Membandingkan Shahih Muslim dan Sunan Abi Dawud: Kajian Literatur Hadis Sunni oleh Scott C. Lucas

Daftar Isi [Tampilkan]
Oleh: Muhammad Akmaluddin


1. Kajian Literatur Hadis

Kajian literatur hadis semakin berkembang dengan adanya berbagai penemuan manuskrip, perkembangan metode, pengujian dan pengembangan teori dan hal lainnya. Terlebih para sarjana Barat sudah tidak lagi hanya fokus pada kajian otentisitas dan validitas hadis. Meskipun sangat penting untuk menjawab keraguan para sarjana Barat, namun kajian otentisitas dan validitas hadis terlihat membosankan dan hanya fokus pada dua paradigma yang tak kunjung usai. Oleh karena itu, kajian hadis kemudian dilebarkan kepada kajian literatur, baik hadis dengan non-hadis seperti kajian Roberto Tottoli, ataupun di dalam hadis sendiri seperti Major Topics of the Hadith oleh Scott C. Lucas.

2. Keterkaitan Kitab Hadis Sunni dan Syi’ah

Ulama hadis Syiah sering membaca kitab-kitab hadis Sunni, sedangkan ulama Sunni tidak terbiasa membaca kitab hadis Syiah. Menurut Lucas, alasannya adalah isi dari kitab hadis Sunni lebih banyak setuju dan mendukung tradisi di Syiah. Adapun ulama Sunni menganggap bahwa kitab-kitab hadis ulama Syiah banyak cacatnya dan tidak layak untuk dikaji. Anggapan Lucas ini mungkin juga ada benarnya di mana ulama Sunni, yang dominan dan mayoritas, mempunyai kuasa untuk menentukan standar hadis yang benar dan tidak, serta menafikan kajian lain di luar Sunni.

Selanjutnya, Lucas membagi literatur hadis Sunni menjadi tiga genre teks yang luas, yaitu 1) kompilasi hadis seperti musnad, mushannaf atau topik tertentu seperti kutub al-sittah, dan hadis arbain yang popular setelah abad ke-4 H/ke-11 M; 2) kamus biografi rawi seperti Thabaqat Ibn Sa’d dan Kitab al-Jarh wa al-Ta‘dil karya Ibn Abi Hatim; dan 3) panduan teknis dalam kajian hadis seperti Muqaddimah Ibn al-Shalah.

Menurut Lucas, perkembangan literatur hadis Sunni yang cepat tidak dapat diakses oleh pembaca non-Arab. Hal ini yang menyebabkan sarjana Barat lebih fokus pada nilai historis dan otentisitas hadis daripada pengaruh agama, moral atau spiritual lebih dari satu milenium. Usaha penerjemahan yang ada di Barat tidak diimbangi dengan penerjemahan dan pemilihan istilah yang tepat sehingga merusak makna hadis.

3. Perbandingan Shahih Muslim dan Sunan Abi Dawud

Dalam bagian ini, Lucas membandingkan Shahih Muslim dan Sunan Abi Dawud dengan melihat susunan kitabnya, di mana kedua kitab tersebut mempunyai 26 kitab (yang berisi bab-bab) yang sama. Ia mengatakan bahwa kajian akhlak lebih banyak terlihat di Shahih Muslim daripada di Sunan Abi Dawud. Abu Dawud memasukkan kitab tentang sunnah yang menyoroti beberapa posisi sektarian Muslim Sunni, sedangkan Muslim memasukkan kitab fadha’il dan keutamaan sahabat Nabi. Lucas kemudian membandingkan isi kitab Shahih Muslim dan Sunan Abi Dawud beserta kitab dan jumlah hadisnya. Kedua kitab tersebut mengunggulkan kitab shalat yang memuat lebih dari seribu hadis.

Kitab tentang haji, bersuci, dan puasa juga ditemukan dalam kedua kitab tersebut, yang lebih berguna dan bermanfaat daripada muamalah atau hukuman. Jika semua kitab Muslim tentang akhlak digabungkan, maka jumlahnya yang sama dengan kitab adab dalam Sunan Abu Dawud. Perhatian Muslim lebih besar terhadap topik-topik di luar hukum seperti hagiografi dibandingkan dengan Abu Dawud yang sezaman dengannya.

