1. Moderasi dan Dua Arah Alquran
Dalam
menjalankan dan menyampaikan perintah Allah, Rasulullah selalu menekankan
pentingnya keseimbangan dua arah. Misalnya dalam kebaikan, Alquran
memerintahkan untuk meminta kebaikan tidak hanya di dunia maupun di akhirat (fi al-dunya hasanah wa fi al-akhirah hasanah). Dalam hal ini, Muhammad bin
‘Umar al-Razi atau yang terkenal dengan Fakhr al-Din al-Razi (w. 606/1210)
dalam tafsirnya, Mafatih al-Ghaib mengatakan bahwa ada tiga kelompok
dalam kebaikan yang dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah: 201. Pertama mereka
yang meminta kebaikan hanya di dunia saja. Kedua mereka yang meminta
kebaikan di dunia dan akhirat sekaligus. Ketiga mereka yang meminta
kebaikan di akhirat saja.
Menurut
al-Rāzī, manusia diperintahkan untuk meminta perlindungan dari segala keburukan
dunia dan akhirat (syurur al-dunya wa al-akhirah). Dengan demikian,
perintah untuk meminta kebaikan di dua sisi sekaligus, yaitu di dunia dan
akhirat, yang menjadi perintah Allah di dalam Alquran. Keseimbangan dua arah
ini juga menjadi salah satu dari sembilan nilai moderasi beragama. Nilai
tersebut adalah kemanusiaan, kemaslahatan umum, adil, berimbang, taat
konstitusi, komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penghormatan
kepada tradisi.
Moderasi
beragama juga mempunyai empat indikator utama. Pertama komitmen
kebangsaan, sebagai penerimaan terhadap prinsip-prinsip berbangsa yang tertuang
dalam konstitusi, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan regulasi di bawahnya. Kedua
toleransi yaitu menghormati perbedaan dan memberi ruang orang lain untuk
berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan menyampaikan pendapat. Ketiga
anti kekerasan yaitu menolak tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang
menggunakan cara-cara kekerasan, baik secara fisik maupun verbal, dalam
mengusung perubahan yang diinginkan. Keempat penerimaan terhadap tradisi
yaitu ramah dalam penerimaan tradisi dan budaya lokal dalam perilaku
keagamaannya, sejauh tidak bertentangan dengan pokok ajaran agama.
2. Keseimbangan Dua Arah dalam Hadis
Rasulullah
ketika ditanya seseorang tentang beragama Islam yang paling baik bersabda:
تُطْعِمُ
الطَّعَامَ، وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ وَعَلَى مَنْ لَمْ تَعْرِفْ
“Memberikan
makan dan menebarkan kedamaian kepada orang yang engkau kenal maupun tidak.”
(HR. al-Bukhārī, Muslim dan Aḥmad).
Dalam hadis tersebut, Rasulullah memerintahkan untuk memberikan makan kepada semua orang sebagai simbol kepedulian dan kemanusiaan. Sedangkan menebarkan kedamaian, baik bagi yang sudah dikenal maupun belum, sebagai simbol keseimbangan dalam menerapkan dan melestarikan kedamaian. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Nashr al-Marwazi (w. 294/906) dalam kitabnya, Ta‘dhim Qadr al-Ṣalah, Rasulullah bersabda:
مَنْ
أَقَامَ الصَّلَاةَ، وَآتَى الزَّكَاةَ، وَسَمِعَ وَأَطَاعَ، فَقَدْ تَوَسَّطَ
الْإِيمَانَ، وَمَنْ أَحَبَّ فِي اللَّهِ، وَأَبْغَضَ فِي اللَّهِ، وَأَعْطَى فِي
اللَّهِ، وَمَنَعَ فِي اللَّهِ، فَقَدِ اسْتَكْمَلَ الْإِيمَانَ
“Barang siapa yang melaksanakan shalat, menunaikan zakat, mendengarkan dan taat, maka ia telah benar-benar berada dalam pertengahan iman. Barang siapa yang cinta dan benci karena Allah, memberikan dan melarang karena Allah, maka ia benar-benar menyempurnakan iman.”
Hadis
tersebut menjelaskan bahwa tawassuth (pertengahan) adalah batas minimal
iman. Sedangkan kesempurnaan (istikmal) adalah batas maksimal
dari konsep iman. Konsep iman mempunyai batas minimal agar iman tersebut
memenuhi syarat dan rukunnya. Sedangkan untuk kesempurnaan iman, seseorang
harus selalu berusaha memperbaiki kualitas ibadah dan amaliahnya sehingga ia
bisa mencapai derajat tersebut.
