![]() |
Gerbang selatan Masjid Jami' Simbang Kulon sebelum dipugar (dokumentasi pribadi) |
1. Mudik: Melepas Ramadan, Menyambut Syawal
Kembali ke kampung halaman atau mudik bagi para perantau menjadi tradisi yang sudah berjalan lama di Indonesia untuk melepas Ramadan dan menyambut Syawal. Tradisi ini dimulai dari ibukota Jakarta dan sekitarnya atau kota besar seperti Yogyakarta ke kampung di mana para perantau lahir dan berasal. Para pemudik, sebutan untuk mereka yang mudik, memanfaatkan kesempatan untuk kembali ke kampung halaman ini untuk merayakan beberapa hal sekaligus. Misalnya adalah meminta maaf, merayakan Idulfitri bersama orang tua dan keluarga dekat, halalbihalal dengan keluarga besar, alumni sekolah dan madrasah, dan lain sebagainya.
2. Hanya untuk Meminta Maaf?
Yang menjadi pertanyaan adalah para perantau berinteraksi
dan bermuamalah dengan daerah perantauan mereka, kenapa meminta maafnya di
daerah asal, bukan di daerah perantauan? Jadi, sebagaimana sebelumnya, mudik ini
tidak hanya persoalan meminta maaf. Meminta maaf adalah salah satu perayaan
dalam tradisi mudik. Ada hal yang lebih besar di balik permintaan maaf mereka,
yaitu bertemu dengan keluarga dan menghidupkan kembali ingatan lama serta menguatkan
akar yang kokoh di tempat kelahiran mereka. Jadi menurut orang Jawa, mudik ini
agar ora lali wetone. Mudik menghidupkan falsafah sangkan paraning
dumadi. Berjaya dan sukses di daerah perantauan tidak kemudian melupakan
daerah dan keluarga di mana mereka berasal.
Permintaan maaf kepada keluarga dan masyarakat di daerah asal, jika pun ada, adalah salah satu kesempatan yang mereka miliki ketika pulang ke kampung halaman. Kapan lagi mereka meminta maaf jika tidak pada masa ketika mereka mudik. Jika pun tidak ada salah, maka permintaan maaf dari rumah ke rumah bisa dianggap silaturrahim yang disyariatkan dalam Islam. Pun jika mereka kembali ke daerah perantauan, mestinya ada juga tradisi meminta maaf kepada masyarakat di sekitar tempat tinggalnya. Misalnya halalbihalal di tempat kerja, tingkat RT atau RW, perdukuhan, masjid dan lain sebagainya.
3. Sejarah Halalbihalal
Halalbihalal, yang merupakan tradisi maaf-memaafkan
setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, yang biasanya diadakan di sebuah
tempat oleh sekelompok orang, juga tidak hanya sekedar seremoni belaka. Acara ini
merupakan sarana di mana banyak orang, baik melalui undangan khusus atau tidak,
berkumpul dan melakukan ikrar untuk meminta maaf dan saling memaafkan. Menurut NU
Online, tradisi ini dipopulerkan oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah
(1888-1971) yang berhasil menyatukan para tokoh dan elit politik pada masa itu melalui
gagasan acara halalbihalal. Jauh sebelum Kiai Wahab, ada tradisi halalbihalal di
Jepara sejak zaman Walisongo di mana mereka shalat di masjid, mengangkat
tangan, dan berjalan bersama dan mendekat kepada Pangeran
Karang Kemuning, menantu Sunan Ampel di Jepara.
Tradisi ini juga dianggap berasal dari pisowanan
yang sudah ada di Praja Mangkunegaran Surakarta pada abad ke-18 atau tahun
1700-an. Kala itu, Raden Mas Said KGPA Arya Mangkunegara I mengumpulkan para
bawahan dan prajurit di Balai Astaka untuk melakukan sungkeman kepada
raja dan permaisuri selepas perayaan Idulfitri. Pisowanan secara bersama
ini dianggap lebih efektif dan efisien dibanding dilakukan secara perorangan.
Seiring berjalannya waktu, tradisi halalbihalal
mengalami beberapa penyesuaian, penambahan, modifikasi dan lain sebagainya. Misalnya
di Masjid Jami’ Simbang Kulon Buaran Pekalongan, acara halalbihalal diadakan
pada hari Jumat setelah menunaikan shalat Jumat dan shalat i’adah Dhuhur. Acara
ini melibatkan warga Simbang Kulon dan sekitarnya, karena yang menunaikan
shalat Jumat bukan hanya berasal dari Simbang Kulon.
Acara dimulai dengan pembukaan dengan membaca surat al-Fatihah, tahlil singkat, doa tahlil khususnya kepada para sesepuh seperti KH. Abdul Hadi, KH. Adam, KH. Amir Idris, KH. Fadhlun, KH. Khudlori, KH. Bakri Hamzah dan lain sebagainya serta pengurus dan donatur masjid, dan juga para keluarga jamaah yang sudah meninggal dunia. Selanjutnya adalah mauidhah hasanah dan ikrar halalbihalal, mushafahah yang dimulai dari dekat mimbar khutbah hingga seluruh jamaah yang hadir dan dilanjutkan dengan makan bersama di besi (nampan) dengan jumlah 5 orang tiap besi.
4. Silaturrahim: Keberkahan, Keabadian dan Memaafkan
Hal inti yang ada dalam tradisi mudik ini adalah silaturrahim. Keutamaan silaturrahim sangat banyak, utamanya terkait dengan diberikannya keluasan rezeki dan umur panjang sebagaimana dalam hadis Nabi. Dalam hadis ini, Ibn Baththal dalam Syarh Shahih al-Bukhari mengutip dari al-Muhallab bahwa makna dari “melapangkan rezekinya” adalah keberkahan, karena menyambung silaturrahim dengan kerabatnya adalah sedekah. Sedekah tersebut akan menambah dan mengembangkan harta, sehingga harta tersebut bertambah dan berkembang. Sedangkan dipanjangkan umurnya yaitu nama baik dan pujian terhadap orang tersebut tetap ada di lisan orang-orang, seakan-akan dia belum meninggal dunia. Hal ini dikarenakan orang Arab mengatakan bahwa pujian itu sama dengan keabadian.
Silaturrahim ini kelihatannya mudah, utamanya ketika seseorang mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Akan tetapi hal ini sangat sulit dilakukan bagi mereka yang tidak punya kepentingan tertentu terhadap orang lain, apalagi jika mempunyai masalah atau kesalahan yang tak termaafkan. Oleh karena itu, dengan adanya mudik ini, silaturrahim ke semua orang yang dikenal dekat, yang bukan kerabat, yang hampir putus atau tidak ada hubungan kekeluargaan akan mendekatkan kembali dan menguatkan tali silaturrahim. Tradisi yang baik ini akan terasa ringan dan mudah jika dilakukan bersama oleh banyak orang, apalagi jika dirayakan bersama-sama oleh masyarakat secara nasional.