Utara. Gerakan ini memiliki tujuan yaitu tabligh (menyampaikan/kewajiban ibadah yang paling mendasar) dalam hal yang berbasis syari’at dengan al-Qur’an dan hadis sebagai pedoman.
Terhadap hadis, para pengikut
Jama’ah Tabligh berusaha atau memiliki cita-cita untuk ‘hidup dengan hadis’
(dalam artian, hadis sebagai landasan para pengikut dalam setiap aspek
kehidupan sehari-hari) dengan menghayati setiap teks-teks yang
tertulis/terdengar. Dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita tersebut, Jama’ah
Tabligh berpedoman pada kitab Fadhail A’mal (yang berlandaskan al-Qur’an dan hadis tentunya) ditulis oleh Maulana Muhammad Zakariyya Kandhalawi yang merupakan keponakan dari pendiri Jama’ah Tabligh, Maulana Muhammad Ilyas Kandhalawi.
Dalam tulisannya, Metcalf menyampaikan bahwa para Jama’ah Tabligh menggunakan hadis sebagai satu mekanisme kritik atas budaya pada masa kini yang menurut mereka telah menyimpang dari ajaran masa lalu. Maka dari itu, teks-teks hadis berfungsi sebagai model untuk kehidupan sehari-hari. Gerakan ini berprinsip bahwa para pengikutnya dapat menjadi seorang muballigh. Maka, bagi mereka tidak ada Syekh yang menjadi sumber otoritas absolut. Metcalf kemudian menyebutkan bahwa cara reproduksi budaya yang dilakukan oleh Jama’ah Tabligh dengan teks adalah sebagai landasan utama mereka dalam kehidupan sehari-hari.
3. Pembacaan dan Pengulangan
Dalam penyebaran teks-teks keagamaan, Jama’ah Tabligh menggunakan dua cara yaitu sejumlah teks yang dibaca secara intensif (secara sungguh-sungguh dan terus-menerus) dan kehidupan jama’ah yang diinterpretasikan sebagai kehidupan di dalam teks tersebut. Dari penyebaran ini, dapat disimpulkan sebuah pernyataan bahwa ‘kehidupan masa lalu dapat ditemukan di masa kini.’ Salah satu yang menarik menurut saya dalam artikel ini, adalah bagian dimana Metcalf mengutip teks Maulana Zakariyya, pada kalimat pembuka kitab Hikayat bahwa para wanita memiliki peran penting dalam membentuk kehidupan anak-anak agar condong terhadap masalah agama dengan membacakan berulang-ulang kepada mereka mengenai kisah-kisah para Sahabat yang mulia.
4. Jama’ah Tabligh dan Jihad
Metcalf juga menyebutkan bahwa Jama’ah Tabligh mendefinisikan ‘Jihad’ sebagai dakwah aktif, bukan aksi militer. Model jihad yang dianut para jama’ah mengikuti model pada masa Nabi ketika para sahabat melakukan perjalanan yang menggabungkan antara jihad dan tabligh. Perjalanan dakwah seperti ini disebut dengan khuruj.
Dalam tulisan Mawardi dan Muhammaddar, pelaksanaan khuruj bagi Jama’ah Tabligh dilakukan dengan pengorbanan sendiri. Hal ini selaras dengan apa yang ditulis oleh Didi Junaedi bahwa sebuah prinsip dasar dalam berdakwah bagi Jama’ah Tabligh, yaitu harus keluar dari kampung halamannya menuju ke daerah-daerah lain.
Mereka menganggap bahwa orang yang belum melakukan khuruj, dakwahnya belum sempurna. Dapat dikatakan bahwa Jama’ah Tabligh dalam mengkaji al-Qur’an dan hadis sebagai basis argumen dalam kehidupan sehari-hari dipahami secara literal-tekstual, daripada makna substantif-kontekstual.