1. Jamia Madeenathunnoor
Pada Jumat lalu (11/10), Jamia Madeenathunnoor yang berada di Kerala Kalikut, India, mengadakan Riwaya: Fourth International Hadith Webinar keempat dengan tema “Hadith Transmission Across History; Rituals, Practices and Reforms.” Webinar kali ini mendatangkan tiga narasumber dengan kajian masing-masing. Pertama adalah Scott C. Lucas, Associate Professor di School of Middle Eastern and North African Studies, University of Arizona, AS dengan judul “Teaching Islam in Yemen; Insights from Two Forty Hadith Collections.” Kedua adalah Dr. Emad Hamdeh, Assistant Professor of Arabic and Islamic Studies, Embry-Riddle University, AS, dengan judul “The Authority of Hadith and Contemporary Debates.” Ketiga adalah Jeremy Farrell, Post-Doc at Leiden University Centre for Linguistics, University of Leiden, dengan judul “Early ‘Traditionist Sufis’: A Network Analysis.”
2. Abstrak Webinar
Tema “Hadith Transmission Across
History; Rituals, Practices and Reforms” menunjukkan cara-cara mendalam di mana
hadis telah terjalin ke dalam jalinan praktik-praktik ibadah Islam, kerangka
kerja pendidikan, dan ekspresi budaya di berbagai konteks historis dan
geografis yang berbeda. Tema ini mengundang eksplorasi tentang bagaimana
perkataan dan tindakan Nabi Muhammad telah melampaui transmisi tekstual,
menjadi pengalaman yang dihayati dan diwujudkan dalam komunitas Muslim.
Sejak periode awal Islam hingga era Ottoman dan hingga masa kontemporer, hadis telah menjadi lebih dari sekadar teks keagamaan. Hadis telah menjadi tindakan performatif yang menghubungkan orang-orang beriman secara langsung dengan Nabi Muhammad. Pembacaan, transmisi, dan bahkan prasasti fisik hadis pada arsitektur religius tidak hanya berfungsi sebagai tindakan mengingat tetapi juga sebagai ritual yang terus memperbaharui kehadiran Nabi dalam kehidupan komunal dan spiritual umat Islam.
Webinar ini berupaya mengungkap lapisan makna di balik praktik-praktik ritual seputar hadis, memeriksa bagaimana praktik-praktik ini telah membentuk dan dibentuk oleh lingkungan sosial, pendidikan, dan budaya tempat praktik-praktik tersebut terjadi. Webinar ini akan mengeksplorasi peran Hadis dalam menumbuhkan hubungan emosional dan spiritual yang mendalam dengan Nabi, ritualisasi periwayatannya dalam lingkungan ilmiah dan komunal, dan cara-cara praktik-praktik tersebut berkembang dari waktu ke waktu. Dengan mengkaji persinggungan antara teks, ritual, dan komunitas, konferensi ini bertujuan untuk memperdalam pemahaman kita tentang signifikansi abadi Hadis dalam kehidupan Islam, menawarkan wawasan tentang bagaimana tradisi-tradisi ini terus beresonansi di dunia modern.
3. Hadis Arba’in Syiah
Scott C. Lucas, membahas hadis Syiah Zaidiyyah dengan judul “Teaching Islam in Yemen; Insights from Two Forty Hadith Collections.” Ia membahas dua kitab hadis arba’in (kumpulan empat puluh hadis) di Yaman. Dua karya tersebut adalah Silsilah al-Ibriz bi al-Sanad al-‘Aziz karya Abu Muhammad al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib al-Husaini (w. 532 H) dan al-Arba’una Haditsan karya Qadli Ja’far bin Ahmad al-Buhluli (w. 573). Dalam pengantarnya, ia menjelaskan bahwa hadis arba’in mempunyai empat model karya, yaitu karya yang menjelaskan dasar ajaran Islam, karya tematik, karya kebanggan dan karya hadis yang sangat mendalam.