Di
samping itu, hadis tersebut juga menekankan pentingnya keseimbangan dua arah:
antara shalat dan zakat, antara mendengarkan dan taat, antara cinta dan benci
serta antara memberikan dan melarang. Pertama shalat merupakan ibadah
yang berkaitan antara manusia dengan Allah. Ibadah yang sifatnya vertikal ini
melambangkan hubungan manusia dengan penciptanya. Namun hal ini tidak cukup,
karena manusia hidup dengan sesama dan makhluk lain yang berada di sekitarnya.
Oleh karena itu, harus diimbangi dengan zakat yang merupakan ibadah yang
sifatnya horizontal. Zakat melambangkan hubungan manusia dengan sesama dan
makhluk lain di sekitarnya. Jika shalat menyucikan diri dalam beribadah, maka
zakat menyucikan diri dalam bermuamalah.
Kedua mendengarkan dan taat. Dalam hal ini, banyak orang yang mau mendengarkan, baik dengan saksama maupun tidak, baik faham atau tidak. Namun tidak semua yang mendengarkan dan faham, apalagi yang tidak, mengerti akan apa yang disampaikan. Oleh karena itu, perilaku mendengarkan ini harus dilaksanakan dan ditaati agar ibadah dan perintah benar-benar ditunaikan dan dilaksanakan dengan baik.
3. Moderasi Beragama dan Sabda Rasul
Beberapa
sabda Rasulullah di atas tidak ditujukan kepada masyarakat yang homogen, yang
hanya diisi oleh orang Arab dan umat Islam saja, dan untuk seluruh masyarakat. Namun sasaran dari pernyataan
Rasulullah adalah masyarakat majemuk, yang terdiri dari orang Arab dan
non-Arab, masyarakat Muslim dan non-Muslim, kelompok pribumi (Anshar dan suku
lokal) dan pendatang (Muhajirun), masyarakat desa dan kota dan seluruh yang ada
di Madinah pada waktu itu.
Pesan
Rasulullah tidak bertujuan untuk memenangkan orang Islam dan mengalahkan
musuhnya sebagaimana hukum peperangan dan kekuasaan di tanah Arab pada waktu
itu. Namun beliau memenangkan semua pihak, yang dalam falsafah Jawa disebut
sebagai menang tanpo ngasorake. Revolusi inilah yang membuat semua pihak
tidak ada yang merasa kalah dan direndahkan. Yang menang merasa dia memang
berhak untuk menang, sedangkan yang kalah merasa dia menang karena tidak
direndahkan dan dikucilkan.
Sabda beliau bisa dilihat dalam situasi normal, tertekan dan darurat.
Dalam situasi normal, maka sabda Rasulullah akan berisi tentang pentingnya
menjaga keseimbangan dua arah. Namun ketika umat Islam dalam situasi tertekan,
maka sabda beliau biasanya cenderung defensif dan berisi ajakan untuk bersabar
dan menahan diri. Jarang sekali sabda beliau berisi ajakan ofensif, kecuali
memang dalam situasi darurat. Dua situasi terakhir biasanya banyak terdapat
dalam hadis-hadis yang berisi tentang peperangan atau ekspedisi militer, baik
yang dipimpin oleh beliau secara langsung ataupun tidak.
Dengan
demikian, hadis Rasulullah yang umum dan universal minimal harus memenuhi dua
kelompok tersebut, dan untuk kesempurnaannya mencakup semua kelompok, baik yang
Muslim maupun non-Muslim. Tidak heran jika sikap Rasulullah terhadap masyarakat
majemuk juga diterapkan oleh para ulama di Indonesia dengan masyarakat yang
serupa. Misalnya Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari mengatakan bahwa agama dan
negara tidak saling bertentangan. Keduanya bisa berjalan seiring, bahkan saling
memperkuat. KH Said Agil Siraj juga menegaskan bahwa Indonesia bukanlah negara
Islam, tetapi negara damai atau darussalam.
Dengan
konsep tersebut, maka baik Muslim dan non-Muslim mempunyai hak dan kewajiban
yang sama di dalam negara. Keseimbangan dua antara Muslim yang menjadi
mayoritas dan non-Muslim yang menjadi minoritas dan kesepakatan dua kutub
tersebut jelas membawa pesan Rasulullah yang memenangkan semua pihak, yang
dalam falsafah Jawa disebut sebagai menang tanpo ngasorake.