Dalam kitab shalat, yang mempunyai isi hadis paling banyak, ada kajian tentang shalat hari raya, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Shalat hari raya tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur’an dan tampaknya merupakan praktik kenabian (sunnah) yang diadopsi oleh seluruh umat Islam. Muslim mencurahkan sebuah kitab pendek dalam Shahih-nya (kitab shalat al-‘idain) untuk topik ini, sementara Abu Dawud membahas salat hari raya dalam bab 245-257, atau bab 244-246 dalam edisi tahqiq al-Arna’uth (bab shalat al-‘idain, bab waqt al-khuruj ila al-‘id, bab khuruj al-nisa’ ila al-‘id) dari kitab al-shalah.

Dari beberapa perbandingan tersebut, Lucas menyimpulkan bahwa Abu Dawud meriwayatkan lebih banyak hukum dari hadis daripada Muslim. Menurutnya, alasan yang mungkin untuk perbedaan tersebut adalah bahwa standar Abu Dawud dalam memilih hadis tidak terlalu ketat daripada Muslim. Muslim menilai bahwa semua periwayat dalam isnad harus dinilai pada tingkat tsiqah dan bahwa kehidupan orang-orang yang membentuk mata rantai dalam rantai periwayat harus tumpang tindih. Oleh karena itu, sebagian besar ulama Muslim Sunni menganggap Shahih Muslim sebagai yang kedua setelah Shahih al-Bukhari dalam hal otentisitasnya. Namun Sunan Abi Dawud lebih bermanfaat daripada Sahih Muslim dalam tugas mereka menentukan hukum. Juga terlihat dari contoh ini bahwa banyak (dan mungkin sebagian besar) hadis hukum dalam Shahih Muslim ditemukan dalam Sunan Abi Dawud, sehingga akan lebih efisien bagi seorang ulama untuk langsung merujuk ke Sunan Abi Dawud, terutama karena sebagian besar isinya telah dinilai oleh ulama Muslim lainnya sebagai shahih atau hasan.

4. Catatan

Menurut Lucas, ulama Sunni menganggap bahwa kitab-kitab hadis ulama Syiah banyak cacatnya dan tidak layak untuk dikaji. Anggapan Lucas ini mungkin juga ada benarnya di mana ulama Sunni, yang dominan dan mayoritas, mempunyai kuasa untuk menentukan standar hadis yang benar dan tidak, serta menafikan kajian lain di luar Sunni. Di samping itu, oposisi biner Sunni-Syiah dan kampanye negatif sektarian oleh beberapa kelompok tertentu untuk menganggap Syiah sesat masih banyak dilakukan. Dengan demikian, kajian hadis Syiah semakin terpinggirkan. Padahal Syiah Imamiyyah, Isma’iliyyah dan Zaidiyyah mempunyai banyak sekali karya-karya hadis yang menarik untuk dibahas.

Dalam bagian ini, Lucas setuju dengan apa yang disuarakan oleh J. A.C. Brown bahwa kajian hadis di Barat memang selalu fokus pada pencarian kebenaran, validitas dan otentisitas hadis. Hal ini kemudian direspon oleh beberapa sarjana Barat lain yang mengkaji tentang perjalanan satu milenium Shahih al-Bukhari dan sejarah sosial dan intelektual transmisi hadis sebagaimana dilakukan oleh Joel Blecher dan G.A. Davidson.

Di samping itu, kajian komparatif Lucas bisa dijadikan model dasar bagi kajian hadis. Misalnya metode yang ia pakai adalah:

  1. Memilih dua tokoh (Muslim dan Abu Dawud), yang semasa dan masuk dalam daftar kutubussittah. Dalam artikel yang mendalam atau tugas akhir, perbandingan ini dapat dianalisis dari berbagai faktor seperti latar belakang, asal, karya, mazhab, ideologi, dan lain sebagainya.
  2. Membandingkan jumlah kitab yang ada di dalamnya
  3. Membandingkan jumlah hadis di dalam kitab
  4. Membagi hadis ke dalam tema-tema tertentu
  5. Menentukan berupa jumlah hadis di dalam tema-tema tersebut dan mengurutkannya
  6. Mencari tema yang paling banyak dari masing-masing karya
  7. Membandingkan tema hadis tertentu kemudian menganalisis struktur dan isinya
  8. Membandingkan tingkat pemilihan kualitas hadis
  9. Kekurangan dan kelebihan masing-masing kitab Muslim dan Abu Dawud

Metode yang digunakan Lucas di dalam artikelnya memang tidak terlalu mendalam, tapi setidaknya bisa memberikan model dalam menyusun kajian komparatif dalam hadis, baik dalam artikel maupun tugas akhir.

Baca juga:
Labels : #Ilmu Hadis ,#Opini ,#Ulasan ,
Menunggu informasi...

Posting Komentar