Karya yang menjelaskan dasar ajaran Islam misalnya karya al-‘Amili. Karya tematik misalnya yang ditulis oleh Ismail bin Muhammad al-‘Ajluni dan Zaid bin Abdullah al-Sailaqi dari Syiah Zaidiyyah. Karya kebanggan misalnya kitab yang membahas tentang keistimewaan sanad atau daerah tertentu seperti karya Yasin al-Fadani. Sedangkan karya hadis yang sangat mendalam misalnya karya al-Nawawi.
Menurut Lucas, hadis arba’in mempunyai dan pelajaran hidup yang fasih dan ajaran dasar Islam. Di samping itu, hadis arba’in bisa menjelaskan keberadaan koleksi hadis lokal sebagaimana karya yang ada di Yaman. Satu isnad khusus untuk setiap koleksi kitab hadis arba’in mempunyai. Sanad yang ada dalam koleksi hadis arba’in mempunyai hubungan erat antara koleksi hadis Sunni dan Zaidi. Selain itu, tidak ada sektarianisme mazhab dalam kasus Silsilah al-Ibriz.
Kajian detail tentang hadis arba’in dapat dilihat di “Forty Traditions” karya Scott C. Lucas dalam Encyclopaedia of Islam Three Online, DOI: https://doi.org/10.1163/1573-3912_ei3_COM_27174, eds. Kate Fleet, Gudrun Krämer, Denis Matringe, John Nawas, and Devin J. Stewart.
4. Kesahihan Hadis
Dr. Emad Hamdeh, membahas perdebatan otoritas hadis dalam debat kontemporer dengan judul “The Authority of Hadith and Contemporary Debates.” Pada sesi ini, Hamdeh membahas tentang kelompok yang menolak hadis. Alasan kelompok ini antara lain ketidakpercayaan dalam pelestarian sejarah (maksudnya dalam keakuratan riwayat dari Nabi hingga penerima riwayat) dibandingkan dengan Al-Qur’an, konflik dengan kepekaan modern, kesalahpahaman karena kurangnya konteks yang tepat dan paparan terhadap hadis tanpa pengetahuan latar belakang yang diperlukan.
Hamdeh menyebutkan beberapa tokoh kelompok ini seperti Rasyad Khalifah, Mahmud Abu Rayyah, dan lain sebagainya. Dari beberapa kritik para penolak hadis yang ada, menurut Hamdeh, menuntut kepastian mutlak akan menghambat kemajuan di berbagai disiplin ilmu, dan kajian hadis harus selaras dengan proses pengambilan keputusan di bidang kehidupan dan keilmuan lainnya.
5. Ahli Hadis Sufi Awal
Jeremy Farrell membahas ahli hadis sufi awal dengan judul “Early ‘Traditionist Sufis’: A Network Analysis.” Farrell mengidentifikasi titik-titik kontak yang penting selama abad ke-3/ke-9, ke-4/ke-10, dan ke-9/ke-15 hingga ke-10/ke-16 antara para ahli hadis dan para sufi, sebuah kategori aktor yang disebut oleh Ahmet Karamustafa sebagai ‘sufi tradisionalis,’ yang berarti sufi muhaddis. Para Sufi tradisionalis awal ini dicirikan oleh reputasi mereka sebagai Sufi lokal yang berpengaruh dan juga sebagai ahli hadis. Ia kemudian mengidentifikasi contoh-contoh dalam hipotesis perpecahan-rekonsiliasi di mana bukti-bukti aktivitas para sufi tradisi awal telah disalahartikan atau terlalu dipinggirkan.
Di samping itu, ia melakukan analisis statistik terhadap sebuah jaringan yang terdiri dari para ahli hadis papan atas awal (huffadh) dan para sufi muhaddis, yang menunjukkan bahwa: (1) jaringan periwayatan hadis mengalami masalah yang signifikan pada lapisan aktivitas maksimumnya, yaitu huffadh, pada paruh pertama abad ke-4/ke-10. Pada periode ini, para sufi muhaddis awal mampu membangun niche (ceruk, ruangan yang tersembunyi) yang berbeda untuk aktivitas mereka dalam jaringan periwayatan hadis, meskipun tidak pernah mempengaruhi perkembangan periwayatan hadis dalam ukuran yang sama dengan huffadh.
Kesesuaian antara karya-karya sufi ahli hadis dan hadis proto-kanonik |
Meskipun jumlahnya tidak menentu, kelompok awal Sufi muhaddis menunjukkan kesetiaan yang positif kepada para ahli hadis dan komunitas Sufi selama paruh kedua abad ke-3/ke-9 dan sepanjang abad ke-4/ke-10. Sebagai Sufi, masing-masing dikenang sebagai salah satu tokoh yang paling berpengaruh dan dihormati di zamannya dan di daerahnya oleh para sejarawan Sufi di kemudian hari. Mereka juga terlibat dalam periwayatan hadis dan menikmati hubungan dengan para ahli hadis huffadh. Kelompok huffadh ini terkadang memuji keunggulan keilmuan hadis para sufi dan juga memainkan peran kunci dalam periwayatan karya-karya hadis kecil mereka.
Analisis jaringan dari catatan-catatan tentang pola hubungan antara huffadh dan sufi muhaddis menegaskan bahwa sebagian besar sufi muhaddis awal dapat dibedakan secara hirarkis dengan huffadh kontemporer. Namun demikian, analisis yang cermat terhadap catatan-catatan ini juga mengindikasikan bahwa para sufi muhaddis secara efektif mengarahkan kerja sama antara kedua gerakan tersebut. Keberhasilan para sufi muhaddis dalam membangun sebuah ceruk dalam jaringan periwayatan hadis, dengan demikian, memberikan sebuah model yang bertahan selama berabad-abad dalam komunitas Sunni yang lebih luas.
6. Catatan
Kajian hadis yang digaungkan oleh Jamia Madeenathunnoor perlu diapresiasi. Mereka biasa mendatangkan para pengkaji hadis papan atas seperti Belal Abu-Alabbas, Joel Blecher, Recep Senturk, dan Scott C. Lucas serta Jeremy Farrell pada webinar keempat ini. Walaupun begitu, kajian mereka dikaji secara sederhana dan mudah difahami. Masing-masing diberi waktu 15-20 menit untuk presentasi, dan kemudian diberikan waktu bagi para peserta untuk tanya jawab di akhir sesi. Dalam sesi kali ini, Scott C. Lucas dan Jeremy Farrell sebenarnya sudah punya tulisan terkait tema yang dipresentasikan. Mereka menyajikan ulang tulisan sebelumnya dan ditambahi beberapa temuan atau data tambahan.
Kajian hadis Syiah belum terlalu banyak dikaji. Kajian hadis sufi awal juga belum banyak dibahas. Oleh karena itu, kajian yang ditawarkan Jamia Madeenathunnoor dengan tema-temanya yang segar memunculkan harapan akan gairah kajian hadis. Dengan survei literatur, kritik sejarah, perbandingan antar mazhab, identifikasi data dan penyajian statistik, kajian hadis akan semakin kaya. Jika kajian hadis selama ini hanya fokus pada kesahihan, takhrij, makna hadis, kontekstualisasi, maka apa yang ditawarkan oleh Jamia Madeenathunnoor merawat ingatan kembali kepada turats dan juga menghidupkan kembali kajian klasik.
Menghidupkan turats dan kajian klasik tidak berarti meninggalkan rekonstruksi makna dan kontekstualisasi hadis. Justru hal tersebut akan lebih banyak memberikan alternatif dan perspektif bagi kesahihan, takhrij, makna dan kontekstualisasi hadis. Jangan-jangan selama ini kajian hadis kaku dan hanya itu-itu saja karena kajian turats dan klasiknya tidak begitu hidup.